kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Wignyo pantang menyerah diterpa masalah (2)


Jumat, 17 September 2010 / 10:54 WIB
Wignyo pantang menyerah diterpa masalah (2)


Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Tri Adi

Wignyo Rahadi membutuhkan waktu dua tahun untuk merintis usaha tenun sutranya. Pada tahun 1999 dia sudah bisa menjualnya secara komersial. Waktu itu, tenaga kerjanya hanya sekitar tujuh hingga 10 orang. Seiring dengan pertumbuhan usahanya, kini Wignyo sudah mempekerjakan sekitar 150 karyawan.

Berbagai kesulitan yang dihadapi Wignyo Rahardi dalam berusaha, tidak membuatnya menyerah. Di awal usahanya menjual tenun sutra, pasarnya sudah cukup lumayan. Pasalnya, pada masa itu belum banyak pengembangan tenun sutra seperti yang dia lakoni.

"Konsep saya adalah pengembangan motif tenun," katanya. Ia mengadopsi motif batik dan motif songket dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM).

Agar arus kasnya tetap mengalir lancar, Wignyo mematok uang muka 50% dari harga jual. Dengan uang muka itu, ia bisa membeli bahan baku benang.

Setelah berhenti bekerja di Grup Salim dan Indo Jado pada tahun 2000, Wignyo semakin total mengembangkan usaha tenun sutra. Uang yang dia peroleh dari tempatnya bekerja, dia jadikan sebagai modal awal usaha. Usahanya juga ditopang oleh tambahan investasinya.

Agar usahanya lebih berkembang, Wignyo membeli tanah seluas 2.500 meter persegi di Sukabumi. Di atas lahan tersebut dia mendirikan bangunan untuk workshop kain tenun.

Melihat perkembangkan yang cukup bagus dan hasil tenun yang baik, penduduk yang semula enggan bekerja sebagai penenun, kembali tertarik menekuni pekerjaan tersebut. Sejak saat itulah usahanya mulai mekar.

Pada periode 1999-2001, Wignyo hanya memproduksi kain putihan untuk dipasok ke pembatik, yang mengolahnya kembali.

Mulai 2002, dia mencoba pasar baru, karena tidak ingin selalu tergantung dengan pasar batik. Maklum, permintaan batik yang seret akan berimbas ke usahanya. Sehingga omzetnya pun jadi turun. Sedangkan, jika dia langsung mengarahkan produk-produknya ke pemakai, maka kesulitan ekonomi tidak akan terlalu mempengaruhinya. Efeknya mungkin hanya 50% dari total omzetnya.

Wignyo pun mulai memberanikan diri masuk ke pasar baju siap pakai, dengan mendesain baju dan menggelar peragaan busana. Tapi, usaha ini tak berlangsung lama dan terhenti tahun 2003. Penyebabnya, permintaan kain saat itu lebih banyak.

Para konsumen juga meminta kain siap pakai, seperti sarung dan selendang. Meski tidak lagi fokus pada produk pakaian jadi, Wignyo masih memproduksinya dalam jumlah yang terbatas.

Setahun berselang, workshop di Sukabumi memiliki bagian pencelupan warna sendiri. Untuk itu, Wignyo merekrut temannya yang ahli di bidang pewarnaan. Dia juga belajar cara pencelupan warna, baik dalam bentuk kain atau benang.

Setelah memperhatikan dan mempraktekkan sendiri, dia memilih untuk memberikan warna saat masih dalam bentuk benang. Dengan cara ini, hasilnya lebih bagus dibandingkan ketika mencelup dalam bentuk kain jadi.

Pengetahuannya dalam mewarnai ternyata sangat dibutuhkan. Apalagi ketika tenaga andalannya pindah kerja ke tempat lain.

Selain melakukan pencelupan warna sendiri, Wignyo juga menyempatkan diri melatih pekerjanya. "Mudah-mudahan yang ini tidak ditarik orang lagi," imbuhnya.

Pada tahun 2004, Wignyo harus mencari sumber bahan baku yang lain. Pasalnya, setahun sebelumnya, Indo Jado yang selama ini rutin memasok bahan baku, telah menutup usahanya.

Upaya ini banyak menemui hambatan. Pasalnya, tidak semua petani mau menanam murbei dan beternak ulat sutra. Para petani binaan Indo Jado, yang juga menjadi mitra Wignyo, banyak yang tidak bertahan. Dari ribuan petani, tinggal ratusan petani yang menjadi mitranya.

Hambatan lainnya, perbedaan antara olahan Indo Jado dengan produknya. Jika Indo Jado memproduksi benang dengan mesin modern, Wignyo memproduksi benang secara tradisional.

Hasil produksi benang dengan tangan (hand drilling) tidak sebagus buatan mesin. "Besarannya tidak rata sehingga kalau dibuat baju belang-belang," kata Wignyo.

Tahun 2004 Wignyo menghentikan produksi kain putih. Ia memproses sendiri kainnya dari hulu sampai hilir. Bahkan, dia ikut memasarkan produknya di peragaan busana dan pameran kalangan kelas menengah atas.

(Bersambung )

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×