kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.608.000   1.000   0,06%
  • USD/IDR 16.175   100,00   0,61%
  • IDX 7.166   -66,59   -0,92%
  • KOMPAS100 1.055   -9,60   -0,90%
  • LQ45 831   -12,11   -1,44%
  • ISSI 214   0,13   0,06%
  • IDX30 427   -6,80   -1,57%
  • IDXHIDIV20 512   -6,51   -1,26%
  • IDX80 120   -1,15   -0,95%
  • IDXV30 123   -0,75   -0,60%
  • IDXQ30 140   -2,07   -1,45%

Merajut laba dari benang, peralatan, serta kursus


Kamis, 06 Februari 2014 / 14:13 WIB
Merajut laba dari benang, peralatan, serta kursus
ILUSTRASI. Promo Hemat Akhir Pekan September ala Chatime (Dok/Chatime)


Reporter: Sri Sayekti | Editor: Tri Adi

Apa yang Anda bayangkan dari kegiatan merajut? Mungkin yang ada di benak Anda adalah nenek-nenek yang tengah mengisi waktunya dengan merajut. Anggapan itu kendati umum namun keliru. Yang terjadi saat ini, merajut menjadi hobi bagi berbagai kelompok usia. Tak cuma mereka yang sudah berusia senja, banyak orang yang berada di usia produktif, termasuk anak-anak sekolah, menjadikan merajut sebagai kegiatannya.

Betapa merajut naik daun bisa terlihat dari banyaknya komunitas kegiatan itu. Beberapa dari para hobiis itu, belakangan, bahkan, mendapat celah untuk membisniskan kesenangannya dengan menjual benang dan bahan rajut hingga menggelar kursus merajut.

Simak saja pengalaman Sylvia Nureka. Ia memutuskan berhenti dari sebuah perusahaan travel pada 2011, untuk menekuni usaha yang sesuai dengan hobinya, yaitu merajut. “Awalnya sempat ragu, tetapi saat pamitan dengan klien-klien yang ternyata juga suka merajut, saya jadi tambah semangat membuka usaha rajut,” jelas Sylvia yang mengibarkan bendera usaha Craftstudio.

Tak tanggung-tanggung, Sylvia langsung menjual benang dan alat rajut di mal. “Kalau di mal lebih ramai daripada di ruko,” tutur Sylvia. Itu sebabnya, Sylvia merogoh modal cukup besar saat mengawali usahanya, yakni Rp 600 juta.

Lokasi gerai Craftstudio berada di Mal Living World Alam Sutra, Tangerang Selatan. Mal mewajibkan setiap penyewa gerai menyerahkan uang jaminan sebesar Rp 200 juta. Investasi lain adalah membangun interior toko dan menyediakan stok bahan baku rajut plus peralatan  masing-masing Rp 150 juta dan Rp 250 juta.

Namun, Anda jangan keder dulu dengan modal awal usaha rajut. Bisnis ini bisa dilakukan di rumah, hingga kebutuhan modalnya lebih terjangkau.

Jalan itu yang dilakoni Gita Tariallo dengan  membuka Gita Galeri Rajut di rumahnya, di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Saat itu, sekitar Januari 2011, Gita cuma mengeluarkan modal sekitar Rp 1 juta. Untuk promosi usahanya, Gita meluncurkan blog gratisan, di gitagalerirajut.blogspot.com.

Selama satu tahun pertama, baik Sylvia maupun Gita merasakan sepinya usaha mereka. Sylvia malah mengaku harus nombok untuk membayar sewa gerai Rp 21 juta per bulan plus menggaji tiga orang karyawan. “Tahun kedua sudah lumayan dikenal dan biaya operasional sudah tertutup,” kata Sylvia.


Ditopang kursus

Jurus paling umum untuk mengerek penjualan benang rajut dan perlengkapan merajut adalah menyelenggarakan kursus. Kegiatan kursus, jelas, menunjang penjualan benang mengingat peserta kursus wajib membeli benang di toko yang telah ditentukan.

Bagi yang belajar merajut di tingkat dasar, Craftstudio dan Gita Galeri Rajut menawarkan kursus gratis. Bagi pemula, Sylvia dan Gita menyarankan untuk membuat syal, karena pengerjaannya paling gampang dan pola berulang. Paket syal dijual di Crafstudio sebesar
Rp 100.000 dengan menggunakan 1 gulung besar benang impor dari Amerika Serikat (AS).

Bagi yang hendak kursus merajut tingkat mahir, Craftstudio menyediakan dua orang guru. Menurut Sylvia, sistem kerjasama dengan guru ini adalah kerjasama bagi hasil fifty-fifty, baik dari biaya kursus maupun dari pembelian benang.

Adanya jadwal kursus juga memudahkan pelanggan yang berminat mengikuti kursus. Saat ada kursus, karyawan Craftstudio pun ikut belajar, supaya makin mahir merajut. “Sekarang mereka malah lebih mahir daripada saya,” ujar Sylvia, yang kini sibuk dengan urusan monitor stok benang, order impor benang.

Saat menyiapkan usahanya, Sylvia mengaku butuh persiapan yang matang, karena ia pun harus mengajar tiga orang karyawannya, agar mahir merajut.

Jalan yang ditempuh Gita juga lumayan berliku. Ia perlu waktu sekitar dua tahun untuk menguasai keterampilan merajut,  karena ia belajar merajut dari buku, internet. Setelah keluar dari pekerjaannya sebagai guru sekolah dasar, Gita menekuni usaha rajut.

Perbandingan pendapatan yang diperoleh Craftstudio antara kursus dan penjualan benang adalah 60% dari penjualan benang dan 40% dari kursus.

Sedang Gita Galeri Rajut, hanya mengandalkan pemasukan dari penjualan benang dan tidak menyelenggarakan kursus berbayar di tingkat lanjut. Namun Gita menambah pendapatannya dengan menjual tas rajut hasil karyanya dengan kisaran banderol Rp 70.000–Rp 200.000.

Keuntungan menjual hasil rajutan, menurut Gita, mencapai 50%. Sedang keuntungan menjual benang 40%. Saat ini, omzet penjualan benang Gita mencapai Rp 8 juta per bulan. Catatan saja, angka itu tidak temasuk penjualan dari produk hasil rajutan.

Sedang omzet penjualan benang dan kursus yang dicetak Craftstudio berkisar Rp 60 juta hingga Rp 75 juta per bulan. Tingkat keuntungan Craftstudio sekitar 25%.

Sejak awal membuka Craftstudio, Sylvia sudah memutuskan untuk fokus di benang impor, karena jumlah pemain di produk itu masih sedikit, tidak sebanyak penjual benang lokal. Ia mengaku kualitas benang lokal sebenarnya sudah bagus. Tapi, ia tetap memilih benang impor, “Supaya saya dapat porsi pasar yang lebih besar,” ujar Sylvia memberi alasan.

Saat mengimpor, Sylvia langsung menghubungi distributor benang yang ada di AS, Eropa hingga Jepang. Karena melalui laut, pengiriman benang bisa memakan waktu sebulan.  “Saya biasanya belanja setiap tiga bulan sekali. Sekali belanja sampai 20 dus benang,” jelas Sylvia.

Selama satu tahun terakhir, Sylvia dan Gita merasakan peminat produk dan jasa mereka makin meningkat. Apalagi, banyak komunitas perajut yang rutin menggelar pertemuan. Di Mal Living World, menurut Sylvia, setiap bulan ada saja komunitas merajut yang menggelar pertemuan. Restoran menjadi tempat pilihan komunitas itu. Tentu, gerai Craftstudio makin dikenal komunitas perajut.

Sylvia mengaku, sudah banyak mal yang memintanya untuk membuka gerai Craftstudio. Namun Sylvia masih enggan karena biaya sewa mal di Jakarta relatif lebih mahal. Karena itu, Sylvia mengaku sangat terbantu dengan penjualan produknya secara online, melalui situsnya www.craftstudio11.com. Itu sebabnya, banyak pelanggan Sylvia, kendati tinggal  di Jakarta, yang memilih pesanan mereka dikirim. “Mereka yang tinggal di Kelapa Gading, begitu dengar toko saya di Tangerang, akan memilih membayar ongkos kirim,” jelas Sylvia.

Prospek usaha penjualan benang rajut berikut kursus, menurut Sylvia dan Gita, tak akan lekang dimakan zaman. “Enggak ada matinya, karena ini hobi,” ujar Gita. Sylvia menyarankan, mereka yang meminati usaha ini, hendaknya mengerti dahulu rajut, selain faktor modal, tempat, dan tenaga kerja.

Siap bisnis benang rajut?     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×