Reporter: Mona Tobing | Editor: Tri Adi
Mungkin kita perlu mencontoh semangat Triyono, finalis tingkat nasional Penghargaan Wirausahawan Mandiri 2010 ini. Meski memiliki kekurangan fisik, ia berhasil mendirikan usaha di bidang agribisnis peternakan dan berhasil mencetak omzet hingga Rp 3 miliar per tahun.
Fisik Triyono memang tak sempurna. Meski ketika berjalan harus ditopang kruk yang mengapit di kedua lengannya, ia berhasil membuktikan pada dunia bahwa ia mampu memberikan manfaat kepada orang lain.
Ketika ditemui KONTAN, Rabu (19/1) di Jakarta, Triyono terlihat sumringah. Berkali-kali ia tersenyum ketika menceritakan awal memulai bisnis. Bukan mengingat kenangan manis, tapi justru soal kesulitan dan tantangan yang ia hadapi saat membangun bisnis peternakan di Sukoharjo.
Tri, sapaan pria yang sejak berusia satu tahun divonis penyakit polio ini, bercerita bahwa ketika ia terjun di dunia agribisnis, dia tak banyak mendapat dukungan dari kerabat dan keluarganya sendiri. "Mereka saat itu selalu melihat ketidaksempurnaan fisik saya, mereka ragu akan kemampuan saya bekerja. Saat itulah saya merasa tidak berguna," kenang Tri.
Lelaki berumur 29 tahun ini teguh memegang prinsip: sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain. Penolakan yang selalu disematkan kepadanya ketika mencari pekerjaan, menyadarkan Tri kalau ia harus membangun usaha sendiri untuk mengasapi dapurnya. "Sudah pasti, saya adalah orang pertama yang ditolak perusahaan ketika melamar sekalipun IPK saya bagus," tuturnya sambil tersenyum.
Tri mulai merintis usaha agribisnis peternakan ketika masih berstatus sebagai mahasiswa jurusan Pertanian dan Peternakan Universitas Sebelas Maret, Solo tahun 2006. Dengan bermodal Rp 5 juta, ia memulai usaha bebek potong. Ia membeli 500 bebek untuk dia kembangbiakkan dan dibesarkan di lahan pekarangan rumah keluarganya.
Ia benar-benar menerapkan ilmu peternakan yang dia peroleh di bangku kuliah. Hasilnya tokcer. Banyak pesanan mampir karena kualitas bebek peternakan Tri terbilang unggul. Bebek hasil ternaknya tak hanya sehat, tapi juga memiliki berat proposional. Ini yang membuat harga si kwek-kwek selalu bagus.
Pelan tapi pasti, selama setahun, Tri mampu mengumpulkan modal dari usaha bebek potongnya. Tri memakai tambahan dana itu sebagai usaha jual beli sapi menjelang Idul Adha.
Awal 2007, ia memberanikan diri memulai usaha jual beli hewan kurban. Ia mengenang, saat itu menjadi tahun terberat baginya. Selain harus mempersiapkan ujian skripsi, ia juga baru merintis agribisnis.
Walhasil, saat pagi hingga siang hari, ia harus berkutat dengan kuliah. Setelah itu, Tri mencurahkan waktunya membeli dan menjual sapi untuk pasokan hari raya kurban.
Seorang diri, ia memasok hewan-hewan tersebut ke beberapa daerah di sekitar Sukoharjo. Keluar masuk pasar setiap hari sudah menjadi kegiatan rutin. "Saya harus berjalan jauh dengan menggunakan kruk, mencari dan membeli sapi yang berkualitas kemudian mengantar sapi-sapi tersebut ke tempat pesanan," kenang Tri. Tapi, dia pantang menyerah, meski beberapa orang kerap menolak bekerjasama dengannya.
Segala usahanya tak sia-sia. Tri lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,2, dan dia juga meraih untung dari hasil penjualan sapi kurban. Ia memutar kembali keuntungan itu sebagai modal membeli sapi dan ayam.
Menyadari peluang usaha dari agribisnis cukup besar karena menyangkut kebutuhan primer banyak orang, bermodal Rp 20 juta, Tri pun mantap membangun usaha secara serius di tahun 2008.
Dengan mengibarkan bendera CV Tri Agri Aurum Multifarm, Tri berbisnis peternakan terpadu sapi potong, ayam potong, dan pupuk organik. Meski tak memiliki latar belakang berbisnis, Tri mampu meraih pasar dengan cepat.
Bekal kuliah menjadi nilai plus mengembangbiakan ternak. Alhasil, di 2008, dia mampu meraih omzet Rp 50 juta per bulan. Dia juga berhasil membuka lapangan kerja baru di desanya.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News