kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Agit selalu ingin sepatu kulitnya menjadi trend setter (1)


Senin, 10 Januari 2011 / 15:23 WIB
Agit selalu ingin sepatu kulitnya menjadi trend setter (1)


Reporter: Dharmesta | Editor: Tri Adi

Meski usianya baru 21 tahun, Agit Bambang Suswanto sudah menjadi produsen sepatu kulit yang menembus pasar ekspor. Hanya dalam waktu sekitar satu setengah tahun, pemuda yang masih berstatus mahasiswa ini bisa mencetak omzet hingga Rp 145 juta per bulan dari usaha sepatu kulit untuk segmen atas.

Usia muda bukan halangan menjadi pengusaha. Bermula dari hobi, Agit Bambang Suswanto membangun usaha sepatu kulit dengan merek Amble untuk pasar kelas atas.

Bisnis ini bermula saat pertengahan 2009 Agit kesulitan mencari sepatu kulit buatan luar negeri. Bukan karena barangnya tidak ada, tapi lantaran harganya yang selangit. Maklum, ia memang hobi mengoleksi sepatu.

Ketika itulah, Agit berpikir bahwa Indonesia sebenarnya bisa memproduksi sepatu kulit dengan kualitas yang sama. Lelaki 21 tahun yang juga demen mendesain ini pun akhirnya membikin sepatu kulit secara kecil-kecilan. Awalnya, ia hanya membuat tiga pasang sepatu kulit yang dijual melalui forum komunitas maya: Kaskus.

Tapi, itu dulu. Sekarang, mahasiswa Jurusan Manajemen Bisnis Universitas Widyatama Bandung ini bisa menghasilkan 300 pasang untuk pasar lokal.

Agit biasa melego sepatu-sepatu kulit buatannya ke Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta. Omzetnya sekitar Rp 60 juta hingga
Rp 85 juta per bulan.

Mulai Desember 2010 lalu, ia mulai mengekspor 200 pasang sepatu kulit buatannya ke Eropa, tepatnya ke Jerman dan Prancis. Pendapatannya dari eskpor sepatu tersebut berkisar Rp 40 juta sampai Rp 60 juta. Jadi total, Agit bisa mencetak omzet Rp 100 juta-p 145 juta sebulan.

Meski masih dalam tahap percobaan, Agit bakal serius menggarap pasar ekspor. Soalnya, mitra bisnisnya di Eropa langsung membayar tunai semua pesanan sepatunya.

Agit bercerita, kerjasama itu berawal sewaktu si importir Eropa tersebut menemukan website-nya. "Dia sedang mencari produsen sepatu di Asia dan Amerika Latin yang mampu memproduksi sepatu kulit dengan kualitas yang tak kalah dengan buatan Eropa dari internet," kata dia.

Daya saing sepatu kulit Agit terletak di harga yang terhitung murah dari kacamata si importir. Soalnya, sepatu kulit buatan Eropa memang terkenal mahal.

Sebenarnya, Agit telah menjual produknya ke Malaysia, Singapura, dan Australia. Tapi, karena eskpor itu berupa penjualan ritel, omzetnya tak tentu. Kadang, ia bisa mengumpulkan pendapatan Rp 6 juta, kadang tidak ada pemesanan sama sekali.

Amble mempunyai dua lini produk, yaitu premium dan seasonal. Seasonal merupakan produk yang bakal berganti desain setiap enam bulan sekali.

Harga produk premium untuk pasar lokal mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per pasang. Sementara, produk seasonal, harganya Rp 450.000 -Rp 600.000 per pasang. Untuk pasar ekspor, Agit mematok harga sepatu premium di US$ 135 hingga US$ 170 dan seasonal US$ 65-US$ 85 per pasang.

Agit hanya memproduksi 200 pasang untuk setiap desain. Ia melakukan strategi ini untuk menjaga produknya tetap eksklusif. Hingga kini, Agit hanya membuat sekitar 400 hingga 500 pasang sepatu kulit per bulan, meski kapasitas penuhnya bisa sampai 700 pasang.

Pembatasan produksi ini juga masih dalam urusan menjaga produknya tetap eksklusif di pasar. "Karena dijual dengan harga mahal, jadi kita tidak perlu mengejar kuantitas untuk meraih untung," ujar Agit.

Untuk mengerjakan sepatu kulit, Agit dibantu 12 karyawan di bagian produksi dan empat di manajemen. Bengkel kerjanya terletak di Bandung, Jawa Barat.

Harga sepatu Amble yang mahal memang berbanding lurus dengan kualitasnya yang unggul. Agit memakai 100% bahan kulit. Di bagian dalam sepatu, ia menggunakan kulit kambing. Desainnya yang maksimal dan 70% proses produksinya merupakan pekerjaan tangan.

Agit memasok bahan baku kulit dari para perajin di Tangerang, Bogor, dan Surabaya. Namun, ia cukup selektif soal bahan baku. Sebab, tak sembarang bahan baku bisa dipakai. Ia menuntut bahan baku dengan mutu dan warna tertentu.

Dengan tidak pernah mencontoh desain orang lain, Agit selalu berusaha sepatunya menjadi trend setter. Untuk itu, ia rajin membaca majalah fesyen dan melihat teve untuk mencari ide.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×