Reporter: Dharmesta | Editor: Tri Adi
Di balik setiap peristiwa pedih pasti ada hikmah atau berkahnya. Begitu pun dengan peristiwa gempa di Yogyakarta, tahun 2006. Pelemadu yang terletak di ring satu gempa luluh lantak. Justru karena peristiwa ini banyak media meliput Pelemadu, sehingga tak ubahnya sarana promosi sentra rempeyek Pelemadu.
Memang sentra rempeyek ini sudah ada sejak dulu. Namun popularitasnya kian naik pascagempa tahun 2006. Bencana gempa ini membawa berkah tersendiri bagi para produsen rempeyek Pelemadu, Bantul.
Karena terletak di pusat gempa bumi alias di ring satu, semua bangunan yang ada di Pelemadu habis tak tersisa dan rata dengan tanah. Sumardji, Kepala Dukuh Pelemadu mengungkapkan, sebagian besar perajin rempeyek sempat putus asa dan enggan bangkit lagi gara-gara musibah gempa bumi. Pemilik merek rempeyek Bu Eny ini hanya bisa pasrah karena aset usahanya hampir tak berbekas lagi.
Namun, keputus-asaan itu pelan-pelan sirna seiring kedatangan para agen rempeyek yang meminta pesanan. Hampir sebulan pascagempa, sebagian perajin mulai berproduksi lagi. "Organisasi kemanusian dan LSM turut membantu dengan memberikan bantuan peralatan," ujar Sumardji.
Peliputan media massa pun mengangkat pamor Pelemadu sebagai sentra rempeyek. Tubilah misalnya, menggoreng di depan rumah dan sempat difoto oleh beberapa turis. "Mereka memuji saya karena saya sudah mulai berusaha meski terkena gempa," kata Tubilah, perintis usaha rempeyek di Pelemadu.
Berkat "iklan gratis" itu, Tubilah menikmati kenaikan pesanan pasca gempa. Sebelum gempa, Tubilah hanya menghabiskan 20 kilogram (kg) bahan baku per hari. Pasca gempa, dia menghabiskan 250 kg bahan baku rempeyek.
Pemasaran rempeyek merek Tubilah pun makin lebar. Kalau sebelumnya Tubilah hanya mendapat pesanan dari Imogiri, Plered, dan Kotagede, pascagempa pemasarannya mulai menembus Jakarta dan beberapa kota di Jawa Barat.
Berkat peningkatan produksi rempeyek, Tubilah mampu membangun kembali rumahnya pasca gempa. Dari total biaya pembangunan yang mencapai Rp 150 juta, hanya Rp 15 juta yang berasal dari bantuan pemerintah. Ia menutup sisanya dari hasil berdagang rempeyek.
Marmi, perajin rempeyek merek Marmi, bercerita, setelah gempa, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendatanginya. "Orang LSM itu menyarankan agar saya kembali bangkit dan membuat rempeyek, karena bisa mendapat uang," kenang dia.
Menurut pengakuan Marmi, selain memberikan bantuan, para relawan penolong korban gempa banyak yang membeli rempeyek buatan warga Pelemadu. Banyak di antara relawan dari luar Yogyakarta membawa rempeyek Pelemadu ke daerahnya masing-masing. Dari mereka pula Pelemadu menjadi semakin terkenal.
Setelah itu, banyak warga Pelemadu yang tergiur dengan usaha rempeyek. Dari yang awalnya hanya belasan, pembuat rempeyek pun meningkat tajam. "Yang bertahan hingga sekarang hanya 43 orang," ujar Sumardji.
Tubilah merasa senang dengan pertumbuhan jumlah perajin rempeyek. "Makin banyak yang bikin, daerah ini makin terkenal dan orang akan datang dari mana-mana," kata Tubilah yang tak tamat sekolah dasar ini.
Sayang, pertumbuhan jumlah pembuat rempeyek menaikkan persaingan tidak sehat. Banting-bantingan harga, tak pelak menyebabkan bisnis rempeyek remuk.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News