Reporter: Rivi Yulianti | Editor: Tri Adi
Willie Smits mulanya prihatin dengan kehidupan orangutan yang makin langka di habitat aslinya. Berniat mempertahankan keberadaan orang utan, pria yang sudah menjadi WNI ini pun membuka hutan buatan di Kalimantan. Hutan buatan ini tak cuma mempertahankan habitat orangutan, tapi juga memberi nilai ekonomi dan menghidupi ribuan warga.
Berawal dari keprihatinan terhadap makin langkanya spesies orangutan, Willie Smits menggalakkan program konservasi orangutan dan habitat aslinya, yakni hutan hujan tropis di Kalimantan. "Jika habitat asli terpelihara dengan baik, kelestarian orangutan akan tetap terjaga," ujarnya.
Pria kelahiran Weurt, Gelderland, Belanda 22 Februari 1957 ini bergelar doktor bidang biologi. Ia adalah ahli bidang kehutanan, mikrobiologi, konservasi lingkungan, dan juga aktivis hak hewan. Bermukim di Kalimantan sejak 1985, ia mengalami naturalisasi menjadi warga negara Indonesia.
Suatu malam di tahun 1989, ia dan istrinya berjalan-jalan di pasar yang memperjualbelikan orangutan. Kemudian ia berpapasan dengan seseorang yang membawa kandang dengan bayi orangutan sekarat di dalamnya. "Saat saya melihat matanya, itu adalah sepasang mata tersedih yang pernah saya lihat," ujarnya.
Tak lama kemudian ia melihat makhluk tersebut dibuang di tumpukan sampah. Kemudian ia membawanya pulang dan merawatnya sampai sehat lalu melepasnya kembali ke habitatnya. Itu adalah awal kecintaannya terhadap primata ini dan menjadi titik baliknya untuk berperan aktif dalam konservasi orangutan.
Di tahun yang sama ia mendirikan Borneo Orangutan Survival Foundation dan Masarang Foundation. Yayasan ini berawal dari keprihatinannya terhadap banyaknya perusakan hutan rawa gambut yang berdiri di atas lahan gambut setebal 20 meter. Lahan ini diubah menjadi lahan kelapa sawit, dengan pembakaran. "Hasil kelapa sawit sebagian besar untuk ekspor ke negara-negara Barat sebagai sumber bahan bakar nabati," ujarnya.
Pembakaran lahan ini menciptakan karbondioksida dan menyumbang efek rumah kaca terbesar ketiga di dunia, serta membunuh satwa seperti orangutan. "Terciptalah ketidakseimbangan ekosistem," ujar dia.
Melalui dua yayasan tersebut, tahun 1989, ia mulai membuat hutan hujan tropis buatan pertama di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang dinamakan Samboja Lestari Forest. Ia memilih daerah ini karena merupakan daerah yang kerusakan hutannya paling parah. Di sini pula angka kemiskinan dan kejahatannya tertinggi di seluruh Kalimantan. "Saat itu, 50% penduduknya menganggur dan sisanya adalah pembalak hutan," imbuh Willie.
Awalnya, lahan ini adalah padang ilalang yang tandus. Ia kemudian membeli kawasan itu dari pemerintah. "Penting untuk membeli lahan itu, agar campur tangan terhadap lahan oleh oknum-oknum perusak dapat dihindari," kata Willie.
Usaha itu melibatkan masyarakat sekitar agar timbul rasa memiliki terhadap hutan dan menghentikan pembalakan liar. "Tujuannya agar masyarakat itu sendiri yang menjaga dan membela kelestarian hutan," tutur dia. Caranya dengan menggabungkan antara kehutanan dan pertanian, untuk menciptakan sumber perekonomian baru, dengan menggunakan prinsip kesinambungan antara people, profit, dan planet.
Prosesnya, rumput ilalang dibasmi terlebih dahulu karena rumput mengeluarkan zat penghambat pertumbuhan. Kemudian, lahan ditanami pohon akasia mangium. Meskipun memiliki nilai ekonomis jangka pendek yang rendah, pohon ini berfungsi untuk menciptakan kestabilan iklim mikro, melindungi tanah, dan mencegah ilalang. Setelah delapan tahun pohon ini juga bisa diambil kayunya.
Pada tahap selanjutnya lahan baru ditanami bambu. Karena bambu rentan terbakar, penanaman dilakukan di sepanjang daerah aliran air. Tahap selanjutnya, lahan ditanami nanas, kacang-kacangan, dan jahe. Fungsinya, sebagai tanaman produktif yang menghasilkan uang dan sebagai pasokan makanan sehat bagi orangutan.
Di sela-sela tanaman tersebut, ia membolehkan masyarakat menanaminya dengan tanaman pangan atau obat-obatan, sekaligus menyediakan benih dan pupuknya. Empat tahun kemudian, terciptalah lahan hijau dengan 1.000 spesies binatang, 1.375 spesies burung, dan 30 spesies reptil. "Di tahun 2006, kami telah menciptakan lapangan kerja bagi 3.000 orang dan meningkatkan pendapatan masyarakat hingga 100%," ujarnya.
Willie juga memiliki dua penangkaran dan konservasi orangutan di Kalimantan. Totalnya ada sekitar 100 orangutan.
Namun usahanya itu tak semudah membalik telapak tangan. Pada tahun 1998, saat musim kemarau berkepanjangan hutan buatan tersebut pernah dilalap api. Ia terpaksa kehilangan 5,5 hektare lahannya. Beruntung berkat bantuan masyarakat sekitar api cepat padam. Dari situ ia belajar cara menangkal kebakaran dengan sumber daya yang terbatas. Pohon aren ternyata ampuh menangkal api.
Pohon ini bisa disadap setiap hari untuk menghasilkan gula aren tanpa perlu menebang pohonnya secara fisik sehingga berkonstribusi ekonomi bagi masyarakat. "Pohon ini menghasilkan keuntungan ekonomi tiga kali lipat untuk setiap hektare lahan," ujarnya. Mulailah ia mengimbau warga untuk menanam aren.
Berkat kinerjanya itu, ia diangkat menjadi penasihat senior di Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Tahun 2009, ia juga meraih penghargaan Ashoka Fellow, sebuah penghargaan tingkat dunia bagi para social entrepreneur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News