kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Merangkai laba dari kerajinan bambu


Kamis, 08 September 2011 / 12:43 WIB
Merangkai laba dari kerajinan bambu
ILUSTRASI. 5 Universitas yang memiliki jurusan bisnis dan manajemen terbaik di Indonesia. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/hp.


Reporter: Ragil Nugroho, Bambang Rakhmanto | Editor: Tri Adi

Pohon bambu bukan tanaman asing bagi orang Indonesia. Dengan jumlah yang berlimpah, batang bambu bisa digunakan untuk memenuhi beragam kebutuhan. Selain bahan baku mebel, bambu bisa disulap menjadi berbagai alat musik barat, bahkan rangka sepeda.

Tanaman bambu memiliki sejuta manfaat. Selain bisa digunakan untuk bahan baku mebel, atau bahan untuk mempercantik interior dan eksterior rumah, bambu juga bisa disulap menjadi alat musik dan alat transportasi, berupa sepeda.

Sebagai bahan alternatif pengganti kayu, bambu semakin menjadi andalan usaha kerajinan di Indonesia. Apalagi bahan baku bambu dengan mudah ditemui di mana saja.

Lihat saja pengalaman Supardi dan Dasep Arifin bergelut dengan bambu. Supardi yang berasal dari Bandung sejak 2005 lalu telah membuat aneka lampu hias, kursi, dan meja bambu dengan merek Bamboo's Craft. Dengan merek yang sama, pada 2010 lalu dia juga berkreasi membuat sepeda onthel alias sepeda angin dari bambu.

Tentu saja, sepeda bambu yang dibuat oleh Supardi dijual lebih mahal. Jika produk lampu hias dan furnitur bambu dijual dengan harga antara Rp 100.000 sampai Rp 500.000 per unit, sepeda bambu dia banderol seharga Rp 20 juta per unit.

Dibantu oleh 4 karyawan, Supardi membuat sepeda bambu ukuran tinggi 165 cm dan panjang 120 cm dalam waktu 20 hari. "Meski baru, produk sepeda bambu saya mulai disukai konsumen, terutama di Jabodetabek dan Semarang," ujar dia.

Supardi rata-rata bisa menjual dua sepeda bambu per bulan. Dengan penjualan tersebut, dia mengaku mendapat omzet total hingga Rp 50 juta per bulan dari seluruh penjualan kerajinan bambu. Dari omzet senilai itu, Supardi bisa menarik margin hingga 15%.

Dengan permintaan yang terus naik dalam dua tahun terakhir, Supardi bertekad akan lebih fokus membuat sepeda bambu. "Prospeknya sangat bagus," katanya.

Prospek yang bagus itu didukung oleh kondisi geografis dan demografis Indonesia. Polusi, kemacetan, dan mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, memicu gerakan bike to work sehingga memicu permintaan sepeda lebih tinggi.

Menurut Supardi, sepeda bambu adalah solusi paling tepat untuk menyelamatkan lingkungan. Selain materialnya murah dan mudah didapatkan, juga mudah didaur ulang. "Proses pembuatannya pun tidak menimbulkan polusi karbon," kata Supardi, bersemangat.

Tak hanya itu, ia juga mengklaim, sepeda bambu buatannya nyaman digunakan. Sebab, bambu yang digunakan sebagai rangka sepeda itu ulet alias tak mudah patah, lentur, tetapi kuat. Kelenturan inilah yang menjadikan sepeda bambu mampu meredam getaran sehingga nyaman digunakan di jalan bergelombang dan tidak rata.

Namun, untuk memproduksi sepeda bambu yang nyaman, kuncinya ada di bahan baku. "Diperlukan kejelian memilih bambu. Sebab, tidak semua bambu bisa digunakan," katanya.

Supardi sendiri memilih bambu kuning China sebagai "bahan baku" pembuatan sepeda. Bambu ini lebih kuat dibanding bambu jenis yang lain.

Selain pemilihan bambu, perajin juga harus menguasai teknik pengeringan dan pemanasan bambu. Proses ini sangat penting untuk membuat bambu lebih ulet dan mencegah keretakan bambu. Menurut Supardi, teknik pengeringan dan pemanasan tak sulit namun butuh ketekunan. "Teknik penyambungan juga harus benar agar rangka tidak patah," katanya.

Penyuka bahan baku bambu yang lain adalah Dasep Arifin, warga Sentul, Bogor, Jawa Barat. Namun, Dasep tidak membuat sepeda seperti Supardi. Dia lebih memilih bambu untuk dijadikan alat musik seperti biola, kecapi, suling, dan, tentu saja, angklung. “Walaupun terbuat dari bahan yang mudah ditemui, biola saya tidak kalah dengan buatan luar negeri,” ujar pria berusia 65 tahun ini. Menurut Dasep, banyak orang yang menyukai produk biola bambu karena unik.

Berlatar belakang seniman karawitan, Dasep tertarik untuk mengembangkan alat musik bambu karena ingin mengembangkan kesenian yang digelutinya. Apalagi dia melihat pohon bambu sangat banyak ditemui di mana saja. “Saya selalu berpikir untuk mengembangkan kesenian Indonesia asli,” tuturnya.

Ide untuk membuat biola bambu hadir ketika dia menyadari bahwa alat musik dari bambu saat ini kebanyakan hanya angklung dan suling. KArena itu, sejak 2009 lalu, Dasep pun mulai merealisasikan pembuatan biola bambu tersebut.

Selama dua tahun itulah, Abah berusaha mencari bentuk dan suara yang pas untuk biola bambunya. Selama itu pula, dia berusaha menemukan jenis bambu yang cocok untuk biola. Akhirnya dia menggunakan bambu gombong karena memiliki ukuran besar.

Dengan panjang 12 m dan diameter 10-15 cm, bambu gombong mudah di bentuk sesuai dengan keinginan. “Tidak semua bambu bisa menghasilkan bunyi, ada karakteristik bambu yang bisa digunakan dan biasanya insting saya yang bermain dalam pemilihan bambu,” ujar Dasep.

Setelah menemukan jenis bambu yang tepat, yang dilakukan Dasep adalah membuat motif yang sesuai dengan bentuk biola. Setelah motif terbentuk sesuai dengan keinginan, bambu diberi warna dan dipernis agar corak bambu keluar sekaligus mengkilap.

Walau sudah menghabiskan waktu dua tahun, Dasep mengaku biola bambunya masih jauh dari sempurna. Selain belum menghasilkan suara yang maksimal, bentuknya juga belum sesuai dengan yang dia harapkan. "Kalau boleh saya bilang baru 70%, karena bentuknya masih cukup besar,” kata Dasep.

Namun, meski kondisi kesempurnaan biola baru 70%, Dasep mengaku biola buatannya sudah banyak dipesan. Mayoritas pembeli biola, kecapi dan alat musik adalah seniman atau yang cinta dengan musik.

Dari biola dan berbagai alat musik dari bahan baku bambu tadi, Dasep mengaku belum bisa mendapatkan duit yang lumayan. Dengan harga satu unit biola bambu mencapai Rp 600.000, per bulan dia hanya mampu mengantongi omzet mencapai Rp 10 juta. Omzet itu nantinya untuk membeli bahan baku termasuk membayar empat karyawan.

Menurut Dasep, omzet itu masih minim karena dia belum mampu memproduksi dalam jumlah banyak dan cepat. “Kendala memang masih berkutat pada soal modal dan tenaga kerja. Apalagi semua kerajinan itu diproses dengan bantuan mesin.

Karena itu, dia berharap ada investor yang tertarik untuk memodali usahanya nan langka ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×