Reporter: Surtan PH Siahaan | Editor: Tri Adi
Juni 2005, kereta api listrik (KRL) dengan nomor 583 dari arah Bogor ke Jakarta menghantam KRL 585 yang mogok menjelang Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) menunjukkan, salah satu penyebab kecelakaan yang menewaskan lima orang itu ialah kerusakan sinyal.
Ya, sinyal punya peranan sangat penting dalam perjalanan kereta api. Tanpa perangkat persinyalan, keretaapi tidak bisa beroperasi. Perangkat ini merupakan alat yang berfungsi sebagai isyarat berupa warna maupun bentuk yang ditaruh di di sepanjang rel. Alat itu akan memberikan isyarat tertentu untuk mengatur dan mengontrol pengoperasian kereta.
Nah, di balik perangkat persinyalan kereta api ada tangan-tangan terampil yang bertugas merancang, membuat, dan merawat alat-alat tersebut. Nama profesinya: teknisi sinyal kereta api. Dengan keahliannya, teknisi ini bisa bekerja di perusahaan pembuat sinyal kereta api, konsultan sinyal kereta api, dan perusahaan kereta api.
Pekerjaan teknisi sinyal kereta api di perusahaan pembuat sinyal kereta api seperti PT LEN Industri adalah merancang, memproduksi, dan memasang sistem persinyalan. Adapun pekerjaan teknisi ini di perusahaan kereta api semacam PT Kereta Api Indonesia (KAI) ialah melakukan perawatan, pengembangan, serta simulasi perangkat persinyalan keretaapi.
Ada tiga tingkatan jenjang karier teknisi sinyal kereta api di perusahaan pembuat sinyal. Pertama, site engineer alias teknisi pemula. Kedua, deputy project manager atau asisten manajer proyek. Ketiga, project manager atawa manajer proyek. “Saya butuh waktu sembilan tahun untuk menduduki posisi project manager,” kata Andhi Siswantoro yang memulai karier sebagai site engginer di Alstom Signalling B.V., perusaan pemrogram persinyalan kereta api di Inggris.
Kemudian di PT KAI, Ira Nevasa, teknisi sinyal kereta api yang kini menjabat Vice President Infrastructure Assets PT KAI, menjelaskan, jenjang karier profesi ini ada lima tingkatan. Pertama, site engineer yang bertugas melakukan perawatan perangkat persinyalan. Kedua, inspector atau supervisor yang pekerjaannya memimpin unit perawatan. Ketiga, junior manager inspector yang bertanggung jawab terhadap sejumlah unit. Keempat, asisten manajer yang terdiri dari asisten manajer Program Anggaran Perawatan Sinyal, Telekomunikasi, dan Listrik (Sistelis), asisten manajer Perawatan Sinyal, dan asisten manajer Perawatan Telekomunikasi dan Listrik. Kelima, manajer Sistelis yang bertugas menyusun rencana dan program pemeliharaan peralatan sinyal, telekomunikasi, dan elektronik serta melakukan evaluasi terhadap pemakaiannya.
Bekerja di luar negeri
Menurut Ira, pekerjaan sebagai teknisi sinyal di PT KAI cukup berat. Sebab, tugasnya memastikan sistem persinyalan layak digunakan. Apalagi, sistem persinyalan kereta api di Indonesia sudah tergolong tua. Cuaca buruk juga menjadi tantangan tersendiri. Saat hujan, sistem persinyalan kerap mati karena tersambar petir. “Divisi perawatan sinyal merupakan salah satu yang paling sering kena semprot,” ujar bekas Vice President Signal and Telecommunication PT KAI ini.
Sejatinya, untuk menjadi teknisi sinyal kereta api butuh pendidikan khusus. Cuma, di Indonesia belum ada perguruan tinggi yang memiliki jurusan persinyalan kereta api. Lantaran lulusan dari luar negeri terbatas, akhirnya perusahaan di Indonesia merekrut para sarjana lulusan teknik elektro.
Di PT KAI, contohnya, para sarjana teknik elektro ini yang akan menjadi teknisi sinyal kereta api mesti menjalani pendidikan dulu di Balai Pelatihan Teknik Sinyal dan Telekomunikasi (BPTST). “Kalau saya bisa menguasai bidang sinyal kereta api karena learning by project,” ungkap Andhi yang sekarang duduk di kursi Direktur PT Rekayasa Mega Pratama.
Saat ini, Ira mengatakan, jumlah teknisi sinyal kereta api di Indonesia baru sekitar 2.000 orang. “Sebanyak 1.500 di antaranya bekerja di PT KAI,” kata Wakil Ketua Institution of Railway Signal Engineer (IRSE) Chapter Indonesia ini.
Jumlah ini tentu saja masih kurang. Soalnya, jumlah penumpang kereta api di Indonesia terus naik dan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang, sehingga perjalanan kereta api bertambah. Contoh, saat ini kapasitas KRL Commuter Jabodetabek hanya 500.000 penumpang per hari, dan PT KAI ingin meningkatkan kapasitasnya menjadi 1,2 juta penumpang per hari di 2018. Tentu, hal ini hanya bisa dilakukan jika mendapat dukungan dari sistem persinyalan yang bagus. Maklum, sistem persinyalan KRL Commuter Jabodetabek sudah berusia uzur, 20 tahun. Alhasil, tenaga teknisi sinyal kereta api semakin dibutuhkan.
Tak hanya di Indonesia, di luar negeri permintaan teknisi sinyal kereta api juga tinggi karena pasokannya terbatas. Tak heran, banyak teknisi sinyal kereta api kita yang bekerja di perusahaan-perusahaan di Belanda, Inggris, Jerman, Australia, dan Amerika Serikat.
Maklum, gajinya selangit, sih. Ira bercerita, gaji junior signal engineer di perusahaan pembuat sinyal kereta api di luar negeri bisa mencapai Rp 50 juta per bulan. Angka penghasilan yang luar biasa untuk seseorang dengan pengalaman kerja tiga tahun hingga enam tahun.
Di Indonesia, gaji teknisi sinyal di perusahaan pembuat sinyal juga tinggi, meski tidak sebesar di luar negeri. Memang, Andhi bilang, dibandingkan dengan engineer di bidang infrastruktur telekomunikasi atau perusahaan minyak, teknisi sinyal kereta api kalah populer. Tapi, “Dari segi pendapatan sama, lo,” katanya tanpa mau menyebut angka pasti.
Cuma, Ira menambahkan, gaji teknisi sinyal kereta api di PT KAI tidak setinggi gaji di perusahaan pembuat sinyal. Sebab, teknisi sinyal kereta api PT KAI hanya berurusan dengan perawatan, pengembangan, dan simulasi sistem persinyalan. “Meski tidak sebesar perusahaan swasta, kalau untuk membeli rumah dan mobil, teknisi sinyal yang sudah menjabat asisten manajer di PT KAI sudah bisa-lah,” tutur Ira.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News