kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Yopie raup omzet miliaran dari mesin nomor antrean


Rabu, 02 Mei 2012 / 15:53 WIB
Yopie raup omzet miliaran dari mesin nomor antrean
ILUSTRASI. Kolam renang umum jadi salah satu lokasi dengan risiko penularan Virus Corona tinggi. REUTERS/Stringer


Reporter: Fransiska Firlana | Editor: Tri Adi

Optimisme yang dibarengi ketekunan akan membuahkan kesuksesan. Itulah yang dilakukan Yopie Hutahaean dalam merintis usaha manufaktur bernama PT Rekavisitama. Meski diawali kepahitan, pada akhirnya Yopie menuai buah nan manis.

Meski terlihat sepele, mesin mencetak nomor antrean sudah menjadi alat wajib bagi banyak perusahaan jasa yang berhubungan langsung dengan konsumen. Produk ini biasa ada di bank, perusahaan asuransi, pembiayaan, kantor pajak, dan kantor layanan konsumen lain. Salah satu produsen alat ini adalah PT Rekavisitama, milik Yopie Hutahaean.

Yopie memang salah satu dari sedikit produsen alat nomor antrean yang sudah digunakan oleh banyak perusahaan. Alatnya dipakai oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), Taspen, Bank Mandiri, BRI, BNI, BTPN, kantor pajak, BCA, PDAM, PLN, dan PT Bussan Auto Finance. Selain itu, ada juga lembaga kesehatan seperti rumahsakit, klinik, dan puskesmas.

Melalui bendera PT Rekavisitama, Yopie memproduksi dua produk, yaitu mesin antrean dan perangkat laboratorium (lab) bahasa digital. Selain menjaring klien perusahaan lokal, produk dan desain laboratorium Rekavisitama sudah dikirim ke Arab Saudi. Perangkat laboratorium bahasa digital biasanya terdiri dari satu unit komputer, master console pada sisi instruktur, dan panel siswa sampai 48 unit.

Mesin nomor antrean Rekavisitama rata-rata dihargai Rp 20 juta hingga Rp 50 juta per unit. Sementara, produk dan desain laboratorium bahasa digital dihargai Rp 80 juta–Rp 90 juta. “Pendapatan kami per tahun masih kecil dibanding perusahaan manufaktur yang sudah raksasa,” kata dia. “Kecil“ versi Yopie berarti masih kurang dari Rp 20 miliar per tahun, lo.

Menurut Yopie, permintaan mesin antrean dan perangkat laboratorium bahasa cukup rutin per bulan. “Kami sering ikut tender pengadaan perangkat laboratorium bahasa di sekolah-sekolah yang biasanya pada akhir tahun,” kata suami Ruth Merlyn Sidauruk ini.

Walau merasa masih kecil, bisnis Yopie saat ini sudah jauh lebih baik dari masa-masa lampau. Dia pernah membuka usaha jual beli komputer sekaligus menjadi karyawan di perusahaan mebel. Lulus kuliah jurusan elektronika di Universitas Brawijawa, Malang, pada tahun 2000, ia dimodali sang ayah untuk membuka usaha. “Saat itu usaha jalan, tapi saya merasa kurang dalam ilmu manajemen,” ujar pria kelahiran Medan, 20 Oktober 1974 ini. Akhirnya, setahun kemudian ia kuliah S-2 jurusan manajemen.

Sambil kuliah dan berwiraswasta, Yopie bekerja sebagai supervisor di perusahaan mebel. “Ternyata menjalankan tiga kesibukan sekaligus tidak mudah,” kata ayah dari Lionel Hutahaean ini. Tahun 2002, usaha komputernya gulung tikar. Sementara itu, kariernya sebagai karyawan stagnan. Dia pun memilih hengkang dari perusahaan mebel pada Januari 2005.

Yopie memutuskan membuka usaha desain produk elektronik pada Maret 2005. Bersama keempat rekan, yaitu Tomi Yahya, Jimmy Handoyo, F. Lado, dan Windiarso, ia membentuk usaha Rekavisitama dengan modal Rp 30 juta, berbasis di Malang. “Tidak semudah yang kami bayangkan, kami berlima hanya memiliki keahlian elektronika tapi tidak memiliki keahlian mengelola perusahaan,” ujar Yopie.


Modal terbatas

Yopie merasa modal yang ada kurang besar sehingga tidak mampu membuat produk secara massal. Dia lantas mencari pinjaman ke bank karena tertarik dengan tawaran iklan kredit tanpa agunan (KTA). Tapi setelah mencari informasi dari satu bank ke bank lain, tak ada satu pun bank yang melayani KTA. “Saya merasa tertipu iklan bank, tak ada kredit tanpa agunan,” katanya.

Modal semakin tergerus, selama setahun lebih tak ada order besar yang masuk. Setahun, Rekavisitama hanya bisa menjual 20 unit produk sistem pembelajaran mikrokontroler seharga Rp 100.000 per unit. “Telepon yang masuk banyak, tapi tak sampai memesan produk,” kenangnya. Ia tidak mendapat gaji selama setahun karena habis untuk operasional.

April 2006, perusahaan mebel tempat Yopie sempat bekerja menawari bergabung kembali dengan tawaran posisi strategis. “Bingung juga, menolak rezeki atau mencoba bersabar,” katanya. Yopie memutuskan menolak tawaran itu. Berkat kesabarannya, pada Juni 2006 ada pesanan laboratorium bahasa di Aceh. Ia pun terbang ke Serambi Mekah.

Kala itu, jasa warung telepon alias wartel masih banyak. Yopie mencoba menghubungi kembali calon klien yang dulu sempat menanyakan produk-produknya melalui wartel di Aceh. “Saya sengaja telepon lewat wartel supaya kode area Aceh muncul di telepon para calon klien yang dulu sempat menghubungi kami agar mereka percaya produk kami mulai digunakan di Aceh,” jelasnya. Benar juga, selang sebulan dari proyek Aceh, klien lain berdatangan. “Proyek dan klien saya tampilkan di website untuk membangun kepercayaan calon klien,” katanya.

Sejak itu, produk unik Rekavisitama semakin banyak dikenal mereka yang butuh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×