Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Havid Vebri
Empat tahun belakangan sentra batik tulis di Kampung Jetis, Sidoarjo, kehilangan pamornya. Mereka kalah bersaing dengan batik cap yang narak karena harganya jauh lebih murah.
Akibatnya, kini sentra ini selalu sepi pembeli. Sesekali saja ada wisatawan lokal yang berkunjung ke kampung ini guna berburu batik tulis. Kebanyakan pembeli dari luar daerah ini datang dari Malang, Surabaya dan Jakarta.
Kadang-kadang ada juga turis asing yang berburu batik di tempat ini. Miftach, salah satu pengusaha batik, mengaku pernah kedatangan konsumen seorang warga Belanda. "Saya pernah kedatangan wisatawan asal Belanda, diminta menjahit tiga lebar kain untuk menjadi baju oleh wisatawan asal Belanda," katanya.
Menurut Miftah, mayoritas wisatawan, baik lokal maupun asing, ketika membeli kain batik selalu meminta dijahitkan langsung menjadi pakaian jadi.
Bila sedang tidak ada wisatawan yang berkunjung, kampung batik ini nyaris sepi pembeli. Perajin pun hanya mengandalkan pesanan dari warga Madura yang selama ini menjadi pelanggan mereka.
Maklumlah, batik Jetis memiliki corak yang sama dengan batik khas Madura. Yakni, bercorak burung cendrawasih dengan ekornya yang panjang dan tertutup. Celakanya, pesanan dari Madura sekarang relatif sepi dibanding dulu.
Pesanan dari pelanggan di Madura menyusut karena banyak konsumen sekarang melirik batik cap yang harganya murah. Supaya produk batiknya tetap diminati, kini mereka berusaha menurunkan harga jual. "Caranya dengan menggunakan kualitas kain yang standar," kata Djauhariah, pengusaha batik lainnya.
Namun tidak semua perajin batik menerapkan strategi seperti ini. Miftach mengaku, sampai saat ini dia hanya bersedia memproduksi batik tulis dengan kualitas bagus yang lebih populer dengan sebutan batik tulis halus.
Ia mengaku tidak masalah kendati lama terjual karena harganya yang mahal. "Laku satu tidak apa, tetapi kita bisa mendapat untung
besar," katanya.
Hingga saat ini Miftach masih mendesain sendiri semua batik tulis yang dia produksi. Sedangkan untuk proses produksi dilakukan di rumahnya yang juga terletak di Kampung Jetis. Saat ini karyawannya berjumlah 20 orang.
Semua perajin batik di wilayah ini masih menggunakan cara tradisional dalam memproduksi batik. Untuk mengeringkan lembaran kain batik, misalnya, mereka masih mengandalkan sinar matahari.
Bila musim penghujan tiba, proses pengeringan menjadi lebih lama. "Ya kalau hujan terus kami keringkan pakai kipas angin," kata Miftach sambil tertawa. Namun demikian, tidak semua perajin memproduksi batik di kampung tersebut.
Djauhariah termasuk dari sekian banyak pembatik yang membuka tempat produksi di daerah lain. "Tempat produksi saya di Tulungagung," katanya.
Di Jetis dia hanya membuka toko yang memajang batik produksinya. Ia mengaku terpaksa membuka tempat produksi di Tulungagung karena di Sidoarjo sulit mencari pembatik . "Ya terpaksa walau biaya produksinya jadi mahal," katanya.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News