Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Johana K.
KONTAN.CO.ID - Lahir dan besar di keluarga perajin batik, Sasi Syifaurohmi bersama dengan kedua orangtuanya menjadi pegiat, pendamping sekaligus pelatih batik bagi warga Malon dan sekitarnya. Kebetulan, orangtua Sasi sudah menjalankan usaha batik sejak 1998 dengan nama Zie Batik.
Tak sekadar mengadakan pelatihan membatik secara rutin, Sasi dan orangtuanya juga mengembangkan batik dengan pewarna alam. Ia mulai produktif memproduksi batik mangrove sejak tahun 2013.
Proses memanfaatkan buah bakau/mangrove menjadi pewarna alami batik tidak sebentar. Butuh waktu setahun bagi Sasi untuk melakukan riset dan observasi tentang jenis buah mangrove yang cocok menjadi pewarna batik. "Tidak semua buah mangrove bisa dipakai, yang saya pakai ini jenis Rhizophora apiculata," jelasnya.
Sejatinya, orangtua Sasi sudah lebih dulu mengembangkan pewarna batik alami sejak 2006 silam. Namun, pewarna alami dihasilkan dari beberapa tumbuhan. Sementara Sasi memilih fokus memakai mangrove sebagai pewarna batik.
"Biasanya orangtua saya menggunakan tanaman jenis perdu bernama indigo atau tom untuk memberi warna biru pada kain. Lalu ada pula kayu secang yang digunakan sebagai warna merah dan kayu mahoni untuk warna cokelat," terang Sasi.
Segala jenis tumbuhan di kawasan Desa Malon dan di sekitar tempat tinggal warga dimanfaatkan sebagai bahan pewarna. Bahkan tanaman pesisir juga turut dipakai untuk memperkaya warna alami kain.
Ada 60 warga Desa Malon yang merupakan para ibu rumah tangga mengikuti pelatihan dan pembinaan membatik secara rutin. Mereka belajar proses dasar membuat batik hingga mahir dan mandiri. "Saya dan kedua orangtua saya membentuk ibu-ibu ini sebagai perajin batik, bukan pekerja. Jadi mereka harus bisa semua tahap, mulai dari membuat pola, mencanting, mencelup warna sampai menjual produknya," ungkap Sasi.
Untuk kain batik pewarna alami buatan Zie Batik sendiri dibanderol mulai Rp 250.000 per lembar untuk batik cap. Sedangkan batik tulis dibanderol mulai Rp 450.000 per lembar.
Menurut Sasi, butuh upaya kuat untuk memberdayakan masyarakat agar sama-sama mau maju dan melestarikan budaya batik. Selain itu, butuh proses lama, mulai dari mengenalkan tentang batik, membuat mereka tau beda batik dengan tekstil sampai mengajarkan mereka cara menguasai produknya.
"Harapannya perajin dari Desa Malon ini tidak hanya termotivasi membuat batik saja. Tapi bisa lancar juga dalam memasarkan. Apalagi Kampung Malon sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai kampung tematik. Bakal banyak kunjungan wisatawan ke depannya," pungkas Sasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News