Reporter: Mona Tobing | Editor: Tri Adi
Meski jumlah peternak sapi perah di Desa Langansari kian banyak dan harga pakan kian membubung, produksi susu dari Desa Langansari terbilang stabil. "Produksi susu tidak mengenal musim, kalau pun ada penurunan, jumlahnya tidak banyak," terang Nunung Mulyana yang menjadi Ketua kelompok sapi Buka Negara.
Menurutnya, penurunan produksi susu, biasanya, terjadi saat Lebaran. "Karena para peternak hanya memerah susu saat subuh saja, sehingga produksi berkurang. Padahal, biasanya, mereka memerah susu saat subuh dan sore hari," ujarnya. Di luar Idul Fitri, jumlah produksi susu peternak sapi di Desa Langansari mencapai 4.000 liter per hari.
Selain produksi yang stabil, Usep Suryana, Humas Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Jawa Barat, menambahkan bahwa jumlah peternak sapi di Desa Langansari selalu stabil sejak 1970-an.
Meski ada peternak yang gagal, selalu ada peternak baru yang bermunculan. "Biasanya, usaha diteruskan oleh anggota keluarga mereka karena peternak di Desa Langansari kebanyakan berasal dari penduduk lokal setempat," ujarnya.
Uniknya, sebagian besar peternak sapi yang memelihara sapinya di rumah ini tak tak merekrut karyawan. Tengok saja Nunung. Untuk mengurus delapan ekor sapinya, ia hanya dibantu istri dan anaknya. Hal serupa juga dilakukan oleh Minah Komalasari. Bersama suaminya, Minah mengurus sendiri 12 sapinya.
Karena kebanyakan peternak berasal dari penduduk lokal, hampir tidak ada persaingan di antara mereka. Bahkan, mereka saling membantu ketika menghadapi persalinan sapi. Mereka hanya akan memanggil mantri atau dokter hewan kalau posisi calon bayi sapi itu sungsang atau tak bisa lahir secara normal.
Jangan salah, ini bukan berarti peternak susu di Desa Langansari ini enggan menggunakan jasa dokter atau mantri hewan, lo. Baik Minah dan Nunung mengaku baru menggunakan jasa mantri atau dokter bila sapi mereka sakit keras.
Selama lima tahun terakhir, menurut Nunung, sapi-sapi di Desa Langansari dalam kondisi sehat dan jarang terkena penyakit. Pasalnya, para peternak kian cakap dan tanggap saat mendapati ternak yang sakit. "Agar tak menular ke sapi-sapi lain dan mencemari lingkungan, biasanya, sapi langsung dipotong," tutur Nunung.
Meski aroma persaingan hampir tak terasa di Desa Langansari, mereka menghadapi ancaman lain. "Para peternak sering kehilangan sapinya. Baru-baru ini, sudah ada dua ekor sapi yang hilang," kata Nunung. Pencurian mengintai para peternak yang ada di atas atau di bawah Gunung Batu.
Asep Mulyana yang tahun lalu menjadi korban pencurian sapi bercerita, para pencuri, biasanya, mengincar ternak yang rumah pemiliknya tidak memiliki pagar. "Saat itu, saya baru saja memerah sapi pada subuh. Ketika hendak memberi makan di pagi hari, sapinya sudah tidak ada," tutur Asep yang merugi sekitar Rp 8 juta akibat pencurian itu.
Meski sering terjadi kasus pencurian sapi, para warga Desa Langgansari tak bisa berbuat banyak untuk mencari sapi milik mereka. Mereka pun menganggap, tidak manfaatnya jika mereka melaporkan kehilangan ternak mereka kepada pihak berwajib. "Sapi yang dicuri kebanyakan langsung dipotong dan dijual sehingga tidak pernah terungkap pencurinya," terang Nunung.
Sebagai antisipasi kasus pencurian sapi yang biasanya marak menjelang hari raya, penduduk di tempat ini rutin mengadakan ronda atau siskamling setiap malam. Sayang, saat ini, kegiatan ini tidak rutin dilakukan. Minah punya cara sendiri untuk menjaga ternak-ternaknya agar tidak raib. Selain membangun tembok tinggi yang berbatasan dengan tebing rumahnya, ia juga meninggikan pagar rumahnya. Selain melindungi rumahnya, pagar yang menyatu dengan kandang ini juga untuk menghadang pencuri sapi.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News