kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menembus pasar internasional dengan kerajinan cengkih


Rabu, 09 Februari 2011 / 14:42 WIB
Menembus pasar internasional dengan kerajinan cengkih
ILUSTRASI. Pekerja milenial beraktivitas di sebuah co working space


Reporter: Ragil Nugroho, Mona Tobing | Editor: Tri Adi

Tak hanya menjadi bumbu masakan, cengkih juga bisa menjadi bahan baku sebuah karya seni, seperti lukisan dan miniatur kapal. Bahkan, lukisan berbahan cengkih sudah menembus pasar internasional. Asal bisa membaca selera pasar, prospek usaha ini cukup menjanjikan.

Indonesia sangat terkenal dengan hasil rempahnya. Banyak orang berduyun-duyun datang ke negeri ini untuk memburu salah kekayaan alam itu.

Rempah-rempah ini pula yang menginspirasi kalangan seniman untuk mencipta lukisan nan unik. Bahkan, lukisan ini terlihat lebih hidup dibandingkan dengan lukisan berbahan cat.

Syahputra pun mencoba menawarkan lukisan rempah-rempah lantaran harga bahan baku yang lebih murah. "Empat tahun lalu, harga rempah-rempah yang menjadi bahan baku lukisan lebih murah ketimbang cat," tutur pria 35 tahun ini. Selain itu, rempah-rempah juga gampang diperoleh.

Ia menggunakan rempah-rempah, seperti, cabai, daun teh, biji weewood, ketumbar, tepung kanji, biji saga, daun waru, dan cengkih untuk melukis kaligrafi. Sebelumnya, bahan baku itu diolah dengan campuran bahan kimia supaya lebih awet.

Semua bahan baku itu, Syahputra dapat dari pasar tradisional. Namun, khusus untuk cengkih, ia selalu memesannya dari Sumatera. "Cengkih dari sana lebih bagus kualitasnya, lebih halus," ungkap dia.

Jika mendapatkan bahan yang kasar, ia pun harus menggiling rempah-rempah itu terlebih dulu. "Pastikan rempah-rempahnya halus, supaya lebih mudah ditempel," ujar Syahputra.

Dia menggunakan lem khusus untuk menempelkan rempah-rempah itu sesuai dengan gambar atau motif yang diinginkan. "Tak perlu ada keahlian khusus yang penting teliti karena prosesnya cukup rumit. Sebab, jika melewatkan satu detail saja, maka kesalahannya bisa fatal," beber Syahputra.

Untuk mendapatkan warna-warna yang cantik, Syahputra memanfaatkan warna dari kulit bumbu dapur. Misalnya, jika ingin memperoleh warna merah, ia memakai cabai. Kelir hijau berasal dari potongan sayur. Sedang, kunyit dapat menghasilkan warna kuning. "Bahan-bahan itu dapat dicampur dengan bahan pokok dari kaligrafinya seperti cengkih," katanya.

Proses pewarnaan dan pembuatan lukisan memang dilakukan secara bersamaan. Karena itu, butuh konsentrasi dan ketelitian yang tinggi. "Salah sedikit harus diulang dari awal," ujar dia.

Proses pembuatan kaligrafi membutuhkan waktu dua hingga tiga hari. Lamanya pengerjaan sangat tergantung dari cuaca untuk mengeringkan bahan baku.

Pengeringan bahan baku sangat penting, supaya gambar yang dihasilkan benar-benar terlihat nyata. Namun, jika musim hujan datang berkepanjangan, ia pun memakai lampu dengan watt tinggi untuk mengeringkan lukisan tersebut.

Kerajinan lainnya yang dapat dibuat dengan bahan baku cengkih adalah miniatur kapal. Namun, tak seperti lukisan yang juga menggunakan rempah jenis lainnya selain cengkih, miniatur kapal ini 100% berbahan cengkih.

Rina, produsen miniatur kapal, menyusun buah cengkih hingga membentuk miniatur kapal. "Hanya layarnya saja yang tak menggunakan bahan cengkih," ungkapnya.

Ia menggunakan cengkih supaya miniatur kapal ini mempunyai wangi yang sama hingga bertahun-tahun penyimpanan. "Wanginya bisa tercium kalau semuanya berbahan baku dari cengkih," tutur Rina.


Butuh modal besar

Perawatan barang yang terbuat dari cengkih juga terbilang sederhana. "Hanya perlu dilap basah atau kering," imbuh Rina yang menjual miniatur kapal berdasarkan pesanan saja. Banderol harga satu miniatur kapal Rp 500.000.

Sayang, meskipun barang kerajinan cengkih terbilang unik, peminatnya belum terlalu banyak. Menurut Syahputra dan Rina, hal ini karena masyarakat meragukan keawetan kerajinan berbahan cengkih.

Padahal, Syahputra bilang, kerajinan dari cengkih termasuk barang yang tahan lama. "Masyarakat sering berpikir sudah mahal, tidak awet, jadi jarang yang ingin membeli," ujarnya yang sudah setahun belakangan mengaku kesulitan dana untuk membuat kaligrafi berbahan baku rempah.

Modal yang besar juga menjadi faktor utama bisnis kerajinan cengkih belum berkembang besar. Syahputra menuturkan, untuk membuat sebuah kaligrafi diperlukan modal Rp 500.000 hingga Rp 1 juta.

Modal terus membengkak, lantaran saat ini harga bahan baku terus merangkak naik. "Kalau kebutuhan pokok dapur naik, otomatis harga lukisan juga kian mahal," kata Syahputra.

Untuk satu frame lukisan saja, Syahputra membutuhkan setidaknya lima kilogram cengkih. Itu belum ditambah dengan campuran bahan baku rempah lainnya.

Pasang surut bisnis kerajinan cengkih mulai dirasakan Syahputra sejak setahun lalu. Ia yang dulunya bisa menjual hingga 10 kaligrafi selama dua minggu, sekarang hanya mampu melego satu hingga dua kaligrafi saja dalam sebulan.

Syahputra membedakan harga lukisannya berdasarkan ukuran. Ia menyediakan tiga ukuran lukisan kaligrafi, yakni 90 x 122 cm, 50 x 122 cm, dan 35 x 122 cm. Harganya berkisar antara Rp 1 juta sampai Rp 2,5 juta.

Sedangkan, jenis-jenis kaligrafi yang bisa dipesan di tempat Syahputra meliputi ayat seribu dinar, Asma Allah, syahadat, shalawat, sifat 20, sifat Muhammad, 4 sahabat nabi, Basmalah, Allah- Muhammad, dan ayat kursi.

Bila Syahputra sedang kesulitan menjual lukisan kaligrafinya, Karyanto Hubu justru sebaliknya. Perajin rempah-rempah asal Tolitoli, Sulawesi Tengah ini bisa menjual lukisan berbahan cengkih hingga ke luar ngeri.

Selain lukisan, Karyanto juga membuat hiasan berbahan baku cengkih lainnya. Ia memang fokus pada bahan baku cengkih. Maklum, Tolitoli terkenal sebagai kota cengkih. "Bermacam hiasan ini juga menjadi sarana promosi kota kami," ujarnya.

Menurut Karyanto, bisnis itu cukup menjanjikan. Saat ini, ia melempar beragam produknya ke Malaysia, Brunei Darussalam, India hingga Inggris. Di pasar lokal, dia menjual karyanya hampir di seluruh Indonesia.

Selain mempertahankan industri daerah berbasiskan hasil alam, Karyanto juga memiliki misi besar menjadikan hiasan cengkih sebagai salah satu karya seni yang dikagumi dunia, lebih dikenal, dan dicintai, baik di dalam maupun luar negeri. "Pokoknya harus go international," tegasnya.

Kini, perkembangan usahanya cukup menggembirakan. Dalam sebulan, ia bisa menjual sekitar 80-100 jenis lukisan berbahan cengkih. Karyanto menjual beragam lukisan mulai dari Rp 550.000 hingga Rp 3 juta per buah. Alhasil, dalam sebulan Karyanto bisa meraup omzet hingga Rp 40 juta.

Selain itu, ia juga berencana untuk memamerkan produknya ke Amerika Serikat. Karyanto memang giat berpartisipasi dalam pameran internasional.

Lukisan Karyanto antara lain berupa perahu, burung, kereta kencana, lambang salib, kaligrafi Allah dan Muhammad. Karyanto juga menerima pesanan sesuai dengan keinginan konsumen.

Tentu saja, harga lukisan pesanan sedikit berbeda. "Harga menyesuaikan tingkat kesulitannya," ujar pria yang telah memulai usaha ini sejak 10 tahun lalu. Konsumen paling suka dengan lukisan rumah adat karena unik dan menggambarkan keragaman budaya Indonesia.

Proses pengolahannya juga tidak jauh beda dengan yang dilakukan Syahputra. Cengkih harus dipilih yang paling halus untuk mempermudah proses penempelan. "Cengkih juga harus dijaga jangan sampai terlalu lembab," ujar Karyanto.

Karyanto pun akan lebih fokus memasarkan produknya melalui dunia maya alias internet, selain tetap menempuh jalur promosi melalui ajang pameran dan dari mulut ke mulut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×