Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Hendra Gunawan
Keindahan kekayaan alam Kabupaten Donggala di Kota Palu, Sulawesi Tengah sudah tidak diragukan lagi. Daerah yang berada di sebelah barat Kota Palu ini memang terkenal dengan pemandangan alamnya serta destinasi wisata bawah laut Pantai Tanjung Karang yang sohor keindahannya.
Selain memiliki daya tarik wisata alam tersebut, daerah ini juga memiliki banyak hasil kekayaan kerajinan tangan warganya yang sudah cukup terkenal. Salah satunya yakni sarung tenun ikat khas Donggala. Salah satu sentra produksi sarung tenun ikat ini berada di Kelurahan Watusampu, Donggala.
Untuk mencapai lokasi ini dibutuhkan waktu sekitar 45 menit dari Bandara Mutiara SIS Al Jufri Palu, Sulawesi Tengah dengan mengendarai kendaraan roda empat. Tidak ada patokan khusus untuk menandai sentra produksi dan penjualan kain Donggala tersebut.
Satu-satunya penanda hanyalah terdapat rumah-rumah yang banyak memasang papan iklan menjual sarung tenun Donggala. Mereka menggunakan rumah mereka sebagai tempat produksi sekaligus tempat berjualan. Itu sebabnya, para penjual sarung tenun ikat ini hanya meletakkan hasil produksinya di ruang tamu rumah mereka masing-masing.
Bahkan, tidak jarang mereka menutup pintu rumah sehingga para pembeli harus mengetuk pintu terlebih dahulu untuk melihat barang dagangan. Selain bisa membeli sarung tenun Donggala, di sentra ini Anda juga dapat melihat langsung cara pembuatan sarung ikat ini. Sebagian besar para penjual ini juga memproduksi sendiri koleksi sarung tenunnya.
Jaena, salah satu perajin sarung tenun Donggala bercerita, lokasi ini sudah menjadi sentra produksi sarung ikat sejak tahun 1980-an. Kebanyakan para perajin di sana adalah perempuan.
Dulu, para perajin masih menenun dengan cara tradisional. Namun setelah mendapat pelatihan dan bantuan dari pemerintah, para perajin berganti menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) untuk memproduksi kain tersebut.
Harga jual sarung tenun yang Jaena produksi sekitar Rp 400.00 hingga Rp 800.000 per lembar. Dia mampu mengantongi omzet sekitar Rp 5 juta per bulan. "Bila sedang ramai pembeli, saya bisa mendapatkan omzet hingga belasan juta rupiah dalam sebulan," ujarnya.
Sementara Lilik, penjual sarung tenun lainnya mengaku sudah tidak lagi memproduksi kain sendiri sejak kuliah. Untuk itu, dia memperkerjakan tiga karyawan untuk memproduksi sarung tenun di rumahnya. Lilik memiliki beberapa ATBM untuk produksi kain. Dari berjualan sarung tenun ini, Lilik bisa meraup omzet belasan juta rupiah per bulan.
Dulu, di sana, hampir semua perempuan menjadi perajin sarung tenun. Namun, Jaena bilang, lama kelamaan perajin di tempat ini makin berkurang. Saat ini perajin yang masih berproduksi hanya tersisa 20 orang. Umumnya banyak yang beralih bekerja di pabrik atau membuka toko.
Agar kekayaan budaya lokal ini tidak punah, Jaena berusaha menurunkan keterampilan menenun kepada anak dan cucunya. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News