kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyeruput tezeki dari teh khas Thailand


Senin, 23 Februari 2015 / 13:37 WIB
Menyeruput tezeki dari teh khas Thailand
ILUSTRASI. Visinema adalah satu-satunya production house Indonesia dimana dua produksi filmnya diputar di BIFF 2023.


Reporter: Marantina, Pradita Devis Dukarno | Editor: Tri Adi

Sudah sejak zaman dulu, teh menjadi minuman yang digandrungi masyarakat Indonesia. Selain rasanya yang khas, konon minuman ini juga memiliki manfaat kesehatan bagi tubuh. Lantaran pasarnya yang besar, tidak heran banyak orang mencari peruntungan dari bisnis minuman teh.

Meski Indonesia punya banyak jenis teh, tak menghalangi masyarakat untuk menginginkan teh dari luar negeri. Nah, beberapa tahun belakangan, ada tren baru untuk menikmati teh, yakni thai tea atau yang juga dikenal dengan sebutan cha yen tea.

Teh asal negeri Gajah Putih ini bukan minuman baru sebenarnya. Namun, di dalam negeri, teh ini baru populer akhir-akhir ini. Teh ini terutama populer di antara anak-anak muda. Salah satu merek thai tea yang dikenal masyarakat ialah King Thai Tea yang merupakan minuman yang diproduksi PT Agni Ardhaya Indonesia.

Ide untuk memproduksi teh Thailand ini datang dari Dianta Hasri Barus dan Ryanda Ibrahim. Dulu, sebagai atlet Muay Thai, Ryanda sempat bermukim di Thailand. Setelah kembali ke Indonesia, ia mencari thai tea seperti yang ia nikmati di negeri Gajah Putih itu. Sayangnya, Ryanda tak menemukan thai tea dengan rasa seperti yang ia seruput di Thailand.

Lantaran thai tea sudah mulai booming di sini, Ryanda lantas terpikir memproduksi thai tea. Ryanda pun menggandeng Dianta untuk merintis usaha pembuatan thai tea pada 2011. Kemudian, pada Juni 2012, merek King Thai Tea (KTT) pun muncul di pasaran.

Awalnya, KTT bekerja sama dengan perusahaan ritel Yogya Xpress milik Yogya Group.  Pada tiga cabang supermarket, Dianta dan Ryanda membuat booth yang memuat dispenser untuk KTT. “Konsepnya, konsumen bisa self-service alias mengambil sendiri thai tea dalam gelas kertas (cup) yang sudah disediakan,” ujar Dianta yang menjabat Direktur Utama Agni Ardhaya Indonesia.

Selanjutnya, pada pertengahan 2013, Dianta mengembangkan usahanya dengan memunculkan produk thai tea dalam kemasan botol. Selain di gerai Yogya Xpress, KTT juga dijual di beberapa gerai di Bandung. Baru pada kuartal terakhir tahun ini, Dianta mengembangkan sayap bisnis ke Jakarta. “Total gerai penjualan King Thai Tea kini mencapai 20 gerai. Kami menjualnya di restoran, kafe, dan kampus,” kata Dianta.

Dari pengamatannya, penjualan thai tea di kemasan cup dan botol berimbang. Kemasan botol diminati karena dianggap praktis oleh pembeli. Sementara, thai tea dalam cup disukai karena konsumen bisa mengambil sendiri minumannya. Apalagi, thai tea dijual di supermarket yang tergolong selalu ramai pengunjung. Makanya, Dianta melihat peluang yang bagus untuk mengembangkan produk ini lewat gerai-gerai ritel modern lainnya.

Ketika meluncurkan produk ini, Dianta bilang, tidak sulit mengedukasi masyarakat mengenai thai tea. Saat itu, di Bandung, minuman ini sangat tenar di kalangan anak muda. Nah, ketika muncul produk yang dianggap baru, konsumen pun tertarik mencoba. Soalnya, selama ini kebanyakan minuman kemasan cenderung tidak bagus untuk kesehatan, seperti kopi atau minuman bersoda. “Kami hanya perlu branding untuk merek King Thai Tea, karena masyarakat sudah akrab dengan thai tea,” cetusnya.

Namun, pada bulan pertama, Dianta mengaku penjualan KTT belum terlalu bagus. Mereka membutuhkan waktu dua bulan untuk menguatkan brand awareness masyarakat terhadap produk KTT. Buktinya, pada bulan ketiga, KTT jadi salah satu produk yang paling laku dijual di Yogya Xpress.

Pemain lain dalam usaha ini ialah Mutia Safrina di Bandung, Jawa Barat. Mutia memang menyukai minuman campuran teh dan susu. Namun, dulu ia harus mendapatkan minuman ini di kafe. “Lalu saya berpikir, kenapa tidak bikin saja teh dan susu dalam kemasan botol, jadi bisa take away,” tutur dia.

Dus, sejak Desember 2011, ia mulai memproduksi thai tea dengan merek jual Addictea. Ada banyak varian rasa Addictea, mulai original, green tea, taro milk tea, banana milk tea, coffe milk tea, dan minty milk tea. Kisaran harganya antara Rp 10.000 per botol hingga Rp 40.000 per botol.

Sementara itu, Dianta hanya memproduksi dua jenis thai tea, yakni original thai tea dan green tea. Menurut Dianta, di negara asalnya, hanya ada dua jenis teh ini. Di KTT sendiri, penjualan green tea masih mendominasi. Maklum, green tea juga menjadi tren di kalangan masyarakat.

Untuk produk KTT dalam cup, Dianta membanderol thai tea seharga Rp 9.500 untuk ukuran 12 0z dan Rp 12.500 untuk 16 0z. Adapun thai tea dalam kemasan botol ditawarkan dengan harga Rp 15.000 dengan ukuran 600 ml. Di Jakarta, harga ini lebih mahal, yakni
Rp 20.000 per botol.

Mutia menjelaskan, target pasarnya berada pada kisaran usia 15 tahun hingga 35 tahun yang mayoritas pelajar, mahasiswa dan karyawan. “Pembeli Addictea adalah orang yang gemar nongkrong dan bergabung dalam komunitas,” ujarnya.

Kini, kapasitas produksi Addictea mencapai 40.000 botol saban bulan. Mutia mendistribusikan produknya ke toko atau outlet dengan cara konsinyasi. Sejauh ini, ia memasarkan Addictea di di Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cianjur, dan Cikarang.

Menurut Mutia, beberapa bulan terakhir permintaan menurun. Penyebabnya, muncul banyak pemain lokal yang memproduksi thai tea dalam kemasan. “Usaha ini sudah melewati masa puncak,” ujar dia.

Akan tetapi, Dianta menampik hal tersebut. Pria berusia 29 tahun ini mengategorikan thai tea sebagai fashion drink. Dia menekankan bahwa thai tea bukanlah tren sementara. Ia melihat minuman ini masih menyimpan potensi besar untuk dikembangkan.

Hal ini terbukti dari pertumbuhan permintaan yang kian meningkat. Dibandingkan akhir 2013, permintaan thai tea sudah melonjak 150%. “Tahun ini kami buka banyak cabang, makanya pertumbuhan bisnis juga bagus, dan ini masih akan dilanjutkan tahun 2015,” tutur dia.

Dianta mengatakan kapasitas produksi KTT sekarang 5.000 botol tiap bulan. Namun, itu baru penjualan thai tea di Bandung. “Di Jakarta, kami punya tiga outlet yang baru buka tahun ini, jadi produksi untuk outlet Jakarta belum sebanyak itu,” ucap Dianta.

Saban bulan, Dianta bilang pendapatan dari usaha thai tea ini bisa mencapai Rp 100 juta. Laba bersihnya berkisar 30% dari nilai omzet.

Modal minim

Anda tertarik mencoba peruntungan di usaha ini? Para produsen thai tea dalam kemasan menuturkan modal untuk memulai usaha ini tidak terlalu gembung. Ambil contoh Dianta dan Ryanda yang mengeluarkan modal Rp 15 juta, hasil pinjaman dari rekan-rekan mereka. “Dalam tiga bulan, dana pinjaman itu sudah bisa dilunasi,” ungkap Dianta.

Modal tersebut dia gunakan untuk membeli peralatan produksi dan bahan baku awal. Untuk peralatan, semuanya ia beli di dalam negeri. Tetapi, sebanyak 70% bahan baku harus diimpor, termasuk daun teh dari Thailand.

Dianta dan Ryanda butuh waktu enam bulan untuk menyiapkan peluncuran KTT. Kata Dianta, 80% proses persiapan dihabiskan untuk mengembangkan produk, yakni membuat standarisasi rasa dan prosedur kerja serta mencari pemasok.  Sisanya, mereka fokus pada pemasaran. Dianta bekerjasama dengan konsultan pemasaran dan branding di Bandung sebelum meluncurkan KTT.

Adapun Mutia, mengaku harus patungan dengan temannya Saskia Pratiwi untuk memodali usaha Addictea. Keduanya mengumpulkan uang Rp 5 juta sebagai modal membeli bahan baku susu, teh, botol dan kemasan botol plastik.

Mutia bilang, pada umumnya thai tea merupakan gabungan antara teh dengan susu. Jadi, proses pembuatannya tidak terlalu rumit. Menurut dia, Addictea bisa laku di pasaran karena komposisi susu yang dicampur lebih banyak. Itu membuat rasa Addictea dianggap enak dan bisa diterima lidah masyarakat di sini.

Dianta menjelaskan cara pembuatan thai tea dimulai dari bahan baku teh yang dikeringkan. Teh kemudian dimasak bersama air. Setelah itu, teh disaring dan dicampur dengan bahan baku lainnya untuk menyesuaikan rasa. Selanjutnya kembali pada tahap penyaringan. Jika sudah, teh pun siap untuk dikemas.

Untuk kemasan, selain paper cup, Dianta menggunakan botol plastik PET. Alasannya, untuk menghemat biaya produksi. “Untuk menjual produk dengan harga terjangkau, kami memilih menggunakan kemasan yang tidak terlalu mahal daripada harus mengorbankan kualitas rasa thai tea,” ucapnya.

Lantaran menyasar pasar anak muda, Dianta memaksimalkan sosial media untuk branding. “Konsumen KTT merupakan orang-orang yang peka terhadap teknologi dan kerap mencari informasi lewat sosial media,” kata dia.

Pria kelahiran Padang ini menuturkan, KTT bisa diterima karena rasanya yang menyerupai thai tea yang dijual di negara asalnya. Dianta bilang, teh untuk membuat thai tea hanya bisa tumbuh di Thailand, jadi harus diimpor. “Untuk orang-orang yang sudah akrab dengan thai tea yang asli, pasti bisa membedakan mana kualitas thai tea yang bagus,” ujarnya.

Tak heran jika pengeluaran terbesar KTT adalah untuk berbagai biaya untuk kegiatan produksi, terutama untuk bahan baku. Porsinya sebesar 30%, Pengeluaran lain ialah untuk membayar gaji karyawan. Dianta punya 15 orang pegawai yang bertugas di bidang produksi dan marketing.

Perhatikan jalur distribusi

Thai tea atau teh khas Thailand merupakan campuran antara teh hitam dengan bunga lawang, gula, dan susu evaporasi.  Berbagai paduan bahan baku ini membuat jenis teh ini memiliki tekstur kental dengan rasa yang unik. Di negara asalnya, sangat mudah menjumpai teh ini. Rasanya yang manis membuat teh ini juga menjadi favorit masyarakat di sini.

Mutia Safrina, owner Addictea, menuturkan, karena tidak menggunakan bahan pengawet, thai tea hanya tahan enam jam di luar kulkas. Tetapi, jika disimpan di mesin pendingin, thai tea dalam kemasan bisa bertahan hingga seminggu.

Karena itu, Mutia masih kesulitan dalam mendistribusikan thai tea ke banyak kota di Indonesia. Apalagi, dia menghitung biaya distribusi yang mahal untuk wilayah-wilayah yang jauh dari Bandung, tempat produksinya.

Sementara itu, Dianta Hasri Barus, Direktur Utama PT Agni Ardhaya Indonesia, bilang, belum menemui kendala berarti dalam usaha pembuatan thai tea dalam kemasan. Baik dari segi produksi, hingga suplai bahan baku masih bisa tertangani.

Dalam hal distribusi, Dianta tak mengalami kesulitan karena dia baru membatasi lingkup pemasaran King Thai Tea di Bandung dan Jakarta. “Kami masih fokus di kedua kota ini karena potensinya masih besar,” kata Dianta.

Malahan, ia mau menambah 30 outlet baru sepanjang tahun 2015.  Dengan merek King Thai Tea, ia mau fokus memasarkan thai tea dengan rasa yang sudah ada sekarang. Namun, ia akan terus memperkuat jalur distribusi. “Penyebaran King Thai Tea harus luas karena kami mau memastikan produk ini gampang diraih oleh konsumen,” cetus dia.

Ia menambahkan, di masa mendatang persaingan bukan hanya datang dari merek thai tea lainnya. Akan tetapi, ia mewaspadai jenis minuman baru yang bakal jadi tren berikutnya. Dus, ia memperkuat usahanya dari segi manajemen agar usaha ini bisa bertahan lama. “Kami akan terus berinovasi, terutama dari segi branding agar tidak kalah saing,” tukasnya.               

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×