kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menangkap kilau cuan dari pabrik es kristal


Senin, 04 Agustus 2014 / 14:14 WIB
Menangkap kilau cuan dari pabrik es kristal


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Es punya banyak manfaat untuk kehidupan manusia. Di dunia kuliner misalnya, setiap restoran selalu membutuhkan es untuk berbagai keperluan, terutama mendinginkan minuman. Es juga diperlukan untuk mengawetkan ikan atau bahan makanan lain. Jadi, kebutuhan akan es tidak ada habisnya.

Kalau dulu, masyarakat memilih es balok untuk memenuhi kebutuhannya. Kini, seiring dengan perkembangan zaman, es kristal yang menjadi pilihan banyak orang. Salah satu penyebabnya, es kristal lebih praktis karena ukurannya kecil sehingga mudah digunakan.

Ruth Harso, Founder Tripole Ice Cube di Jakarta Barat, mengatakan, saat ini hampir semua pemilik usaha, terutama di bidang kuliner menggunakan es kristal. “Tak hanya pemain besar, tapi juga pengusaha kecil lebih suka menggunakan es kristal,” ujar dia.

Perempuan berusia 62 tahun ini bilang, kebutuhan untuk es pasti ada. Bahkan, ia mengklaim bisnis es sebagai salah satu bisnis yang tidak ada matinya di Indonesia. “Permintaannya cukup banyak dan tak pernah berhenti,” kata dia.

Coba saja perhatikan, pada musim hujan pun orang-orang masih memesan minuman dingin di restoran. Meski demikian, Ruth mengakui, selama musim hujan, permintaan bisa berkurang sekitar 10%. Penu-runan itu biasanya berlaku sepanjang Januari dan Februari.  Order akan kembali normal pada April hingga Desember.

Lantaran harga es yang murah, menurut Ruth, orang yang mau menggeluti usaha ini harus bisa menjual dalam kapasitas besar. Jadi, memperbesar potensi profit yang dihasilkan.

Ruth bilang, Tripole Ice Cube bisa memproduksi sekitar 10 ton es kristal per hari. Ia mematok harga Rp 1.400 per kg es kristal.  Dari usaha ini Ruth bisa mengantongi laba bersih hingga 50%. Ia menambahkan, sekarang masyarakat lebih teliti dalam memilih es kristal. Biasanya, restoran besar juga sudah peduli terhadap kualitas es. “Walaupun harga es kami cukup mahal tapi masih banyak yang mencari, karena memang kami mengedepankan kualitas,” tutur dia berpromosi.

Pemain lain, Ahmad Zalu Wibowo, yang membuka usahanya di Cijantung, Jakarta Timur, mengatakan, produsen es kristal belum terlalu banyak. Ahmad baru terjun ke bisnis es kristal sejak setahun lalu lantaran melihat peluang yang menjanjikan. “Produsen yang pa-briknya besar sih banyak, tapi permintaan juga banyak karena restoran-restoran kecil pun membutuhkan es kristal,” ucap pemilik Mr. Nice Cube ini.

Ahmad memproduksi minimal 4 ton es kristal saban hari dengan harga jual Rp 1.200 per kg. Lantaran usahanya belum terlalu besar, Ahmad bilang ia baru bisa mendapat laba bersih sekitar 20%. “Kalau bisa memproduksi lebih banyak, margin keuntungan bisa lebih gede lagi,” tutur dia.

Pelanggan es kristal ini tidak terbatas pada restoran atau tempat makan. Ruth sering mendapat pesanan untuk event tertentu. Bahkan sejak 2010, ia menjadi pemasok es kristal untuk pagelaran Java Jazz. Pengelola event itu bisa memesan hingga 10 ton per hari.

Ruth pun kerap mendapat pesanan dari pihak asing. Menurut dia, orang asing sangat peduli terhadap kebersihan air, termasuk es, yang akan mereka konsumsi. Jadi, mereka tak mau sembarangan memesan es. “Saya memasok es untuk tentara Amerika ketika mereka datang ke Indonesia dan pesanan itu rutin tiap tahun,” ucap dia.


Harus bersih

Jika tertarik menjajal usaha ini, baik Ruth maupun Ahmad mengingatkan, agar pelaku usaha serius dalam menjaga kebersihan produknya. Pasalnya, es kristal merupakan bahan konsumsi, meski dalam jumlah yang tidak terlalu banyak.

Ruth menuturkan, ia terjun dalam usaha es kristal karena merasa terpanggil untuk menciptakan air bersih yang layak dikonsumsi. Di sisi lain, produsen air mineral sudah terlalu banyak. Makanya, ia menggeluti usaha pembuatan es yang belum terlalu banyak pemainnya.

Sebelum memulai usahanya pada 2008, Ruth pernah melakukan riset kecil-kecilan. Dari hasil riset itu, ia menemukan beberapa es batu yang menimbulkan gatal pada kulit setelah dikonsumsi. “Coba bayangkan apa akibatnya terhadap organ dalam tubuh manusia, kalau kita mengonsumsi es yang terbuat dari air yang tidak bersih?” kata dia.

Untuk itu, yang paling harus diperhatikan dalam usaha ini adalah menjaga kebersihan, baik kebersihan air maupun kebersihan proses produksi. Ruth menggunakan air sumur untuk dijadikan es kristal. Alasan utama ialah agar tidak perlu keluar biaya untuk membeli air, hanya perlu bayar biaya listrik. Setelah ditampung dalam tangki, air melewati beberapa proses filtrasi.

“Air harus difilter lagi, agar semua bakteri dan kuman yang berbahaya bagi tubuh tidak ikut menjadi es,” kata Ruth. Ia pun membantah anggapan bahwa air harus dimasak agar siap konsumsi. Karena menurut dia, air yang dimasak tidak bisa menghilangkan mineral dan zat berbahaya. Sementara, air di Indonesia pasti mengandung sedimen tersebut. Filtrasi dianggap cara paling baik untuk menyiapkan air atau es.

Ruth memulai usahanya dengan tiga mesin pembuat es berkapasitas 500 kg. Meski enggan menyebut detail nilai omzetnya saat ini, Ruth menuturkan, saat merintis usaha, dia bisa mengantongi omzet berkisar Rp 50 juta–Rp 100 juta per bulan. Seiring dengan kenaikan kapasitas produksi, omzetnya pun ikut naik hingga ratusan juta per bulan.

Biaya bulanan yang ia keluarkan paling besar adalah membayar listrik. Pos biaya lain adalah gaji karyawan dan biaya perawatan mesin. Kini, karyawan Tripole Ice Cube berjumlah 25 orang. Setiap sebulan sekali, Ruth memanggil teknisi untuk membersihkan atau memperbaiki mesin pembuat es.

Ruth melanjutkan, kebersihan air tidak berhenti pada saat produksi. Pada saat pengepak-an pun, kebersihan es harus dijaga. Makanya, karyawan Tripole Ice Cube menggunakan sarung tangan dan penutup kepala agar es tetap bersih hingga diantarkan pada pembeli.

Proses produksi yang dilakukan Ahmad setali tiga uang. Sebelum dimasukkan ke dalam mesin pembuat es, air harus melewati lima tahap filtrasi. “Setelah difilter, air baru bisa benar-benar steril dan higienis,” ucap dia.

Ahmad merogoh kocek Rp 200 juta untuk merintis bisnis es kristal. Modal itu ia gunakan untuk membeli tiga unit mesin pembuat es dan instalasi mesin. Sedang, pabrik seluas 200 m2 sudah ia miliki.

Pria berusia 30 tahun ini bilang, mesin pembuat es dibeli di berbagai distributor di dalam negeri. Ia membeli mesin buatan Jepang dengan harga puluhan juta rupiah. Mesin ini bisa menghasilkan 200 kg es kristal dalam waktu empat jam. Sementara itu, Ruth mengimpor mesin dari China dan Amerika. Ruth bilang, mesin yang ‘bandel’ buatan Amerika, tapi harganya pun cukup mahal. Saat ini, Ruth punya belasan mesin berkapasitas 500 kg dan satu mesin berkapasitas 1 ton–2 ton.

Selain produksi, faktor penting yang harus jadi perhatian ialah penyimpanan. Ruth menyiapkan cold storage untuk menjaga es tetap membeku. Tempat penyimpanan tersebut berkapasitas 5 ton. Sebelum dikirimkan ke pembeli, es harus disimpan dulu sampai beku. Jadi ketika sampai di tempat pembeli, es tidak mencair.

Berbeda dengan Ruth, Ahmad langsung mengirimkan es setelah diproduksi. “Jadi, saya tidak perlu keluar biaya untuk tempat penyimpanan karena semua produksi berdasarkan pesanan pembeli,” tandasnya.

Adapun pengantaran dilakukan dengan menggunakan cool box atau dengan mobil yang dilengkapi dengan pendingin ruangan. Ruth memiliki setidaknya 3 unit mobil untuk mengantar es kristal ke alamat pembeli. Sementara itu, Ahmad menggunakan tas khusus berlapis aluminium foil. Pengantaran biasanya dilakukan pagi hari, terutama untuk restoran yang berada di mal.

Baik Ruth maupun Ahmad menetapkan minimal pemesanan bagi pembeli. Apalagi jika jarak pembeli dengan pabrik cukup jauh. Kalau order hanya sedikit, mereka tidak segan-segan menolak karena tidak akan menutup biaya operasional.

Lantaran berada di daerah Meruya, Ruth menetapkan minimal order 20 kg untuk pembeli di daerah yang sama. Namun bila es harus diantar keluar daerah itu, minimal order bertambah jadi 30 kg–50 kg. Sementara, Ahmad membebaskan minimal order bagi pembeli di Jakarta Timur. Minimal pemesanan 50 kg baru berlaku untuk pembeli di luar Jaktim.

Pembedaan ini harus ditetapkan berdasarkan jarak tempuh karena menyangkut biaya untuk pembelian bensin. “Kadang ada yang hanya butuh 20 kg tapi karena tempatnya cukup jauh tetap harus bayar untuk es 30 kg,” kata Ruth.

Saking fokus mengurus produksi es kristal, Ruth kerap melupakan pemasaran. Sejauh ini ia hanya memasang info usahanya di situs www.tripoleicecubes.webs.com. Menurut dia, lantaran es merupakan kebutuhan, pemasaran bisa dikesampingkan. “Bukan berarti dilupakan karena kami mau lebih banyak lagi yang tahu tentang Tripole Ice Cube,” tegasnya.

Lain halnya dengan Ahmad yang masih gencar memasarkan produknya. Ahmad ‘menjemput bola’ dengan mendatangi restoran-restoran di sekitar Jakarta Timur. Ia membawa serta sampel es kristalnya. Ahmad mengakui, rata-rata restoran sudah punya penyuplai es kristal. Jadi, ia harus mencari restoran yang baru mau buka. Atau, harus pintar-pintar meyakinkan kualitas produknya pada pembeli.

Nah, tertarik mencoba usaha es kristal di daerah Anda?    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×