Reporter: Noor Muhammad Falih | Editor: Dupla Kartini
Perjalanan Supardi Ageng Suseno hingga sukses di tanah perantauan bukan cerita yang mulus-mulus saja. Sejatinya, kepindahan pria asal Purwodadi, Jawa Tengah ini ke kota Jakarta didasari keinginan mencari penghidupan yang lebih baik.
Ia bercerita, hijrah ke Jakarta untuk mengadu nasib menjadi tentara. Apalagi, ia tidak punya uang cukup untuk melanjutkan pendidikan di bangku kuliah. Bahkan, ia pernah tiga kali ikut tes masuk Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Namun, nasib berkata lain. Ia tidak lulus.
Untuk membiayai hidupnya, pria yang akrab disapa Pardi ini mencari pekerjaan di Jakarta. Ia diterima bekerja sebagai tenaga pemasaran (salesman) di sebuah tempat produksi sarung jok mobil.
Ini merupakan bidang yang baru dikenal Pardi. “Waktu itu saya tidak punya pengetahuan sama sekali soal sarung jok mobil,” ujar pria kelahiran 43 tahun silam ini.
Tugasnya kala itu, mencari calon pelanggan. Pardi dibekali sebuah sepeda motor untuk menjalankan tugasnya. Setiap hari, ia membuat perencanaan kawasan mana saja yang akan dikunjungi untuk mencari pelanggan. Target utamanya pemilik showroom mobil dan bengkel mobil.
Seiring waktu, Pardi mendapat banyak pengetahuan dan keterampilan di bisnis itu. Ia jadi mahir membuat sarung jok mobil, dan pandai membangun jaringan. Menurutnya, yang terpenting ialah bisa dipercaya orang lain. "Saat menawarkan sarung jok mobil, harapan saya bukan supaya mereka langsung beli. Yang penting mereka kenal saya dan itikad yang baik,” tutur bapak dua anak ini.
Saat punya cukup tabungan, sambil bekerja Pardi memutuskan kuliah di Bina Sarana Informatika pada 1999. Ia mengambil jurusan komputer akuntansi, dan lulus pada 2001.
Setelah lulus, Pardi semakin rajin mengumpulkan modal untuk membangun usaha sendiri. Alhasil, pada 2004, ia berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja, dan membuka usaha pembuatan kulti jok mobil. Usahanya berjalan lancar, apalagi ia sudah punya relasi atau jaringan cukup luas.
Sayang, usahanya tak bertahan lama. Pada 2005, ia terpaksa menutup bisnisnya, karena ditipu oleh karyawannya. Saat itu, ia bahkan merugi hingga Rp 50 juta.
Meski terguncang, ia mampu bertahan. Ia tak segan kembali menjadi pekerja lepas tenaga pemasaran sarung jok mobil. Singkat cerita, saat menjadi pekerja lepas itulah, Pardi mendapat pesanan 150 set sarung jok mobil untuk mobil mewah. Dari order itu, ia mendapat untung Rp 180 juta.
Uang itu yang kemudian ia gunakan untuk membangun lagi usahanya pada 2007. Saat itu, ia langsung menggunakan brand Maestro. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News