kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Sentra anggrek juga perlu pasokan dari kebun lain (3)


Rabu, 15 September 2010 / 10:22 WIB
Sentra anggrek juga perlu pasokan dari kebun lain (3)


Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Tri Adi

Para pedagang anggrek di Sentra Taman Anggrek Ragunan (TAR), Jakarta, tak hanya menyewa lahan milik pemerintah provinsi untuk berusaha. Mayoritas pedagang juga memiliki lahan di tempat lain untuk budidaya tanaman hias. Maklum, mereka harus memperhitungkan kelangsungan pasokan barang dagangannya.

Ketika dibuka pertama kali, kondisi lingkungan dan cuaca di sekitar TAR masih segar. Namun, seiring bertambahnya bangunan di sekitar Ragunan, bertahun-tahun kemudian udara dan cuaca di sana makin tak kondusif untuk perkembangan tanaman anggrek.

Selain itu, lahan seluas 800 meter persegi (m²) di setiap kavling TAR tak lagi mencukupi untuk kebutuhan budidaya tanaman yang lebih banyak. Karena itulah, para pedagang dan petani harus mengupayakan budidaya anggrek dan tanaman hias di lahan yang berbeda.

Misalnya Agus Gunawan, pemilik Al Mira Orchid. Sebelum masuk ke TAR, dia telah menyiapkan lahan di Pamulang, Jakarta Selatan, untuk kebun anggrek dan tanaman hias lain sejak 2000. Kini, ia masih mempertahankan kebun seluas 4.000 m².

Samino, pemilik Santi Orchid, juga memiliki lahan budidaya anggrek seluas 2.000 m² di Parung. "Nanti setelah berbunga baru dibawa ke sini," imbuhnya.

Begitu pula dengan Saliwon, pemilik Rama Orchid, yang juga memiliki lahan budidaya anggrek seluas 2.000 m² di Parung.

Sebagian besar pedagang anggrek di sentra ini memang memiliki lahan budidaya di lokasi terpisah. "Udara di sini (Ragunan) tidak bagus, sehingga pohon tidak bisa besar," kata Sukendar, pengelola Rama Orchid.

Daerah yang masih sejuk dan memiliki aliran udara lebih segar, seperti Parung dan Sawangan, menjadi tempat ideal budidaya anggrek. Selain itu, anggrek bisa tumbuh lebih cepat di lahan yang lebih luas. "Di sini baru tumbuh lima bulan, di tempat yang lebih baik bisa hanya dua bulan," katanya.

Didi, karyawan Antika Anggrek, mengatakan, bosnya memiliki lahan budidaya anggrek seluas empat hektar di Cikampek dan Sukabumi, Jawa Barat. "Pembelian dalam jumlah besar, biasa datang langsung ke kebun," ujarnya.

Meski ada pembeli yang langsung menyambangi kebun, pasokan anggrek secara rutin tetap dikirim ke TAR. Pasalnya, pembeli ritel di sentra ini juga cukup banyak. Khususnya, konsumen yang ingin menghias rumah tinggalnya.

Alhasil, TAR hanya menjadi tempat penjualan tanaman bunga saja, sementara pasokan didatangkan dari kebun masing-masing pedagang di tempat lain.

Selain dari kebun sendiri, anggrek juga berasal dari kebun petani lain. "Saya juga menampung produksi petani lain," kata Sukendar. Misalnya, petani yang membudidayakan tanaman hias di Pamulang, Bekasi, dan Sawangan.

Samino pun melakukan hal serupa. Bahkan, pada tahap awal saat membuka kavling di TAR, ia membeli anggrek yang sudah dibudidayakan di beberapa nurseri. Samino melakukan itu untuk menghemat biaya perawatan. Baru setelah siap berbunga, dia membeli anggrek dan ditaruh di TAR.

Anggrek perlu waktu satu tahun sebelum berbunga. Selama setahun anggrek butuh air dan pupuk. Biaya pupuk tak terlalu besar. Tapi, untuk membeli air, Sukendar harus mengeluarkan dana hingga Rp 190.000 per bulan.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×