Reporter: Hafid Fuad | Editor: Tri Adi
Perajin anyaman rotan di Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat sulit untuk menambah produksi. Selain masalah kelangkaan bahan baku rotan berkualitas, perajin mengeluhkan harga rotan yang bisa naik empat sampai lima kali dalam setahun.
Walaupun perajin anyaman rotan di Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat ekspor ke mancanegara, tapi mereka tak luput dari masalah produksi. Mulai dari masalah kelangkaan bahan baku rotan, hingga masalah kenaikan harga rotan yang terjadi tiap tahun.
Kelangkaan pasokan bahan baku rotan dirasakan perajin anyaman rotan sejak tahun 2005, semenjak pemerintah membuka keran ekspor rotan. Perajin menilai, kebijakan ekspor rotan itu menghambat pasokan rotan ke daerah termasuk ke Rajagaluh, Majalengka.
Ikhwan Hidayanto, pengusaha kerajinan rotan Tjakil Furniture bilang, sejak keran ekspor dibuka, bahan baku rotan lebih banyak diekspor ketimbang dijual di dalam negeri, terutama rotan yang berkualitas tinggi. "Kualitas rotan yang tersisa hanya rotan berkualitas rendah," keluh Ikhwan.
Ikhwan sendiri mengaku kesulitan mendapatkan pasokan rotan berkualitas itu. Jika pun tersedia, Ikhwan mesti merogoh kocek lebih dalam karena harga naik. "Kasihan perajin yang harus menambah modal agar bisa tetap bekerja dan produksi," terang Ikhwan.
Keluhan sama disampaikan oleh Wawa, perajin anyaman rotan dari CV Dita Mandiri Persada di Rajagaluh. Wawa mengaku sulit mendapatkan pasokan rotan jenis soft koboo. "Kelangkaan rotan itu terjadi di Cirebon," terang Wawa yang biasa memasok rotan dari Cirebon.
Dampak keterbatasan pasokan rotan itu mengganggu produksi anyaman rotan milik perajin. Wawa mengaku sering terlambat mengirim pesanan anyaman rotan milik pembelinya di luar negeri. "Kondisi ini menghambat ekspor kami," katanya.
Sebenarnya Wawa ingin mengatasi kelangkaan bahan baku rotan dengan membeli langsung rotan itu kepada produsen di Kalimantan. Namun upaya itu urung dilakukan karena biayanya sangat mahal.
Selain seretnya pasokan rotan, Wawa mengeluhkan harga rotan yang naik terus tanpa henti. Wawa mencontohkan, sepanjang tahun ini saja harga rotan soft koboo naik 44% . "Tahun lalu harga rotan soft koboo Rp 9.000 per kilogram (kg), sekarang sudah Rp 13.000 per kg," urai Wawa.
Kenaikan harga bahan baku rotan menambah biaya produksi anyaman rotan. Agar perajin tidak merugi, sebagian mereka melakukan rasionalisasi harga atau memangkas laba. "Sekarang kami terpaksa ambil untung tipis," jelas Ikhwan.
Andre Sundriyo, Ketua Bidang Pemasaran dan Promosi Asosiasi Mebel, Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) bilang, keluhan perajin itu merupakan masalah lama yang tak berkesudahan. Ia berharap pemerintah membentuk lembaga khusus guna menjaga suplai bahan baku rotan. "Pemerintah sebaiknya membuat lembaga seperti Bulog yang bertugas menjaga suplai rotan," harap Andre.
Selain masalah pasokan, ia berharap pemerintah melakukan bimbingan teknis untuk mengembangkan desain anyaman milik perajin. "Desain anyaman rotan itu seperti desain fesyen, yang cepat berkembang," ungkap Andre.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News