Reporter: Revi Yohana | Editor: Havid Vebri
Belakangan ini, kebanyakan pedagang buah merasakan penurunan omzet, dan menipisnya keuntungan. Selain persaingan kian ketat, juga akibat lonjakan harga buah. Hal yang sama dialami para pedagang di pasar buah Jalan Cipto Mangunkusumo, Jambi. Mereka mengeluh, jumlah pembeli tak lagi seramai dulu.
Pemilik toko buah Vita Bunga, Syahrial mengaku, pembeli mulai sepi, karena kalah dengan keberadaan supermarket. Sekarang, masyarakat semakin tertarik berbelanja ke supermarket, karena kerap memberikan harga murah sebagai promo. "Apalagi, belanja di supermarket lebih sejuk, karena ada AC," tuturnya.
Belum lagi, semakin banyak pedagang buah bermunculan, yang memicu persaingan kian ketat. Alhasil, omzet dan keuntungan pedagang menipis dibanding tahun sebelumnya.
Menurut Syahrial, beberapa tahun lalu, omzetnya bisa mencapai Rp 4 juta-Rp 5 juta sehari. "Sekarang, paling sekitar Rp 1,5 juta - Rp 3 juta per hari," ungkapnya.
Pengelola Yakin Fruit Center Saripah merasakan, bersaing dengan pedagang level supermarket paling membebani. Supermarket bisa menawarkan harga jual lebih rendah ketimbang pedagang di pasar buah Jalan Cipto. Maklum, pengelola supermarket bisa mengambil stok buah langsung dari distributor di Jakarta dengan harga yang lebih murah.
Selain itu, supermarket bisa mensubsidi dagangannya dengan penjualan aneka barang lainnya, berbeda dengan pedagang pasar buah yang membayar karyawan dan tempat hanya dari penjualan buah. "Sekarang banyak orang merasa harga buah di sini lebih mahal ketimbang di toko modern. Alhasil, pendapatan kami merosot," klaim Saripah.
Pedagang lainnya, Merry bilang, selain persaingan antar sesama pedagang dan supermarket, mereka semakin kewalahan karena kelangkaan buah dan harga yang melambung. Buah impor tidak sembarangan masuk lagi. "Pilihannya buah lokal, sementara panen buah lokal kan seringnya musiman," tuturnya.
Di sisi lain, kata Merry, kebanyakan pembeli mencari buah impor, seperti apel, anggur, dan pir. Padahal, kalaupun bisa mendapat stok buah impor, harganya sudah sangat tinggi. Harga yang mahal kerap menyurutkan niat pembeli untuk belanja.
Ia mencontohkan, saat ini, harga apel impor mencapai Rp 50.000 per kilogram. Bandingkan dengan awal tahun lalu masih sekitar Rp 20.000 per kg. "Kalau diganti apel lokal, seperti apel malang, tak banyak warga yang suka," imbuh Merry.
Saripah mengaku, mereka sekarang tak bebas membeli stok. "Biasanya bisa membeli tiga-lima dus sekali barang datang, sekarang hanya boleh satu dus," ujarnya.
Harganya pun terbilang tinggi. Sebagai contoh, harga beli apel impor seberat 18 kg sudah mencapai Rp 700.000. Makanya, harga ke konsumen capai Rp 50.000 per kg.
Anehnya, harga buah lokal pun ikut-ikutan naik. Gejolak ini menyebabkan banyak pedagang sulit bersaing. Tak heran, kata Saripah, meski ada pedagang baru yang muncul, namun tak sedikit pula yang terpaksa gulung tikar, terutama pedagang non permanen.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News