kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Wignyo membangun usaha tenun sutra dari nol (1)


Kamis, 16 September 2010 / 11:21 WIB
Wignyo membangun usaha tenun sutra dari nol (1)


Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Tri Adi

Orang mengenal Tenun Gaya sebagai Tenun SBY. Maklum, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sering mengenakan busana dari kain tenun ini. Berbekal pengalaman saat bekerja, Wignyo Rahadi membangun usaha tenun sutra ini sedari nol. Kesan tradisional dan motif simpel menjadi kunci kesuksesannya memikat para pelanggan.

penggunaan kain tradisional dan kain batik semakin marak. Hal tersebut mengundang ide banyak orang mencari alternatif kain tradisional lainnya. Kain tenun pun menjadi salah satu pilihan yang bisa menggantikan peran kain batik.

Alhasil, peminat kain tenun terus bertambah. Wignyo Rahadi, produsen kain tenun yang mengusung nama dagang Tenun Gaya, turut menikmati peningkatan jumlah konsumen sejak lebih dari 10 tahun lalu.

Menurut Wignyo, biasanya konsumen tenun yang datang ke gerainya kurang menyukai motif batik yang cenderung besar-besar dan ramai. Sementara itu, tenun memiliki motif lebih halus dan warna lebih kalem.

Kesan tradisional dan simpel kain tenun inilah yang memudahkan Wignyo memikat pasar di luar negeri. Ia sudah merambah beberapa negara untuk memasarkan produknya secara langsung.

Wignyo memang beruntung dengan keberhasilannya di produk tenun ini. Maklum, dia bukan pemain bisnis produk tekstil atau kerajinan seperti para pebisnis lainnya. Sebelum terjun ke bisnis ini, ia bergelut dengan urusan keuangan dan audit selama 11 tahun. Ia bekerja di salah satu perusahaan Grup Salim.

Suatu ketika, Wignyo yang lulusan Ilmu Ekonomi ini harus merangkap jabatan, yakni sebagai senior manajer bagian keuangan dan pemasaran salah satu anak usaha Grup Salim. Waktu itu tahun 1995, Grup Salim membentuk sebuah anak usaha bidang pembuatan benang sutra. Namanya PT Indo Jado Sutera Pratama, yang berlokasi di Sukabumi.

Tantangan di dunia baru ini ternyata menarik minat Wignyo untuk memperdalam pengetahuan tentang sutra. Dari yang semula mengelola duit, dia harus berhadapan dengan perkebunan murbei, peternakan ulat sutra, hingga industri pengolahan benang itu sendiri.

"Saya juga belajar benang sutra sebelum memasarkan," imbuh Wignyo. Tak heran jika sampai sekarang dia masih hafal dan mengerti semua proses tersebut.

Ia memang harus mengetahui seluk-beluk pembuatan sutra. Maklum, Wignyo harus mendatangi sentra-sentra tenun kain sutra dan mensosialisasikan produk benang sutra ini. "Dua tahun saya mendalami proses pembuatan sutra ini," katanya.

Selama proses sosialisasi di sentra-sentra itulah Wignyo menemui banyak penenun yang tak maksimal dalam menggunakan benang. Misalnya, proses memasak dengan bahan kimia. "Kalau tidak proporsional dengan jumlah benangnya dan cara masaknya, hasilnya tidak bagus," ujar dia.

Namun, berkat berbagai pengalaman soal sutra ini, perlahan-lahan Wignyo tertarik mengembangkan bisnis tenun. Awalnya, dia mendapat keluhan dari para pembatik, karena tenun dari hasil alat tenun bukan mesin (ATBM) motifnya terlalu monoton. "Masukan itu saya pelajari bersama-sama dengan penenun," kata Wignyo.

Lantas, dia pun belajar memodifikasi alat tenun agar bisa membuat motif-motif lain. Di tahun 1997, Wignyo mulai membuka usaha penenunan sutra di Sukabumi. Lokasi ini dipilih untuk mendekatkan workshop dengan sumber bahan baku, yang waktu itu dibelinya dari Indo Jado.

Tentunya, Wignyo juga mendapatkan kesulitan saat merintis usaha tenun di Sukabumi ini. Pasalnya, penduduk sekitar workshop kebanyakan adalah pembuat batako.

Namun, dia tetap mendorong penduduk agar mau bekerja di workshop penenunan sutra. Wignyo harus lebih banyak bersabar dalam menghadapi para pekerja. Karena, mereka perlu beradaptasi dari pekerjaan kasar ke kerajinan tenun yang membutuhkan keterampilan dan konsentrasi tinggi. "Cukup memusingkan, kain selebar 115 centimeter itu terdiri dari 6.400 lembar benang," katanya.

Awalnya, dia memperkerjakan lima orang. Belakangan, hanya tersisa satu atau dua orang. Di lain waktu, dia menarik lagi hingga 10 orang. Tapi, yang tersisa hanya satu atau dua orang saja. Padahal, Wignyo sudah menawarkan penghasilan di atas upah minimum buruh (UMR), Termasuk penghasilan saat masih belajar. "Mereka tetap tidak mau," ujarnya.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×