Reporter: Sri Sayekti | Editor: Tri Adi
Apa yang terbayang di benak Anda saat menyaksikan barisan anak-anak berparade dengan pakaian adat? Pernahkah terlintas bahwa ada peluang bisnis yang terbuka di balik perayaan Hari Kartini ataupun acara lain, seperti karnaval?
Kebanyakan dari kita terjebak anggapan bahwa kebutuhan pakaian adat untuk anak-anak cuma ada di musim-musim tertentu. Padahal, permintaan terhadap pakaian adat untuk anak-anak mengalir sepanjang tahun. Itulah yang dialami Hendy C.S., yang sejak tahun 2010 menekuni usaha pembuatan pakaian adat untuk anak. “Saya memilih usaha ini karena persaingannya tidak ketat. Pemainnya masih sedikit,” ujar Hendy.
Saat memulai usaha di daerah Surabaya Timur, Hendy merogoh kocek Rp 2 juta sebagai modal awal. Dana itu digunakan untuk membuat sekitar 30 pasang pakaian adat anak-anak, laki-laki maupun perempuan.
Untuk memulai usaha ini, Anda tidak harus membeli mesin jahit. Bahkan, Anda juga tidak harus mahir menjahit. Anda bisa menempuh cara yang dilakukan Hendy saat memulai usaha, yaitu mengorder pembuatan baju pakaian adat anak-anak ke empat penjahit yang sudah berpengalaman.
Selain menghemat modal, menurut Hendy, jurus maklun itu juga memudahkannya sebagai pengusaha pemula, fokus menangani urusan penjualan. Untuk menghias pakaian adat, seperti memasang manik-manik atau payet, Hendy memberdayakan ibu-ibu yang tinggal di kampungnya.
Hingga saat ini Hendy mampu memproduksi pakaian adat untuk anak-anak sebanyak 2.000 pasang, atau 4.000 setel per bulan. Meski sudah sekitar tiga tahun menjalankan usahanya, Hendy mengaku belum berencana untuk menjahit sendiri. “Karena masih repot menangani penjualan. Apalagi, banyak pesanan yang terpaksa saya tolak, jika tidak mau menunggu,” tutur Hendy. Saat ini ia memiliki tiga orang karyawan yang khusus menangani kegiatan produksi, serta mengatur jadwal dengan pihak penjahit.
Sejak memulai usahanya, Hendy langsung menggunakan jurus pemasaran online, dengan membuka website di www.natnatshop.com. Tak seperti yang ia bayangkan, pesanan yang masuk melalui situs itu, mengalir deras. Order datang dari berbagai penjuru, termasuk Timor Leste. “Saya mengirimnya melalui Nusa Tenggara Timur,” tutur Hendy.
Kebanyakan pelanggan Hendy adalah pengusaha salon. Pembeli itu datang dari beragam kota di berbagai pulai, mulai Kalimantan, Sumatra, hingga Papua. Harga jual pakaian adat yang terbuat dari kain beludru adalah Rp 200.000 per pasang untuk anak laki-laki dan anak perempuan di tingkat taman kanak-kanak (TK).
Sedang banderol untuk pakaian adat yang terbuat dari kain katun adalah Rp 170.000 per pasang, laki-laki dan perempuan anak usia TK. Lalu, selop kaki dijual seharga Rp 60.000 per pasang.
Selain menyediakan kostum untuk siswa TK, Hendy juga menjual pakaian adat untuk anak-anak yang duduk di tingkat sekolah dasar (SD), kelas 1–3 dan kelas 4–6.
Pengusaha salon yang membeli pakaian adat anak-anak dari Hendy, biasanya, menyewakan baju-baju itu ke pelanggan salonnya. Kelompok pembeli yang lain adalah reseller, yang akan menjual kembali pakaian adat anak-anak tersebut. Hendy tidak memasang persyaratan tertentu bagi pelanggannya yang hendak menjual kembali. “Para reseller biasanya menjual lagi dengan harga lumayan mahal,” tutur Hendy.Berkat promosi dari mulut ke mulut, pedagang pasar di Surabaya juga mencari pasokan pakaian adat anak dari Hendy.
Dia melayani beragam pembelian, mulai dari partai hingga eceran. Ada pelanggan Hendy yang memesan 10 pasang per order. Tapi tak sedikit pula yang membeli hingga 50 pasang, bahkan, 100 pasang. Lalu, ada pula yang rutin memesan 20 pasang per bulan. “Saya menerima partai besar maupun kecil, yang penting volume penjualan secara total tinggi,” ujar Hendy.
Kini omzet penjualan pakaian adat anak-anak Hendy mencapai Rp 60 juta per bulan. “Keuntungannya sekitar 30%,” jelas Hendy. Menurut Hendy, ada empat pakaian adat anak-anak yang paling banyak peminatnya, yakni pakaian adat dari Bali, Jawa, Padang, dan Aceh.
Selama lebih dari tiga tahun menjalani usaha pakaian adat anak-anak, Hendy merasakan usaha ini ramai sepanjang tahun, tidak cuma di bulan April, saat perayaan hari lahir Kartini. “Meski usaha rumahan, tapi dikerjakan dari pagi sampai malam agar pesanan terpenuhi,” tutur Hendy. Ia mengaku, keterbatasan kapasitas produksi menyebabkan beberapa pesanan harus ditolak. Kecuali, “Pembeli mau menunggu, baru kita terima,” imbuh Hendy. Biasanya, pembeli Hendy akan menerima ordernya dalam waktu dua minggu–tiga minggu, setelah tanggal pemesanan.
Pakaian tari
Pemain lain di usaha ini adalah Jumilah, yang mengawali usahanya dengan membuat pakaian adat dan kostum tari. Jumilah yang memulai usahanya dengan bendera Mila Collection, di Batam, mengeluarkan modal awal sebesar Rp 2 juta. Uang sebesar itu, empat tahun lalu, terpakai untuk membuat 35 pasang pakaian adat anak dan kostum tari. Sebelumnya, Jumilah memiliki usaha menjual permainan edukasi buat anak-anak yang ia tawarkan ke TK dan SD. “Ternyata barang yang banyak dicari justru pakaian adat dan kostum tari,” ujar Jumilah.
Harga jual pakaian adat yang dipatok Jumilah terhitung tinggi, yakni Rp 225.000 per set. Menurut hitungan Jumilah, satu setel pakaian adat anak-anak sudah balik modal dalam waktu 1 bulan. Bulan-bulan yang terhitung ramai adalah Februari, Maret, April, Juni, Juli, dan Oktober. “Ada bermacam acara di bulan-bulan itu, seperti Porseni, pentas saat perpisahan setelah kelulusan dari TK-SD-SMP,” jelas Jumilah.
Saat ini Jumilah memiliki 500 setel pakaian adat dan kostum tari. Khusus untuk pakaian adat Padang, Jumilah memiliki 50 setel stok, karena pakaian adat itu paling diminati di Batam. “Karena acara kerap bersamaan waktunya, saya harus punya stok pakaian adat dari 30 provinsi dikalikan setidaknya 10 sekolah,” tutur Jumilah.
Saat mengawali usaha lima tahun lalu di Batam, Jumilah mengaku belum memiliki pesaing. Namun lambat laun, sekolah-sekolah yang sudah membeli pakaian adat dan kostum tari darinya, sudah memiliki inventaris lengkap. “Tapi saya yakin, akan ada sekolah yang baru,” ujar dia.
Pelanggan Mila Collection tak cuma dari Batam, tapi juga dari Balikpapan, Sulawesi, dan Jakarta. Jumilah, yang juga menyewakan pakaian adat, mengaku keuntungan dari sewa lebih besar daripada dari menjual pakaian adat. “Untungnya bisa 50%,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News