Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Tri Adi
Para produsen tempe di sentra pembuatan tempe di Serpong, Tangerang Selatan, tidak pernah libur memproduksi tempe. Setiap hari mereka membuat tempe sesuai dengan kapasitas produksinya masing-masing. Tiap-tiap pedagang meraup omzet beragam, mulai dari Rp 30 juta hingga Rp 60 juta per bulan.
Tempe adalah penganan khas masyarakat Indonesia. Selain rasanya gurih, harga tempe juga terjangkau. Hanya bermodal uang Rp 3.000, kita bisa membeli tempe dengan ukuran panjang sekitar 20 centimeter (cm), dan bisa diiris untuk 15 potong tempe goreng ukuran lazim.
Proses pembuatan tempe bisa memakan waktu tiga hingga empat hari. Menurut Anan, salah satu perajin tempe di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, itu ada beberapa proses tahapan dalam membuat tempe.
Di hari pertama, bahan baku tempe, yakni kacang kedelai, harus direbus dan diuapkan terlebih dulu. Proses penguapan itu bisa memakan waktu hingga satu malam.
Pada hari kedua, tahap berikutnya adalah pencucian kacang kedelai. Setelah kacang kedelai tercuci bersih dan kulit arinya terkelupas, kacang kedelai selanjutnya siap masuk ke dalam cetakan tempe atau pembungkusan.
Sebelum masuk tahap pembungkusan, para perajin menaburi kacang kedelai tadi dengan ragi. Ragi ini berfungsi membantu proses fermentasi dan pembentukan jamur agar menjadi tempe. "Setelah masuk cetakan, proses penjamuran sekitar dua hari, baru kemudian menjadi tempe," kata Anan.
Anan mengaku, setiap hari bisa menghabiskan sekitar 50 kilogram (kg) kedelai untuk bahan baku tempe. Dari kedelai sebanyak itu, dia bisa menghasilkan sekitar 100 kg tempe. "Karena prosesnya alami, setiap hari hasilnya tidak sama," imbuh Anan.
Anan menjual satu kg tempe berbentuk memanjang seharga Rp 10.000. Dari penjualan tempe, Anan bisa meraup pendapatan sekitar Rp1 juta per hari atau Rp 30 juta per bulan.
Produsen tempe lainnya di sentra tempe Serpong adalah Radi. Dia memproduksi tempe dalam jumlah lebih banyak dari Anan. Setiap hari ia bisa menghabiskan sekitar dua kuintal kacang kedelai. Dari kacang kedelai sebanyak itu, Radi bisa menghasilkan sekitar 180 batang tempe dengan panjang ukuran 160 cm.
Dengan jumlah produksi yang lebih besar, omzet Radi pun jauh lebih tinggi dari Anan. Dalam sehari, dia bisa mencetak omzet Rp 2 juta atau Rp 60 juta per bulan.
Radi memproduksi tempe dalam tiga jenis. Pertama tempe yang dibungkus plastik dengan bentuk memanjang, tempe yang dibungkus dengan daun pisang, dan tempe yang dibungkus plastik dengan bentuk kotak.
Serupa dengan Radi, Rasmidi, perajin tempe lainnya di sentra ini, juga memproduksi tempe dalam tiga jenis. "Sebenarnya rasanya sama, hanya saja setiap konsumen punya selera yang berbeda-beda," kata pria berusia 55 tahun ini.
Rasmidi, yang telah menjadi perajin tempe sejak tahun 1970 itu, menambahkan, kendati rasanya sama, namun harga jual ketiga jenis tempe itu berbeda. Misalnya antara tempe yang dibungkus plastik dengan tempe berbalut daun pisang. "Tempe kemasan daun lebih mahal dari yang plastik," tambah Radi. Hal itu, lanjut dia, lantaran harga daun pisang lebih mahal ketimbang plastik dan ketersediaan daun pisang yang terbatas.
Meski dibungkus dalam kemasan berbeda, tidak membuat masa kedaluarsa setiap jenis tempe ikut berbeda. Anan bilang, biasanya usia layak konsumsi tempe hanya tiga hari. "Jika lebih dari itu, kondisi tempe sudah mengeras dan warnanya coklat kehitaman. Jadi, tidak layak makan," katanya.
Radi menimpali, ada juga tempe yang masa kedaluwarsanya cuma dua hari. "Setiap tempe tidak bisa dipastikan masa kedaluwarsanya, tapi bisa dilihat dari warna dan kekerasannya," jelasnya.
Karena usia tempe yang cukup singkat itulah, para pengusaha tempe selalu menargetkan tempe buatannya habis terjual setiap hari. Demi menghindari sisa penjualan, para perajin akan menjual tempe dengan harga lebih murah ketika sudah menjelang siang atau sore, dibandingkan dengan harga di pagi hari.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News