Reporter: Ratih Waseso | Editor: Markus Sumartomjon
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan terus meningkat. Berbagai produk ramah lingkungan pun mulai mendapat perhatian. Salah satunya: sedotan ramah lingkungan.
Biasanya, sedotan yang ramah lingkungan adalah yang bisa orang pakai berkali-kali. Ada yang terbuat dari bambu atau stainless stell, serta ada yang terbuat dari bahan rumput.
Untuk sedotan rumput, ada yang terbuat dari rumput purun dan rumput laut. Khusus untuk rumput purun, biasanya menjadi bahan baku untuk membuat tas dan kerajinan tangan.
Baca Juga: Eco Hero gantikan bahan plastik dengan bambu
Para pemain yang terjun di bisnis sedotan ramah lingkungan berbahan baku rumput mengaku mendapatkan hasil yang positif dari usaha tersebut. Misalnya saja, Gaby Faradisa yang mengusung label Purun Eco Straw asal Belitung yang memulai bisnis sejak tahun lalu. Bahan bakunya berasal dari rumput purun.
Baca Juga: Tetra Pak kembangkan sedotan kertas
Saat ini, penjualan Purun Eco Straw bisa mencapai 10.000 potong sampai 20.000 potong sedotan per bulan. Ia mengemas sedotan tersebut menjadi satu pak isi 100 potong dengan harga Rp 50.000. Artinya, ia sanggup menjual sekitar 1.000 sampai 2.000 pak per bulan.
Pemain lainnya, Christopher Alessandro Tansri, pendiri Dots Straw. Usaha yang sudah beroperasi sejak Oktober 2019 tersebut terbilang positif. Saban bulan, ia bisa menjual sedotan dari rumput purun danau atawa Lepironia articulata sekitar 10 pak sampai 20 pak. Isi satu pak ada 100 sedotan dengan banderol harga Rp 75.000.
Para pemain bisnis ini mendapatkan bahan baku dari pemasok lokal. Ambil contoh, Gaby yang memperoleh bahan baku rumput purun dari hutan yang ada di Belitung. Rumput purun biasanya ada di lahan rawa dan butuh waktu tiga bulan untuk memanennya.
Melihat potensi yang ada, Gaby pun berencana membudidayakan rumput purun. Saat ini, dia tengah melakukan riset untuk mendapatkan rumput purun dengan berbagai ukuran.
Daerah yang potensial untuk mengembangkan rumput purun ada di Sumatra dan Kalimantan. "Tahun ini, kami ingin kembangkan lagi ke Bangka. Untuk riset budidaya rumput purun lagi on progress," kata Gaby.
Rencana lain yang tengah ia siapkan adalah mendapatkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Langkah ini penting supaya sedotan besutannya bisa tembus pasar ekspor. Apalagi, dia sudah mendapat permintaan sedotan rumput purun dari China dan Australia.
Upaya lainnya adalah masuk ke ranah online. Sambil mengedukasi ke masyarakat, bahwa sedotan dari bahan baku rumput hanya bisa dipakai sekali saja dan bukan berkali-kali.
Sedangkan untuk kendala adalah saat melakukan pengeringan rumput purun. Selama musim hujan, Gaby kerap memakai oven. Padahal, pengeringan rumput purun yang baik dengan sinar matahari langsung.
Sebagai pemain anyar, kendala bisnis yang Christopher alami adalah mengoptimalkan pasar. Sejauh ini, produk sedotannya lebih banyak dikenal orang asing, bukan warga lokal. Maka tahun ini, ia bakal fokus promosi ke pasar lokal.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News