Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Tri Adi
Sentra pembuatan dan penjualan cermin di Pejompongan bahkan pernah terkenal hingga di luar negeri. Namun, setelah krisis moneter pada 1998, ekspor kaca cermin dari sentra ini terhenti. Selain surutnya jumlah pembeli, para perajin cermin ini juga kesulitan modal.
Jumlah penjual cermin di Pejompongan memang makin membengkak. Demikian juga dengan jumlah pembeli. Hanya saja, saat ini susah untuk menemukan pembeli asing di sini.
Padahal, sebelum krisis moneter tahun 1998, para perajin dan pedagang di sentra ini sering dihampiri pembeli asing. Bahkan beberapa pedagang juga sudah berani bermain di pasar ekspor.
Menurut Iwan Wahyudin, pemilik dari Rasdja Furniture, dulu, ketika usaha ini masih dipegang ayahnya, order cermin sering datang dari luar negeri. Bahkan, saban bulan, Rasdja Furniture mampu mengekspor cermin sebanyak 30-40 buah. "Paling banyak datang dari Singapura dan Malaysia," kata Iwan. Para pelanggan Rasdja di luar negeri itu kebanyakan memesan cermin ukuran 100 cm x 150 cm berbingkai kayu jati.
Namun, kegiatan ekspor ini terhenti ketika krisis moneter dan harga bahan baku naik tinggi. Kini, Iwan hanya bisa berangan-angan suatu ketika nanti cermin Pejompongan bisa bertengger lagi di mancanegara. Maklum, sulitnya modal membuat para perajin dan pedagang cermin di situ susah mengembangkan usaha. Padahal, dulu pemerintah masih mau menggelontorkan modal untuk para perajin itu.
Iwan mengenang, pada 1996, Perum Peruri pernah membantu permodalan hingga sebesar Rp 10 juta. Modal ini kemudian dipergunakan oleh ayah Iwan untuk memperbesar bisnisnya dan memperbanyak penjualan kaca cermin. Memang bantuan modal itu hanya datang sekali saja karena setelah itu Rasdja mampu berkembang secara mandiri.
Menurut Iwan, saat ini para perajin dan pedagang memang lagi terdesak permodalan. Lihat saja, bahan baku cermin dan kayu kini sudah membubung tinggi. Sementara itu, para pedagang kesulitan untuk menaikkan harga jual.
Saban bulan, harga kaca naik sekitar 10%, bahkan pernah naik hingga 15%. "Harga kaca itu mengikuti harga emas. Kalau harga emas naik, ya, naik, kalau turun ikut turun," tutur Iwan.
Adapun Lupi Arisal, pemilik PD Hikmah Jaya, memang tak berminat membidik pasar ekspor. Dia mengaku, saat ini saja tokonya kewalahan menerima order dari pembeli lokal.
Lupi beranggapan, sangat susah menembus pasar ekspor. Setidaknya dia perlu rajin berpromosi atau rajin ikut pameran. Padahal, untuk ikut pameran jelas butuh biaya tak sedikit. Sementara itu, dengan usaha seperti sekarang, promosi cukup dari mulut ke mulut saja. "Pernah juga diajak oleh pemerintah. Tapi tidak ada modal. Kan, kalau ikut pameran juga butuh modal," kata Lupi.
Meski "main" di pasar lokal, cermin Lupi sudah menjangkau seluruh Indonesia. Ia punya pelanggan tetap dari Medan hingga Medan.
Rezeki ini juga menimpa Achmad Lutfi, pemilik PD Sumber Rejeki. Selama 10 tahun menggeluti bisnis cermin, Lutfi masih suka berjualan di pasar lokal lantaran peluangnya lokal masih sangat terbuka. Itulah sebabnya, Lutfi rajin membuka cabang, seperti di Bekasi, Tangerang, dan di Kebon Jeruk.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News