kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Turun temurun warga mahir membatik (2)


Minggu, 31 Maret 2013 / 11:41 WIB
Turun temurun warga mahir membatik (2)
ILUSTRASI. Berbagai Jenis Keju dan Manfaatnya untuk Kesehatan


Sumber: Kontan 30/3/2013 | Editor: Havid Vebri

Keahlian membatik sepertinya bukan hal istimewa bagi warga di Kampung Batik Kauman, Pekalongan, Jawa Tengah. Rata-rata warga di pusat produksi batik itu setidaknya tahu dan pernah membuat kain batik. Bahkan, mayoritas pedagang telah memproduksi batik secara turun temurun.

Salah satunya, Fathur Rahman. Pemilik Toko Nulaba ini merupakan generasi keempat dari keluarganya yang terjun menjadi pengusaha batik. Anak pertama dari 12 bersaudara ini memulai kiprahnya di bisnis batik sejak 1974. Ia tak sendiri mengelola toko itu, karena enam saudaranya pun membantu, terutama dari segi pemasaran.

Fathur bercerita, nenek moyang orang Pekalongan memang pengrajin batik. Kemudian ketrampilan itu diturunkan pada generasi berikutnya. Jadi, walaupun anaknya sudah disekolahkan tinggi, tapi tetap saja mayoritas kembali menjalani usaha batik. “Minat terhadap batik itu sudah ditanamkan sejak dini,” tuturnya.

Kata Fathur, dulunya, Nulaba memulai usaha batik tulis. Namun, seiring perkembangan, orang tuanya memilih untuk fokus memproduksi batik cap. “Lebih cepat pembuatannya, tapi tidak kalah nilai seninya dibanding batik tulis,” ujar ayah dari lima orang anak ini.

Batik cap menggunakan canting sebagai stempel. Proses pengerjaan diawali dengan mewarnai kain mori polos (biasa disebut putihan). Selanjutnya, bahan baku lilin (disebut malam) direbus hingga mendidih. Canting cap pun dicelupkan pada malam, lalu ditempelkan pada kain sehingga membentuk motif tertentu.

Proses terakhir ialah membersihkan kain hingga warna dan motifnya menonjol. Lalu, dijemur, disetrika, dan terakhir dipotong sesuai keinginan. Selain rumah produksi di Kauman, Fathur juga memiliki kios di pasar grosir Setono, Pekalongan.

Supaya kian dikenal, sejak lima tahun terakhir, ia rajin mempromosikan produknya melalui internet. "Promosi lewat internet sangat ampuh membuat calon pembeli mengenal batik Nulaba, tanpa harus datang ke Pekalongan," klaimnya.

Agak berbeda dengan perajin batik cap lainnya, Abdullah. Ia memakai alat canting tulis. Proses pembuatan diawali dengan menggambar desain di atas kain mori, menggunakan pensil atau pulpen. Kemudian, ia mulai membatik dengan memakai malam atau lilin sebagai tinta agar motif batik lebih kentara. Lalu, proses produksi selanjutnya sama dengan batik cap buatan Nulaba.

Abdullah mengaku, sudah bisa membatik sejak duduk di bangku SD. Ayah dari tiga anak ini pernah merantau ke Jakarta untuk mencari peruntungan pada 1970-an. Namun, ia kembali ke Pekalongan pada 1981, karena menyadari bisa sukses dengan membatik. "Waktu itu, bapak saya juga yang suruh pulang kampung untuk membatik,” kisahnya.

Hima Fatmawati, perajin batik lainnya di Kauman, juga bilang, sudah bisa membatik sejak SD. Selain belajar dari ibunya, Fatma juga belajar dari perajin batik di Toko Nulaba. Maklum, rumah keduanya berseberangan.

Meski bisa membatik, namun ia menyerahkan produksi batik pada pegawai borongan dan perajin batik lain. Pasalnya, ia fokus mengelola toko sendiri. “Yang jelas, kalau tidak pernah belajar membatik, akan susah untuk mengelola bisnis batik,” ucapnya.     

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×