Reporter: Fransiska Firlana | Editor: Tri Adi
Kesuksesan bisa datang dari hal yang tidak diduga. Paling tidak, itulah yang dialami Jenny Yohana Kansil. Niatnya belajar fesyen di Milan justru membuka peluang mendirikan sekolah mode berbasis di Milan, yaitu Istituto di Moda Burgo Indonesia.
Bisnis yang berkaitan dengan fesyen memang tidak ada matinya. Selalu ada celah untuk mencapai kesuksesan, entah dengan membuka butik, menjadi penata dan perancang busana, atau mengelola sekolah mode. Jenny Yohana Kansil adalah salah satunya. Bermula dari profesi fashion stylist, kini, ia sukses mendirikan dan mengelola sekolah mode berkelas internasional.
Pada bulan Agustus 2011 lalu, Jenny membuka sekolah Istituto di Moda Burgo (IMB) Indonesia di Jakarta. Sekolah ini sudah hadir di 10 negara dan sistem dan metode pengajarannya sudah diadopsi oleh 80 sekolah mode di banyak negara. Lulusan sekolah ini banyak menjadi desainer di produsen fesyen dunia seperti Dolce & Gabbana, Krizia, Armani, Gucci, dan Gianfranco Ferré.
Selama tujuh bulan berdiri, Jenny sudah merekrut 30 orang siswa dengan pelbagai latar belakang. Ada yang baru lulus sekolah, beberapa artis, dokter, bahkan pemilik butik. “Ketika ikut Indonesia Fashion Week 2012, kami banyak mendapat tanggapan. Calon murid yang mendaftar juga cukup banyak,” kata perempuan kelahiran Samarinda, 6 Januari 1978 ini.
Sebagai seorang fashion stylist, baju rancangan Jenny kebanyakan memadukan teknik desain khas Italia dan pola menjahit dari budaya tradisional Indonesia. Salah satu rancangan Jenny yang mengombinasikan kain tenun dan desain modern pernah dikenakan Miss Italia tahun 2010. “Saat ini, saya hanya mendesain untuk keperluan fashion show dan koleksi IMB, belum terlalu komersial,” ungkap perempuan berambut panjang ini.
Bakat Jenny di dunia fesyen sudah terlihat sejak awal. Saat masih kecil, ia sudah senang menggambar. Namun, kesenangannya itu tidak ia tekuni secara serius. Selulus SMA, ia hijrah ke Surabaya untuk kuliah di jurusan psikologi tahun 1996. Tahun 2000, ia lulus dan bekerja sebagai account executive di PT AON, perusahaan broker asuransi asing.
Karena prestasinya yang bagus, Jenny direkrut perusahaan asuransi jiwa PT Central Asia Raya (CAR) cabang Surabaya sebagai marketing manager. Tapi, ia tidak betah menyandang jabatan penting di perusahaan asuransi tersebut. “Kegiatannya cuma rapat, waktu saya lebih senang mencari uang dengan terjun langsung. Komisi yang saya dapatnya juga besar,” tuturnya sambil tertawa.
Kondisi ini membuat Jenny mundur dan memilih bergabung kembali dengan sebuah perusahaan agen asuransi. Meskipun sudah mendapatkan kesuksesan di bidang keuangan, ia merasa ada yang kosong dalam dirinya. Dia sadar, pekerjaan yang dijalani ini bukanlah dunianya.
Karena itu, bersama lima orang rekannya, Jenny membuka butik di Surabaya. Tapi, butik ini tak bertahan lama dan bubar di tengah jalan. Ia lantas membuka butik sendiri. “Saya sering bertengkar dengan tukang jahit karena hasil bajunya tidak sesuai dengan rancangan saya,” kenangnya.
Dari pengalaman awal di fesyen, Jenny sadar bahwa untuk menghasilkan sebuah baju tidak cukup dengan desain, tetapi juga detail pola dan ukuran. Akhirnya, ia memutuskan menajamkan ilmu dengan mengikuti kursus fesyen di La Salle College International di Surabaya selama 10 bulan.
Tahun 2008, secara penuh, Jenny melepas pekerjaannya di asuransi. Dia fokus mendesain baju di butiknya yang bernama MOOI di Pakuwon Trade Center (PTC) Surabaya. Rancangannya berlabel JYK for Mooi. “MOOI cukup sukses kala itu,” kenangnya.
Tapi Jenny tidak puas. Ia ingin belajar desain lebih mendalam. Tahun 2009, dia pergi ke Milan, Italia untuk sekolah fesyen di IMB Milan. “Saya memilih Milan karena kota itu basis fesyen dunia,” ujarnya. Setahun belajar, tanpa diduga, ia ditawari membuka IMB di Indonesia.
Kesulitan modal
Jenny tak membayangkan dari niat sekolah, ia mendapat peluang lain. “Ternyata salah satu pemilik IMB, Fernando Burgo meminta saya memegang cabang di Indonesia,” ujarnya.
Awalnya, Jenny ragu menerima tawaran itu. Dia sadar, biaya membuka sekolah mode cukup besar. “Tapi Pak Burgo bilang, uang banyak tapi tanpa konsep dan ide tidak berarti apa-apa,” kenangnya. Akhirnya, ia bersedia membuka cabang di Indonesia. Ia rela menutup gerai MOOI untuk fokus ke IMB Indonesia.
Jenny lantas belajar cara mengelola sekolah mode. Ia juga mengeluarkan semua tabungannya dan meminjam dana ke orang tuanya untuk modal. “Ternyata masih kurang,” ujarnya. Untunglah, ada bank yang menawari pinjaman. Akhirnya, Agustus 2011, dia berhasil membuka IMB di Indonesia.
Meski terbilang baru, Jenny berharap, lima bulan ke depan, IMB Indonesia bisa memiliki 100 murid dan bersiap membuka cabang di luar Jakarta. “Pendapatan saat ini sudah lumayan, tapi masih untuk pengembangan sekolah,” tuturnya. Ia bertekad mencetak fashionprenuer yang setelah lulus mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, bukan menjadi karyawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News