kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Memanen cengkih di pertengahan tahun (2)


Jumat, 18 Desember 2015 / 16:20 WIB
Memanen cengkih di pertengahan tahun (2)


Reporter: Rani Nossar | Editor: Tri Adi

Sebagian besar petani cengkih di Bulukumba dulunya adalah petani kopi. Namun, lantaran di era tahun 1970-1990 harga kopi kurang baik, banyak yang beralih menjadi petani cengkih. Bibit awalnya mereka dapatkan dari dinas kehutanan setempat. Kini, petani sudah bisa membudidayakan sendiri sehingga bibit tidak harus beli.

Sentra budidaya cengkih di Bulo Lehe, Rilau Ale memang bukan satu-satunya sentra cengkih yang ada di Bulukumba. Namun, di kecamatan ini produksi hasil panen cengkih yang dihasilkan cukup besar dibandingkan desa lain. Sepanjang mata memandang di Desa Bulo Lehe, tampak hamparan pohon cengkih dan aktivitas beberapa petani menanam maupun panen cengkih.

Baharudin Uleng, salah satu petani cengkih di sentra ini bercerita, selain menanam cengkih, dia juga menanam kemiri, rambutan, durian, dan umbi-umbian serta madu hutan di kebunnya. Maklum, kebun-kebun cengkih di Riau Ale ini memang tampak seperti hutan belantara ketimbang kebun. Sebab pohon cengkih menjulang tinggi dan daunnya sangat rimbun. "Ada juga ibu-ibu di sini yang membuat gula aren dan dijual ke pasar seperti yang dilakukan istri saya," kata Baharudin.

Ia masih ingat betul, pada saat awal-awal merintis membudidayakan cengkih, ia mendapat benih dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba yang bekerjasama dengan PT Sulawesi. Bibitnya dihargai Rp 10.000 per bungkus yang didatangkan dari Bogor, Jawa Barat.

Bahar bercerita banyak petani cengkih di Bulukumba dulunya adalah petani kopi. Namun di tahun 1970−1990-an harga kopi kurang bagus, sehingga cengkih menjadi alternatif mata pencaharian untuk menyambung hidup.

Ketika KONTAN menyambangi sentra ini, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba, Misbawati Andi Wawo menyampaikan, semua hasil panen cengkih di sentra-sentra cengkih di Bulukumba memang ditargetkan untuk industri kretek. Kata Misbawati, setiap tahun pihaknya mengalokasikan dana APBN senilai Rp 100 juta untuk pengadaan bibit cengkeh unggul untuk semua petani di Bulukumba dan sekitarnya.

Saat ini ada lebih dari 6.000 hektare (ha) lahan cengkih di seluruh Bulukumba yang tersebar di sembilan kecamatan. Total petani cengkih di sini ada hampir 10.000 orang. "Total produksi pada tahun 2014 saja hingga 800 ton," kata Misbawati.

Siraju Dinain, salah satu petani cengkih lainnya bercerita, ketika sudah memasuki penghujung tahun seperti ini, biasanya dia sudah mulai menanam cengkih yang sudah disemai. Panen baru bisa dinikmati setelah usia pohon tiga tahun. Setelah itu pohon cengkih sudah bisa dipanen setiap tahun pada bulan Juli atau Agustus.

Meskipun cengkih hanya sekali panen dalam setahun, namun hasilnya memuaskan. "Bisa menggantikan semua biaya produksi berkali-kali lipat. Malah dengan itu bisa menyekolahkan anak di Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar dan lainnya di sekolah penerbangan, " kata dia.

Harga bibit saat ini Rp 25.000 per pohon. Namun karena sudah bisa membudidayakan sendiri sehingga Siraju tidak lagi harus membeli bibit. Dia menggunakan sistem organik untuk budidaya cengkih.      

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×