Reporter: Merlina M. Barbara | Editor: Tri Adi
Ni Luh Djelantik tumbuh di tengah keluarga yang sederhana. Sejak kecil dia sulit mendapatkan sepatu yang pas di kaki. Nasib membawanya pada hasrat terpendam untuk membuat sepatu yang nyaman di kaki. Dia mulai mendesain dan berdiskusi dengan perajin di Bali merintis usaha sepatu di 2003.
Tumbuh di tengah keluarga yang hanya dibiayai oleh sang bunda, membuat hidup Ni Luh Djelantik penuh dengan kesederhanaan. Sejak kecil Ni Luh tidak pernah mendapatkan sepatu yang pas di kakinya.
Sempat Ni Luh kecil harus harus menggunakan sepatu yang berukuran lebih besar hingga harus diganjal kain agar bisa digunakan. Saat ukuran sepatu mulai pas di kaki, kondisi sepatu sudah mulai rusak.
Beranjak dewasa, setamat SMA, Ni Luh hijrah ke Jakarta untuk menempuh kuliah di manajemen keuangan, Universitas Gunadarma pada tahun 1994. Terdorong keinginan untuk menghasilkan uang sendiri, maka Niluh pun memulai pekerjaan pertamanya sebagai operator telepon seluler perusahaan tekstil asal Swiss.
Dengan gaji pertama yang dia dapat, Ni Luh langsung membeli sepatu di kawasan Blok M, Jakarta. Saat itu dia membeli sepatu hak tinggi seharga Rp 15.000 sepasang. "Ini sesuai dengan kantong saat itu, tapi sepatu tidak nyaman dipakai," kenangnya.
Hasratnya untuk bisa menciptakan sepatu yang nyaman pun makin kuat, namun masih dia pendam. Akhir 2001 dia kembali ke Bali atas permintaan ibunda. Nasib baik menyambutnya di Bali. Pada tahun 2002, Ni Luh mendapatkan pekerjaan di bidang pemasaran di perusahaan fesyen milik pengusaha Amerika Serikat, Paul Ropp. Kariernya di perusahaan tersebut cukup baik.
Namun, Ni Luh harus meninggalkan kariernya karena jatuh sakit saat berada di New York pada awal tahun 2003. Akhirnya Niluh memutuskan untuk kembali ke Bali. Namun justru ini membuka peluang baginya untuk merealisasikan mimpinya membuat sepatu. Bertemu dengan Cedric Cador yang terbiasa memasarkan produk Indonesia di Eropa, menjadi celah untuk menciptakan pasar di luar negeri.
Dia bercerita, awal merintis usaha ini di 2003 membutuhkan waktu hingga dua bulan untuk menyelesaikan desain sepatu. Dia banyak berdiskusi dengan perajin sepatu di Bali untuk bisa membuat sepatu yang berkualitas. Dia ingin setiap perempuan bisa menggunakan sepatu hak 12 sentimeter (cm) dengan nyaman.
Awalnya dia fokus membuat sepatu high heels berbahan dasar kulit asli dan dikombinasikan dengan kanvas, karung goni, kuningan, manik-manik, maupun kayu dengan merek Nilou. Satu perajin bertanggung jawab menyelesaikan sepasang sepatu, mulai dari memotong bahan, menjahit, hingga membentuk hak sepatu. "Tak masalah jika sehari hanya bisa menghasilkan sepasang sepatu, karena kualitas jauh di atas kuantitas," ujarnya. Karena terlibat dalam setiap proses produksi, dia mengenal karakteristik setiap karya masing-masing perajin sepatunya.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News