Sumber: Kontan 31/1/2013 | Editor: Havid Vebri
Berbekal pengalaman sebagai karyawan di sebuah perusahaan tenun, Amin Iskandar, 44 tahun, memutuskan untuk mendirikan usaha sendiri. Ayah dari dua orang putri ini membangun usaha tenun sutera di Kecamatan Kadungora, Garut, Jawa Barat.
Amin memulai usaha tenun sutera dengan membeli empat unit alat tenun bukan mesin (ATBM) pada tahun 2009. Saat itu, ia hanya melayani pembelian secara eceran. Omzetnya di awal-awal usaha hanya berkisar Rp 10 juta per bulan.
Amin pun mencari cara agar omzetnya bisa lebih tinggi lagi. Saat itu, ia berpikir, tidak mungkin omzet bisa lebih besar bila hanya mengandalkan penjualan eceran. Ia lantas mulai mencari konsumen yang mau membeli dalam partai besar atau grosir.
Maka itu, Amin mulai mendekati para pembatik di daerah-daerah. Hampir setiap bulan, ia mengunjungi pembatik di daerah Pekalongan dan Cirebon untuk menawarkan produk tenun suteranya. Selain itu, ia juga biasa bertemu para pembatik di tempat-tempat pameran yang diikutinya.
Upayanya itu tidak sia-sia. Berkat pendekatan seperti itu, order dari para pembatik pun mulai mengalir. "Mereka ini membeli kain tenun dalam partai besar," kata Amin.
Lantaran sudah punya banyak pelanggan, Amin kini sudah tak perlu repot-repot menjajakan kain tenunnya seperti dulu lagi. Melalui jaringan yang dibangunnya, terkadang para pembatik malah mendatangi langsung galerinya di Garut.
Usahanya semakin berkembang sejak mendapat pelatihan dari yayasan Citra Tenun Indonesia (CTI) pada tahun 2012. Berkat pelatihan itu, produk yang dihasilkan Amin kini makin variatif.
Selain memproduksi kain putihan, Amin juga memproduksi kain dengan pelbagai corak dan warna. Bahkan, ia juga sudah memproduksi pakaian siap pakai. Selain pelatihan, CTI juga turut membantu memasarkan produknya.
Kendati sukses, bukan berarti bisnisnya tidak pernah menemui hambatan. Kendala bahan baku kerap menjadi momok bagi para perajin tenun seperti Amin. Pasalnya, mayoritas bahan baku benang sutera diimpor dari China.
Alhasil, pasokan bahan baku kerap tersendat. "Setahu saya, 100% pengrajin sutera bergantung terhadap bahan baku benang sutera dari China," katanya.
Selain pengiriman kadang kurang lancar, harga bahan baku impor dari China juga terus naik. Menurut Amin, dalam setahun, bisa terjadi empat hingga lima kali kenaikan harga bahan baku.
Amin membeli benang sutera dari pengimpor di Surabaya seharga Rp 590.000 per kilogram (kg). Dalam sebulan, ia bisa membeli 200 kg benang. "Karena pengiriman sering terlambat, biasanya saya sering menyetok supaya tidak kehabisan bahan baku," tuturnya.
Tenaga kerja pun menjadi masalah dalam bisnisnya. Kini, karyawan Rumah Tenun Amin mencapai 40 orang. Selama menjalani bisnis, ia kesulitan mendapat tenaga kerja yang tekun dan berpengalaman.
Pasalnya, turn over karyawan di tempatnya relatif tinggi karena kebanyakan perempuan. "Kalau sudah menikah, mereka keluar dan saya yang repot mencari karyawan baru dan melatih dari awal lagi," ucap dia.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News