kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rahman Dako, putra Gorontalo yang peduli masyarakat pesisir


Jumat, 28 Januari 2011 / 10:31 WIB
Rahman Dako, putra Gorontalo yang peduli masyarakat pesisir


Reporter: Rivi Yulianti | Editor: Tri Adi

Sebagai seorang putra asli Gorontalo, Rahman Dako memiliki kepedulian yang tinggi terhadap daerah asalnya. Ia aktif memajukan masyarakat pesisir yang tingkat perekonomiannya masih tertinggal. Ia membentuk Kelompok Kerja Mangrove di empat kabupaten yang berhasil mendesak Pemda untuk menyusun aturan soal pengelolaan pesisir dan hutan mangrove.

Gelar master geografi dari Universitas Hawaii, Amerika Serikat tak tidak membuat Rahman Dako lantas enggan membantu masyarakat di daerah asalnya, Gorontalo. Kecintaan terhadap laut, menjadi motivasi utama lelaki kelahiran 2 September 1971 ini terjun dalam kegiatan sosial ini.
Baginya, ilmu yang diperoleh di bangku pendidikan akan lebih bernilai jika dipergunakan untuk membangun masyarakat sekitar. Selain menghabiskan waktu untuk mengabdi kepada masyarakat sekitar, ia juga mengelola lahan pertanian warisan kedua orangtuanya.

Sejak masih aktif sebagai mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Manado, Rahman sudah aktif dalam kegiatan pengembangan masyarakat pesisir selatan Gorontalo, yakni di Teluk Tomini. Ia menjadi tenaga sukarela Kelola, sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat pesisir. Saat itu, Kelola masih fokus mendorong keterlibatan masyarakat dalam penyusunan masterplan pengelolaan Taman Nasional Bunaken.

Pada tahun 2007, Rahman bergabung dengan Program Teluk Tomini. Yakni, sebuah program dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) Asia di Teluk Tomini yang bekerjasama dengan Wetlands International Indonesia Program dan lembaga konsultan Lestari Canada. Mereka bekerja di tiga provinsi, yakni Sulawesi Utara (Sulut), Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Gorontalo. Program ini berkonsentrasi di empat kabupaten, seperti Bolmong Selatan di Sulut; Boalemo dan Pohuwato di Gorontalo serta Parigi Moutong di Sulteng.

Rahman melihat ada keterkaitan antara pemberdayaan masyarakat, konservasi dan kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini. Dengan masyarakat, ia membantu delapan desa di sana untuk mengelola sumberdaya alam.

Rahman melakukan penelitian awal, membuat rencana bersama masyarakat, bekerja bersama-sama dan memberikan stimulus untuk pengembangan ekonomi mereka. Bentuk dukungannya bermacam-macam, sesuai dengan rencana desa yang tertuang dalam kesepakatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).

Bentuk bantuan riil berupa pengadaan pelatihan sesuai dengan keinginan masyarakat serta peralatan seperti rumpon, jaring karamba ikan, budidaya rumput laut, pembuatan mebel dari bambu, serta dana bergulir berjuluk green credit.

Green credit adalah fasilitas pinjaman tanpa agunan untuk memudahkan masyarakat mengakses dana untuk pengembangan usaha.

Terkait dengan konservasi, Rahman bersama rekan-rekannya membentuk kelompok-kelompok yang peduli terhadap kelestarian hutan mangrove di desa-desa dampingan. "Kami melatih mereka dengan cara melakukan pelestarian hutan mangrove dan melakukan penanaman bersama-sama," ujar Rahman.

Ia juga mendorong pemerintah daerah (Pemda) untuk lebih memperhatikan peningkatan kesejahteraan pesisir. Di empat kabupaten itu, ia mendorong Pemda membentuk Kelompok Kerja Mangrove (Mangrove Working Group) yang terdiri dari instansi terkait, universitas, LSM dan perwakilan kelompok masyarakat pesisir.

Pokja Mangrove inilah yang kemudian mendesak pemda menerbitkan surat keputusan bupati terkait dengan pengelolaan mangrove. Saat ini, Rahman beserta rekan-rekannya kembali mendesak penyusunan perda tentang pengelolaan pesisir dan hutan mangrove di empat kabupaten.

Menurutnya, hingga akhir 2010 sudah terjadi perubahan yang cukup signifikan di delapan desa binaannya. Mulai dari keberhasilan mengembangkan sekitar 100.000 anakan mangrove, peningkatan produksi budidaya rumput laut hingga peningkatan pendapatan sebesar 60%.

Selain keberhasilan, ia juga menemui beragam kendala. Mulai dari konflik antarkeluarga, politik lokal, ketergantungan terhadap proyek-proyek pemerintah, dan lain-lain. "Yang paling penting adalah bagaimana niat tulus kita untuk membantu, semuanya akan jadi ringan," ujarnya.

Menurut Rahman, untuk menghadapi masalah-masalah yang ada, harus ada penyesuaian dengan kondisi di masing-masing desa. "Penting untuk memahami bagaimana kita mengerti karakter, budaya dan situasi di setiap desa dampingan kita," tambahnya.

Kendala yang lainnya, berhubungan dengan dukungan Pemerintah lokal. Seringkali, program seperti ini tidak dianggap penting oleh Pemerintah. Alhasil, proporsi biaya yang mereka keluarkan untuk kerja-kerja sosial dan lingkungan sangat kecil. Tak heran, beberapa program seringkali membutuhkan aksi swadaya dari masyarakat.

Ke depannya, untuk lebih memberdayakan masyarakat pesisir adalah menempatkan para pendamping desa di setiap desa yang kita dampingi. Tanpa itu, proyek yang bernilai miliaran atau triliunan tidak akan berhasil. Tenaga-tenaga sarjana dibidang kelautan, sosial, ekonomi, pertanian, harus direkrut untuk ditempatkan di desa-desa.

"Justru mencari orang-orang yang mau terjun langsung ke lapangan tidak mudah. Mereka idealnya menjadi pendamping yang setiap saat bisa belajar bersama dan juga memberi pengetahuan lain kepada masyarakat desa, bukan menggurui, tapi belajar bersama-sama dan saling mengisi," tegas Rahman.

Pemerintah juga harus mulai merubah pandangannya yang selama ini selalu memandang rendah sumberdaya pesisir dan laut. Kalau pemerintah memiliki political will yang bagus dan mengelola dengan baik dan bersih, ia yakin sektor kelautan akan memberi banyak kontribusi pada kesejahteraan masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×