Reporter: Revi Yohana | Editor: Dupla Kartini
Kampung Unggulan Penjahitan Pucangan dibentuk supaya para penjahit yang berlokasi di kawasan Pucangan, Kecamatan Gubeng, Surabaya bisa bertumbuh bersama dan saling mendukung. Salah satu caranya dengan berbagi pesanan, jika sedang kebanjiran order jahitan.
Salah seorang penjahit, Sutrisno menyatakan, sikap saling berbagi ini bahkan yang menolong mereka bisa bertahan, ketika krisis moneter 1998.
Pemilik Citta Tailor ini bercerita, ketika krisis, pesanan dari klien perorangan anjlok. Ia pun beralih dengan menerima order jahit seragam karyawan, meskipun sebenarnya ongkos jahit seragam lebih murah ketimbang pesanan ritel. "Tapi, saya terima, yang penting usaha tetap berjalan," ungkapnya.
Beberapa kali, Sutrisno diminta membuat seragam karyawan dalam jumlah ratusan hingga ribuan potong. Lantaran banjir pesanan, sementara beberapa penjahit lain sepi order, ia pun berbagi pekerjaan. "Apalagi, tenggat waktu penyelesaian jahit seragam itu biasanya mepet," ujarnya.
Penjahit lainnya di Kampung Unggulan, Siti Ndun salah seorang yang pernah kecipratan pesanan dari Sutrisno. Menurutnya, penjahit di sini umumnya tidak egois. "Kami tidak mau sendiri-sendiri saja terima order besar," tutur pemilik Big Collection ini.
Siti juga bilang, dengan adanya komunitas di Kampung Unggulan ini, mereka lebih terkoordinasi dalam mengikuti pelatihan maupun ide-ide pengembangan usaha.
Misalnya, beberapa bulan lalu, mereka mengikuti pelatihan bordir bersama. Usai pelatihan, muncul ide untuk patungan membeli mesin bordir melalui sistem arisan. Tujuannya, supaya para penjahit bermodal terbatas dapat tetap mengembangkan usaha melalui sistem cicilan. Maka, setiap penjahit di sana urunan Rp 100.000 per bulan. Uang yang terkumpul dibelikan mesin bordir. Jadi, bergiliran, tiap penjahit punya mesin bordir.
Tak hanya itu, Sutrisno bilang, mereka juga berkelompok dalam menitipkan pakaian jadi ke toko. Asal tahu saja, di samping jahit satuan dan terima order borongan, para penjahit juga membuat pakaian jadi siap jual. Pakaian ini dititipkan ke toko-toko pakaian di pusat perbelanjaan di Surabaya.
"Teman-teman penjahit menitipkan pakaian jadi buatan mereka kepada saya. Saya yang bawa ke toko-toko. Nantinya, pemilik toko mendapat 10% dari harga pakaian yang dijual," beberpria yang ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Penjahit di Pucangan ini.
Sutrisno mengakui, perputaran uang dengan sistem ini memang lebih lambat, karena harus mengeluarkan modal beli bahan, dan menunggu pakaian terjual untuk mendapatkan uang. Namun, cara ini penting untuk mengenalkan nama mereka.
Penjahit lainnya, Budiarti Setiarini alias Rini bilang, tiap bulan, ia menitipkan dua lusin pakaian jadi. Cara ini cukup membantu untuk menambah pemasukan.
Ia juga merasa beruntung berada di dalam komunitas ini. Pasalnya, lewat informasi sesama penjahit, ia kerap mengikuti berbagai pameran. Dari pameran inilah, Rini kadang mendapat pelanggan baru, bahkan pelanggan dari luar kota, seperti Jakarta, Riau, dan Batam. (Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News