kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.928.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.520   -20,00   -0,12%
  • IDX 6.833   5,05   0,07%
  • KOMPAS100 987   -1,19   -0,12%
  • LQ45 765   1,61   0,21%
  • ISSI 218   -0,33   -0,15%
  • IDX30 397   1,17   0,30%
  • IDXHIDIV20 467   0,48   0,10%
  • IDX80 112   0,13   0,12%
  • IDXV30 114   0,08   0,07%
  • IDXQ30 129   0,38   0,29%

Sulit mencari generasi muda penerus usaha (3)


Senin, 13 Mei 2013 / 14:08 WIB
Sulit mencari generasi muda penerus usaha (3)
ILUSTRASI. (GIIAS) 2021 di ICE BSD Tangerang, Selasa (16/11). Beberapa perusahaan pembiayaan mengaku telah siap menyambut momentum pasar yang lambat laun akan beralih ke kendaraan roda empat berbasis listrik./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/16/11/2021.


Reporter: Marantina | Editor: Dupla Kartini

Meski pasar tenun eceng gondok dari Desa Pakumbulan, Pekalongan, belum berkibar di luar negeri, namun perkembangan sentra ini tergolong pesat. Dulu, di sana hanya ada sekitar 10 perajin. Namun pasarnya semakin bagus, sehingga kian banyak warga yang tertarik menggeluti usaha kerajinan ini. Sekarang, di sana ada sekitar 100 perajin yang menggeluti kerajinan ini.

Perkembangan bisnis tenun tanaman alami di Desa Pakumbulan juga mengalami  turun naik. Seorang perajin, Amin Maisun menuturkan, sentra ini mengalami masa kejayaan pada periode 1997-1999. Kala itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat merosot tajam. Pada masa tersebut, harga jual produk kerajinan yang diekspor melalui pihak ketiga pun sedang tinggi-tingginya. Alhasil, para perajin bisa meraup untung sangat besar.

Memasuki tahun 2000, penjualan kerajinan tenun eceng gondok dan akar wangi ini melandai. Kata Amin, ini imbas dari semakin banyaknya perajin, yang menyebabkan pasar terbagi-bagi. Akibatnya, harga produk anjlok. Dulu harga tenun bisa mencapai Rp 20.000 per meter, alias dua kali lipat dari harga sekarang. Tentunya, keuntungan para perajin turun bahkan rugi.

Tak sedikit perajin yang berhenti berproduksi dan beralih usaha. Usaha Amin pun bernasib serupa. Namun, ia pantang menyerah. Ia terus menjual produk kerajinan berbahan baku alami, dengan keyakinan masih ada yang mau membeli produknya. “Kami yakin, produk kerajinan tenun ini memang bagus dan menarik,” tuturnya.

Keyakinan Amin ada benarnya. Sekarang, makin banyak orang menggandrungi kerajinan dari bahan alami, seperti eceng gondok dan akar wangi ini.

Desa Pakumbulan bukan satu-satunya sentra tenun berbahan alami. Sentra serupa juga ada di Yogyakarta. Bhakan sentra tersebut sudah lebih maju, dalam arti produksinya bukan barang setengah jadi seperti di Desa Pakumbulan. “Hasil mereka sudah berbentuk produk jadi, seperti tempat tisu dan tas,” papar Amin.

Nah, supaya bisa bersaing dengan produk dari sentra lain, para perajin di Desa Pakumbulan selalu mengutamakan kualitas. Bukan asal bicara. Kata Amin, terbukti ada perajin tas di Yogyakarta yang justru memesan lembaran tenun eceng gondok kepadanya.

Sejauh ini, Amin mangku, bisnisnya masih terkendala sumber daya yang terbatas. Menurutnya, anak-anak muda di Desa Pakumbulan kurang tertarik meneruskan bisnis tenun. “Membuat kerajinan ini butuh ketelatenan dan kesabaran, jadi tidak bisa sembarangan,” tukasnya.

Perajin lainnya, Sumiyati mengamini. Katanya, ketika memulai usaha tersebut pada 2001, ia memiliki tujuh karyawan. Namun, lambat laun, karyawannya mengundurkan diri. Makanya, sekarang ia menenun hanya dibantu kedua anaknya.

Padahal, Sumiyati bilang, melalui usaha ini, ia tadinya berharap bisa membantu para tetangga mendapatkan penghasilan tambahan. Selain itu, ia senang bisa melestarikan keterampilan tenun kepada warga di sana. “Kalau bukan orang Pekalongan yang meneruskan bisnis ini, ya, siapa lagi,” imbuhnya. (Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×