Reporter: Dharmesta | Editor: Tri Adi
Produksi sandal dari ban bekas memang rumit. Sudah begitu, untungnya kecil. Namun, jika Anda bisa mencari celah pasar dengan baik, laba yang kecil itu makin berlipat. Sandal jenis ini banyak dicari orang yang mengutamakan daya tahan pemakaiannya.
Sandal bandol memang populer di daerah pedesaan. Maklum, di sana, masih banyak jalan berbatu, sehingga butuh alas kaki yang sangat kuat.
Menurut Ismanto, salah satu produsen sandal dari ban bekas ini, pasar terbesarnya adalah daerah di luar Pulau Jawa. Di sana, orang lebih mementingkan kualitas dan daya tahan. Sementara, di Pulau Jawa, banyak orang lebih mementingkan model. "Hanya orang tua yang memakai sandal ini," ujarnya.
Doddy Teguh, yang juga memproduksi sandal bandol, juga berpendapat sama terhadap kekuatan sandal jenis ini. "Banyak pembeli yang kagum dengan kekuatan sandal bandol," katanya.
Tapi, di tangan Doddy, sandal bandol juga bisa dibentuk dengan beragam model dan warna. "Bahkan, bahan bandol juga bisa dibentuk jadi sepatu gunung yang kuat," imbuhnya yang punya banyak konsumen di daerah Yogyakarta.
Untuk meladeni konsumen yang lebih mementingkan kualitas itu, Ismanto bisa menjual hingga 130 kodi sandal bandol per bulan. Ia pun bisa meraup omzet lebih dari Rp 20 juta dalam sebulan.
Ismanto memproduksi sandal bandol mulai 2001. Ia melanjutkan usaha orangtuanya yang sudah ada sejak 28 tahun silam.
Dengan memperkerjakan enam karyawan, Ismanto bisa menghasilkan lima kodi per hari. "Saya termasuk kecil, produsen lain bisa memproduksi 20 sampai 25 kodi per hari, karena karyawannya lebih banyak," ujar dia.
Banderol harga sandal bandol Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per kodi. Sedangkan, harga jual satuannya adalah sekitar Rp 15.000 per pasang.
Dibandingkan sandal busa, pembuatan sandal bandol ini tergolong rumit. Kondisi ban bandol yang kuat, bahan ini pun tidak bisa dijahit. "Kami hanya bisa menggunting dan memberi lem saja untuk merangkai sandal bandol," ungkap Ismanto.
Hanya saja, harga lem yang terus merambat naik belakangan ini, sangat mengganggu pengusaha sandal bandol. Untung pun makin berkurang lantaran Ismanto harus mendatangkan bahan baku ban bekas dari wilayah Tangerang dan Jakarta ke Purwokerto.
Untuk menekan ongkos produksi, kadang-kadang produsen mengakalinya dengan memakai lem kualitas nomor dua.
Persaingan yang ketat di antara perajin sandal bandol juga menyebabkan mereka tak bisa memetik margin yang tinggi-tinggi amat. Kata Ismanto, di desanya, produsen sandal bandol terkumpul menjadi satu. "Persaingan cukup keras, bahkan ada yang berani menjual dengan harga murah kepada distributor," ujarnya.
Padahal, harga jual murah ini sebenarnya merugikan para produsen. "Nanti, saat ingin memproduksi lagi, mereka baru sadar bahwa mereka tak punya modal karena tak ada keuntungan penjualan" kata dia.
Karena itu, Ismanto lebih mengutamakan pendekatan personal kepada para pedagang grosir. "Saya ajak mereka berbicara soal biaya produksi, kalau mengerti syukur kalau tidak, ya mau apalagi," bebernya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News