kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45902,16   3,41   0.38%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menjumput untung dari makanan tradisional instan


Selasa, 30 April 2013 / 15:21 WIB
Menjumput untung dari makanan tradisional instan
ILUSTRASI. Kompak hijau, harga saham BBRI & BBCA menguat di perdagangan Rabu (17/11). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.


Reporter: J. Ani Kristanti | Editor: Tri Adi

Ragam kuliner khas dari beberapa daerah di Indonesia bisa menjadi lahan bisnis menggiurkan. Dengan pengolahan khusus dan pengemasan yang baik dan benar, Anda bisa  menawarkan beraneka masakan siap saji atau instan yang bisa tahan lama, sekaligus lezat dinikmati di mana saja dan kapan saja.

Berbagai suku bangsa di Indonesia melahirkan ragam kuliner yang berbeda-beda di tiap daerah. Kekayaan kuliner ini menjadi pendukung kian beragamnya bisnis di seputar makanan.

Tak hanya disantap di daerah asal, kini beberapa masakan tradisional itu juga bisa disantap dari mana saja dan kapan saja. Tepatnya, setelah beberapa pelaku usaha kuliner ini mengembangkan produknya, hingga bisa disiapkan sendiri oleh konsumen dengan cara yang cepat dan praktis.

Ambil contoh, gudeg kaleng-an. Masakan tradisional asal Yogyakarta itu, kini terkemas dalam kaleng. Alhasil, para penggila gudeg tidak perlu jauh-jauh menyambangi Yogya untuk mencari pengobat rindu olahan nangka muda yang berasa manis gurih khas ini.

Mereka bisa memesan pada saudara atau kerabat yang tinggal di Yogyakarta, karena gudeg kaleng ini awet hingga satu tahun. Cara menyajikannya pun cukup mudah, tinggal dihangatkan beberapa menit, gudeg yang tersimpan dalam wadah kaleng siap disantap.

Selain gudeg, masakan tradisional lain yang kini juga tersedia dalam kaleng seperti rendang, telur, dan sambel pecel. “Kami ingin makanan tradisional ini punya nilai tambah dan praktis dibawa ke mana-mana, seperti produk makanan asing yang memenuhi swalayan,” jelas Mukhamad Angwar, Koordinator Produksi Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (UPT BPPTK LIPI).

Tanpa bahan pengawet, LIPI mengembangkan pengolahan makanan dalam kaleng supaya memiliki masa simpan yang lebih lama. Selain menggandeng pelaku usaha UKM kuliner, LIPI juga mengembangkan sendiri produk makanan kalengan melalui koperasi LIPI Gading (Koliga). “Responsnya cukup baik,” kata Angwar.

Peluang makanan siap saji ini pun cukup besar. Jumlah penduduk Indonesia yang banyak tentu menjadi pasar potensial. Apalagi, saat ini, makin banyak perantau yang pasti akan merindukan masakan daerah. Belum lagi, industri pariwisata juga bakal mendongkrak bisnis makanan seperti ini. Masakan khas daerah ini juga siap menjadi buah tangan.

Menurut Djatu Dwi Kumalasari, pemilik gudeg kaleng Bu Tjitro, gudeg kaleng banyak diburu oleh kalangan perantau yang merindukan masakan daerah. “Penjualan terbesar saya justru datang dari Jabodetabek,” ujar dia.

Tak terbatas di Indonesia, permintaan gudeg kaleng rutin datang dari Eropa. Djatu rutin mengirim 500 kaleng gudeg setiap bulan ke Benua Biru itu. “Sebenarnya jumlah itu belum memenuhi semua permintaan, karena mengurus perizinan di sana tak mudah,” jelasnya.

Di Eropa, gudeg kaleng Bu Tjitro banyak diburu oleh masyarakat Indonesia yang bermukim di sana. Bahkan, Djatu bilang, sebelum gudeg sampai di sana, pesanan telah ludes. “Banyak yang inden,” ujarnya.

Djatu yang juga owner Gudeg Bu Tjitro mulai mengembangkan produk kemasan kaleng sejak 2009. Baru pada 2011, ia meluncurkan produk gudeg kaleng. Kini, saban minggu, Djatu mengalengkan sekitar 2.500 gudeg Bu Tjitro yang dijual dengan harga berkisar Rp 22.000 hingga Rp 25.000, tergantung dari alamat pengiriman yang dituju.

Selain masakan khas daerah, ada pula pelaku usaha yang menawarkan nasi liwet siap masak. Sedikit berbeda, proses memasak nasi ini cukup lama dibandingkan dengan makanan kalengan yang hanya butuh proses penghangatan karena memang sudah matang.

Beras yang sudah lengkap dengan beragam bumbu liwet ini butuh waktu sekitar 20 menit untuk disajikan. Meski begitu, pengolahan nasi yang berasa gurih ini sangat praktis. Maklum, pengolahan nasi liwet secara konvensional butuh pengolahan dalam beberapa tahap.

Nah, untuk memasak nasi liwet instan ini, konsumen tinggal memasukkan beras di pemasak elektronik (rice cooker). Pasalnya, beras sudah mengalami pengolahan terlebih dulu dan bumbu sudah siap dalam kemasan yang sama.

Andris Wijaya, pemilik CV 1001, produsen Liwet 1001, mengatakan, peminat nasi liwet instan ini terus bertambah. Selain menjadi oleh-oleh khas Garut, nasi liwet instan ini juga banyak dipesan sebagai bekal orang yang hendak berkemah, jemaah haji, atau orang yang akan bepergian lama ke luar negeri. “Nasi liwet juga banyak dipesan ibu-ibu saat ada acara di rumah,” ujarnya.

Tak heran, Andris pun terus menambah kapasitas produksinya. Selain itu, Liwet 1001 juga mengembangkan berbagai rasa. seperti jambal, teri, cumi, petai, jengkol dan pedas.

Dalam sehari, Liwet 1001 bisa memproduksi 2.000 pak nasi liwet instan. Mereka membungkus beras dan beragam bumbu serta minyak sayur dalam kemasan karton berbentuk kotak berukuran 250 gram dan 500 gram. Harganya Rp 15.000 untuk kemasan 250 gram dan

Rp 25.000 untuk kemasan 500 gram. Dari bisnis itu, Andris mengaku bisa mengantongi profit hingga 20% dari harga terendah ke reseller.

Apakah Anda tertarik untuk menekuni bisnis makanan instan seperti gudeg kaleng atau nasi liwet ini? Karena mempunyai nilai tambah, berupa masa simpan yang lebih lama, Anda bisa mengantongi untung lumayan tebal.

Makanan yang bisa diolah tidak cuma gudeg atau nasi liwet. Anda bisa menggali ide dari kekayaan kuliner tradisional di kota Anda. Tentu, pertimbangkan untuk memilih jenis makanan yang mempunyai banyak penggemar atau cocok di lidah banyak orang, pasarnya bisa terus berkembang.


Butuh tempat luas

Usaha makanan instan ini, sebenarnya mirip dengan usaha kuliner yang disajikan secara langsung di gerai-gerai makanan. Yang berbeda, Anda harus memikirkan proses pengolahan dan pengemasannya, agar masakan atau bahan makanan itu tahan lama dan tetap aman untuk disantap, tanpa meninggalkan citarasa yang otentik.

Seperti produk gudeg kaleng. Djatu membedakan proses pengolahan antara gudeg yang dijual di restorannya dengan gudeg kemasan kaleng. “Dari bahan baku dan bumbu, semuanya harus beda,” tuturnya.

Supaya memiliki masa simpan yang panjang, produk makanan itu harus bebas bakteri. “Makanan tradisional dimasukkan kaleng lalu diproses sterilisasi untuk membunuh mikroba,” jelas Angwar.

Kualitas dan kuantitas bahan baku serta bumbu pun harus diperhatikan, agar saat proses sterilisasi yang menggunakan panas tinggi, tekstur, dan citarasa gudeg tak berubah.  

Selain bahan baku, tentu Anda memerlukan modal tambahan untuk membeli mesin-mesin sterilisasi dan pengemasan. Oh, ya, jangan lupa, Anda juga harus menyiapkan tempat usaha yang cukup luas. Selain untuk memasak atau pengolahan, juga dibutuhkan ruang-ruang untuk berbagai proses tersebut, dari pengemasan, sterilisasi, hingga pengemasan.

Lantaran masih bekerja sama dengan LIPI, Djatu tak mengalengkan sendiri gudegnya. “Saya cukup membayar biaya per kaleng saja,” katanya.

Begitu pula dengan usaha nasi liwet instan. Butuh tempat yang cukup luas untuk membuat nasi liwet instan. “Untuk mengeringkan berbagai bahan baku ini membutuhkan ruang penjemuran yang cukup luas,” kata Andris.

Ia mengawali usaha Liwet 1001 ini hanya dengan modal Rp 30 juta. Maklum, saat itu, Andris bisa menggunakan mesin penggilingan milik orang tuanya dan hanya memberi sedikit modifikasi. Alhasil, selain menggiling padi, mesin huller itu bisa dipakai sekaligus untuk mencuci beras.

Supaya beras bisa bertahan lama,  Andris pun menggiling padi garut itu hingga tiga kali. Setelah itu, beras dicuci agar benar-benar bersih dari dedak. “Sisa-sisa dedak inilah yang bisa menimbulkan kutu beras,” kata Andris. Setelah dicuci, beras dikeringkan dan dikemas dengan bantuan mesin vakum.

Untuk menjamin kualitas nasi liwet instan, Andris mengontrol kualitas beras sejak dari gabah. Ia pun hanya menggunakan beras varietas tertentu yang cocok untuk nasi liwet. “Jadi, kuncinya ada di beras,” ujar dia.

Andris pun menyarankan, mereka yang ingin berusaha, benar-benar memperhatikan bahan baku atau beras. “Pengusaha juga harus jujur, misalkan, beras benar-benar harus dicuci bersih, agar bisa langsung dimasak,” ujarnya.

Adapun bumbu-bumbu lainnya diawetkan dengan cara pengeringan. Jika mulanya, Andris hanya menggunakan alat-alat konvensional untuk mengolah bumbu, kini ia sudah menggunakan berbagai mesin untuk menyiapkan bumbu-bumbu tersebut. Seperti mesin pengupas, mesin pengiris bawang, mesin pengering atau oven, hingga alat pendeteksi kadar air. “Jadi, kami tak memakai pengawet,” ujarnya. Nasi liwet instan ini pun bisa bertahan hingga satu tahun.

Sejauh ini, kegiatan pemasar-an masih dilakukan sendiri oleh pengusaha makanan instan ini. Sebelum memasarkan, jangan lupa untuk mengurus izin kelayakan makanan. Izin bisa diperoleh dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Jika izin BPOM belum terjangkau, usaha kecil dan menengah (UKM) bisa mengajukan sertifikasi produksi pangan industri rumah tangga (PIRT).

Selain menjual sendiri, pengusaha makanan instan ini juga mengandalkan para reseller. Mereka akan menetapkan harga jual yang berlaku untuk para konsumen agar konsumen mendapatkan harga yang sama, di mana pun mereka mendapatkannya. “Saya akan memberikan diskon untuk reseller. Besar diskon tergantung dari jumlah pemesanan, bisa sampai 30%,” jelas Andris.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×