kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Utju melawan tengkulak dengan integrasikan pertanian padi organik dan peternakan


Selasa, 26 April 2011 / 11:09 WIB
Utju melawan tengkulak dengan integrasikan pertanian padi organik dan peternakan
ILUSTRASI. My Hero Academia


Reporter: Dharmesta | Editor: Tri Adi

Utju Suiatna tak pernah menyangka perkenalannya dengan padi organik membuatnya memiliki tekad untuk melatih petani agar lebih sejahtera. Lulusan teknik fisika ITB ini tidak mau para petani Indonesia terjerat tengkulak. Dengan pelatihan dan integrasi pertanian organik, perikanan dan peternakan, dia memberi pengetahuan agar petani lebih maju.

Tengkulak menjadi musuh bagi kesejahteraan petani. Musuh ini pula yang coba dilawan oleh Utju Suiatna dengan melakukan program pemberdayaan petani terutama dengan mengajari mereka cara bertanam beras organik.

Sebenarnya, niat membantu petani di daerah Bandung, tempat dia tinggal, datang tanpa sengaja. Sebab, pertama kali mengenal beras organik, dia hanya berusaha membantu teman teman alumni semasa kuliah di Jurusan Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kesulitan mendapatkan beras organik.

Dari perkenalan itu, Utju yang kala itu menjabat Ketua Pemberdayaan UKM alumni ITB Jawa Barat bersama rekannya Amar Rasyad mendirikan Ganesha organik (GO) SRI pada tahun 2007. Dengan wadah organisasi GO SRI, Utju saat ini terlibat dalam program pemberdayaan petani di Indonesia tak hanya di Bandung, Jawa Barat.

Tak hanya mengajarkan cara bertanam organik yang baik, Utju juga mengajarkan bagaimana petani bisa hidup mandiri dan sejahtera. Dia merasa perlu terjun dalam pemberdayaan petani, sebab dia melihat kenyataan menyedihkan yang dialami petani Indonesia.

"Banyak petani dengan lahan sempit semakin menderita karena harus meminjam dana dari tengkulak untuk membeli pupuk dan benih," katanya. Oleh karena itu, pada saat panen mereka harus menjual hasil pertaniannya pada tengkulak dengan harga murah, lalu uangnya digunakan untuk membeli beras lagi.

Dia bertanya-tanya kenapa petani Indonesia tidak bisa hidup makmur seperti para petani di Australia. Padahal, "Indonesia memiliki tanah yang lebih subur," katanya.

Dengan pengetahuannya, pada tahun 2008 Utju melakukan pelatihan di lahan padi organik miliknya yang terletak di kecamatan Cijambe, Subang. Di tempat tersebut, para petani bisa datang untuk belajar. Namun, cara itu dianggapnya kurang efektif sebab petani di daerah tidak bisa belajar seperti yang bisa didapatkan oleh petani yang ada di Subang.

Oleh karena itu, dia berinisiatif mengadakan kerjasama dengan beberapa perusahaan seperti PT Rekayasa Industri, PLN 3 B Divre Jawa Barat, PT Pupuk Iskandar Muda dan lain-lain melalui program corporate social Rresponsibility (CSR)-nya.

Dengan bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan itu, dia mampu melatih petani di Lhoksumawe, NAD, Lampung Utara, dan beberapa kota di Jawa Barat seperti Pandeglang, Cianjur juga Garut. Utju tidak mengambil keuntungan dari pelatihan yang dilakukannya, namun keuntungan didapat dari hasil menjual beras petani.

Dia membeli beras organik yang dihasilkan dari pelatihannya dengan harga Rp 8.000 per kilogram (kg). Harga yang diberikannya tentu lebih tinggi dibanding harga pasar yang ada.

Utju kemudian mengemas beras yang dia beli dari petani itu dengan merek Ciung Wanara. Dia pun menjualnya melalui saluran alumni ITB dengan harga
Rp 10.000 per kg. Sedangkan jika dia menjual langsung, harganya bisa Rp 14.000 per kg.

Selain mengajarkan pertanian organik, Utju juga mengajarkan cara membuat pupuk kompos dari kambing dan sapi peliharaan sendiri. Para petani juga mendapat pelatihan bertanam jamur, agar mereka tidak tergantung pada panen padi saja.

Selain jamur, dia juga mengajarkan teknik pemeliharaan ikan di sawah seperti ikan nila, termasuk pemeliharaan kambing. "Jamur bisa menjadi tambahan harian sedangkan nila untuk penghasilan bulanan," katanya.

Integrasi antara pertanian dan perikanan dan peternakan diharapkan akan menambah penghasilan petani, sehingga diharapkan kesejahteraan akan meningkat. Pelatihan juga menyasar pemuda desa untuk bisa memasarkan hasil panen, sehingga tengkulak tidak dapat bermain.

Menurut Utju, kendala yang sering kali ditemui pertama kali adalah sikap antipati para petani dengan program pelatihan. Sebab, banyak petani yang merasa dibohongi pihak yang mengaku ingin memberikan pelatihan namun ujung-ujungnya malah mencari keuntungan sendiri.

Oleh karena itu, biasanya GO SRI melakukan survei dan diskusi dengan petani sebelum benar-benar memutuskan untuk mengadakan pelatihan selama tiga hari. “Kami yang memilih bukan perkumpulan petani, itu untuk menghindari petani yang datang hanya mengincar uang transport," katanya.

Utju yang pada Februari lalu merilis buku berjudul Bertani dengan Akal dan Nurani, tidak memaksa petani menggunakan sistem organik untuk padinya. Bagi petani yang ragu disarankan mencoba 10% atau 20% dari lahan mereka. Menurutnya, setelah berhasil, maka akhirnya banyak petani lain mau mencobanya.

Kendala lain adalah sikap petani sendiri yang seperti robot. Sebab, petani datang jika ada pelatihan, mempratikkan, namun saat program berhenti mereka juga ikut berhenti dan menunggu program selanjutnya.

Tidak hanya petani yang meminta pelatihan, ada pensiunan Semen Gresik yang datang untuk minta pelajarannya. Bahkan, pada tahun 2010 lalu, rombongan mahasiswa S-3 dari Cornel Institute of Food and Agriculture datang ke tempat Utju di Subang untuk melihat cara budi daya padi organik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×