Reporter: Sri Sayekti | Editor: Tri Adi
Pernah mendengar pepatah: rajin membaca pangkal pandai? Manfaat kebiasaan membaca itu, sampai kini, dipercaya tetap ada. Yang berbeda di era digital ini hanyalah sosok medianya.
Zaman dulu, buku, komik, koran, atau majalah pasti berbentuk cetakan. Media cetak itu dijajakan entah di toko atau di lapak kaki lima. Setelah teknologi komputer dan telekomunikasi kian maju, aneka bacaan pun punya sosok baru dalam bentuk digital.
Materi bacaan dalam bentuk digital biasa disebut e-book, sedang alat untuk membacanya biasa disebut reader. Situs amazon.com, salah satu toko digital raksasa dunia, termasuk yang memelopori e-book berikut gadget untuk membacanya.
Kesuksesan Amazon itu menginspirasi Wendy Chandra. Melihat pengguna smartphone yang semakin bertambah, dan kemampuan ponsel pintar itu, tiga tahun lalu, Wendy tergerak membuat aplikasi (app) di smartphone yang berbasis android dan iOS. App Wendy cs ini menjadi semacam lapak digital bagi penerbit.
Pertimbangan Wendy adalah potensi bisnis e-book di Indonesia masih sangat besar. Saat ini edisi e-book baru mencapai 20% dari edisi buku cetaknya. Hanya saat ini, Wendy mengakui, minat baca masyarakat Indonesia belum setinggi orang-orang di Jepang atau Amerika Serikat. Hambatan lain untuk media digital adalah harga gadget yang masih tinggi bagi penduduk yang berada di kelas menengah ke bawah serta infrastruktur jaringan internet belum sebagus di luar negeri.
Toh, berbagai masalah itu tak memupus prospek buku digital dan media pembacanya. “Jika kendala-kendala itu sudah bisa diatasi, ini peluang yang sangat besar,” ujar Wendy. Ia mencontohkan harga jual sebagai kendala yang perlahan mulai pupus. Saat ini, ponsel pintar sudah masuk dalam kategori laris.
Wendy lantas memilih kata Wayang Force untuk produknya. Nama serupa, PT Wayang Force, juga digunakan untuk perusahaannya. Mengapa wayang? “Wayang itu sesuatu yang khas Indonesia,” ujar Wendy.
Saat menggulirkan Wayang Force, Wendy dan beberapa orang temannya yang ikut bergabung mengeluarkan modal sekitar Rp 200 jutaan. Dana itu terpakai membeli komputer plus server. Investasi terbesar Wayang Force justru ada di manusia. Dalam catatan Wendy, dana sekitar Rp 960 juta terpakai untuk menggaji lima orang programmer.
Bagi hasil
Sebagai perusahaan start up di ranah internet, modal itu terbilang besar. Namun jangan salah, menurut Wendy, Wayang Force sudah mampu balik modal dalam tahun kedua.
Bisa jadi, kunci dari keberhasilan Wayang Force mencetak uang adalah minimnya jumlah pemain sejenis. Saat ini, cuma Scoop, aplikasi sejenis yang menawarkan manfaat sama. “Saya memang mencari app yang susah dimasuki orang, supaya tidak banyak pengekor,” tutur dia.
Hingga kini, Wayang Force murni mengandalkan pemasukan dari hasil penjualan media digitalnya. Memang, tidak semua pendapatan dari penjualan media digital itu dikantongi Wayang Force. Mereka harus berbagi dengan penerbit, sebagai pemilik hak cipta, serta Apple, yang merupakan pemilik i-Tunes, atau Google, juragan Google Play, etalase untuk berbagai app berbasis Android.
Dalam sistem bagi yang diberlakukan Wayang Force, sebanyak 15% dari nilai transaksi menjadi hak Google, untuk pengguna smartphone yang berbasis Android. Sisa pendapatan, terbagi menjadi 60% untuk penerbit dan 40% untuk Wayang Force.
Jika pembelian dilakukan oleh pengguna smartphone berbasis iOS, maka 30% pertama dari pendapatan dikantongi Apple. Pembagian uang berikutnya adalah 60% untuk penerbit dan 40% untuk Wayang Force.Untuk memperderas arus masuk uang, Wayang Force kini menyiapkan app bagi pengguna ponsel yang berbasis Windows.
Adapun potensi mengail uang dari iklan belum dilirik Wendy. “Sengaja kami tidak mencari iklan, karena akan mengganggu pelanggan kami yang ingin membaca,” tutur Wendy.
Keinginan menyenangkan pembaca itu tak sia-sia. Wayang Force, kini, memiliki 5 juta orang pelanggan. Mereka bisa jadi tertarik membeli media digital karena harga kebanyakan e-book atau majalah lebih murah daripada edisi cetaknya.
Saat ini, harga jual kebanyakan e-book cuma 50% dari versi cetaknya. Target Wayang Force, harga media digital bisa terkerek naik hingga 75% dari harga edisi cetaknya.
Konten paling laris diunduh di Wayang Force adalah free e-book. Isinya adalah buku tentang jus, katalog belanja hipermarket, dan Jakarta-Jakarta. Karena sifatnya yang komersial, pemilik free e-book ini justru harus membayar ke Wayang Force senilai Rp 2 juta sebagai biaya hosting. Rekor unduhan terbanyak untuk free e-book
adalah 50.000 kali.
Di kelompok konten berbayar, rekor terbanyak diunduh adalah majalah yang mencapai 6.000 kali untuk satu edisi. Tanpa menyebut jumlah unduhan, Wendy menyebut buku yang paling laris adalah buku bertema bisnis dan keuangan.
Tak berbeda dengan lapak konvensional, peritel digital semacam Wayang Force, jumlah penerbit yang berhasil digandeng adalah kunci memperbesar arus masuk uang. Nah, setelah tiga tahun berjalan, Wayang Force mampu menjalin kerjasama dengan 250 penerbit. Nama besar yang sudah mereka gaet seperti MRA, MNC Group, Kartini Group, Gramedia Majalah, dan Mahaka Media. Total, ada sekitar 15.000 judul yang kini digelar di lapak Wayang Force.
Segmen pasar terbesar Wayang Force sekarang adalah kalangan menengah atas dan pria. Tak heran, majalah pria serta majalah IT dan gadget menjadi yang terlaris diunduh. “Pria biasanya sudah terbiasa bertransaksi dengan kartu kredit,” ujar Wendy.
Perbedaan Wayang Force dengan toko buku konvensional adalah ia mampu memajang produk tanpa batas waktu. “Kami baru mencabut, jika memang ada permintaan dari penerbitnya,” tutur Wendy.
Tertarik untuk mencetak uang sekaligus memintarkan orang lain?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News