Reporter: Dharmesta | Editor: Tri Adi
Kuatnya paguyuban di sentra sepatu Jalan Kembang Sepatu Bandung menjadi cara bagi pedagang untuk menghindari perang harga. Paguyuban ini pun berperan dalam berbagai segi bisnis, misalnya perselisihan, keamanan, dan negosiasi dengan pemerintah daerah.
Dengan lokasi tepat berada di belakang stasiun Cikuda Pateuh, Bandung, seharusnya tempat ini strategis untuk dikunjungi pembeli. Tapi kenyataannya tak seperti itu. Sentra ini sepi pembeli. Pengunjung yang datang di tiap gerai yang ada masih dalam hitungan jari. Tak pelak, pedagang sentra ini mengeluhkan kecilnya omzet dari berdagang sepatu sedari pukul 8 pagi hingga matahari terbenam.
Upaya promosi tak bisa dilakukan lantaran para pedagang tak punya modal. Upaya promosi hanya dilakukan dari mulut ke mulut. "Jelas ini tak cukup," ujar Udin, salah satu pedagang sepatu di sentra ini.
Banyak anak-anak muda yang sejatinya menjadi target utama sentra sepatu kembangan malah tak tahu keberadaan sentra sepatu di Jalan Kembang Sepatu ini. "Mereka hanya mau datang di sentra yang sudah mereka kenal," lanjutnya.
Menempati lahan milik PT Kereta Api dan juga lahan milik Pemerintah Daerah Bandung, para pedagang harus membayar retribusi saban bulan.
Menurut para pedagang, perhatian pemerintah setempat lantaran paguyupan yang ada di sentra ini punya daya juang dan lobi yang kuat. Mereka pula yang meminta bantuan Pemda agar memberikan terpal dari fiberglass untuk melindungi pedagang dari sengatan matahari dan guyuran hujan.
Suhanco, Ketua Paguyuban Pedagang Jalan Sepatu Kembang, bercerita, tahun 1988, pemerintah daerah bergiat membantu para usaha kecil dan menengah. Rapat mengundang pengusaha UKM digelar. Salah satunya Suhanco yang menjadi wakil pedagang sentra sepatu itu. "Di situ, saya meminta agar pedagang diberikan kios. Hasilnya dibikin terpal-terpal ini," ujarnya.
Menurutnya, Pemda saat itu cepat tanggap menambah kios dengan terpal. Bangunan juga kelihatan menarik. Sayangnya, terpal yang diberikan oleh Pemda hanya sembilan buah. Itu pun harus diisi dua pedagang. Tapi karena terlalu sempit akhirnya hanya ditempati satu pedangang.
Setelah sembilan terpal itu, tidak ada lagi bantuan dari Pemda. Alhasil banyak pedagang yang harus membangun kiosnya sendiri. Pedagang yang punya uang bisa membangun kios bagus serta mendirikan gudang dan tempat perbaikan sepatu seperti Oman. Tapi ada juga pedagang yang hanya membangun kios sederhana dari kayu. Kebanyakan pembeli tidak mempermasalahkan kios yang kurang bagus. Tapi ada juga pembeli yang jadinya ragu.
Udin, salah satu pedagang, mengatakan pedagang bisa bertahan dari perang harga karena peran paguyuban. Kalau ada pedagang yang merebut pelanggan lain atau jual rugi bisa disemprit oleh paguyuban.
Tapi, bila kondisinya mendesak seperti dikejar utang, jual murah diperbolehkan. "Dalam keadaan normal harus puas mendapatkan uang rokok dari membantu menjualkan," kata Udin.
Oman pun mengamini peran paguyuban dalam bisnis para pedagang. Paguyuban mengatur keamanan, menyelesaikan perselisihan antarpedagang, dan melakukan negoisasi dengan pemerintah. "Di sini semua masalah diselesaikan oleh paguyuban," ujar Oman.
Para pedagang juga masih mempunyai harapan akan sentra ini meski sekarang sepi. Suhanco hanya bisa berharap Pemda akan menunjukkan kepeduliannya untuk pengembangan usaha para pedagang. Karena sentra ini bukan hanya sekadar tempat 39 pedagang mencari nafkah, tapi juga gerai penjualan industri sepatu rumahan di Tangerang dan Cibaduyut.
Oman berharap, para pedagang dan generasi penerusnya bisa tetap jualan asal sentra sepatu ini ramai kembali oleh pengunjung. Kalau tidak, anak-anaknya akan ragu untuk berjualan di sentra ini "Mungkin mereka akan berpikiran untuk berdagang sepatu di tempat lain," ujar Oman.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News