kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ayo melahap untung dari tahu


Selasa, 02 September 2014 / 14:07 WIB
Ayo melahap untung dari tahu
ILUSTRASI. Hingga saat ini pemerintah belum mengambil keputusan terkait impor beras tahun ini. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/tom.


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Boleh jadi, tahu dan tempe adalah lauk yang paling akrab di telinga masyarakat. Kedua makanan yang diolah dari kedelai itu punya penggemar dari berbagai kalangan. Hanya, sedikit berbeda, dibandingkan dengan tempe, lebih banyak kreasi masakan ataupun camilan yang dapat dibuat dari tahu.  

Tak heran jika di Indonesia begitu banyak pelaku usaha yang mendirikan pabrik tahu. Meski pemasok tahu sudah banyak, masih saja ada celah untuk meraup keuntungan di usaha pembuatan tahu, kok.

Perkembangan bisnis kuliner, terutama pertumbuhan jumlah restoran jadi peluang. Pasalnya, mayoritas tempat makan itu menyajikan olahan tahu sebagai pelengkap sajian. Selain itu, masyarakat mulai menginginkan produk tahu premium yang dianggap lebih sehat.

Menurut pengusaha tahu asal Malang, Rudik Setiawan, permintaan tahu bisa naik 10% per tahun. Meski tak dipungkiri, usaha pembuatan tahu sangat kompetitif. Hampir di tiap kota selalu terdapat pabrik tahu. “Tapi, peluang usahanya masih ada karena tahu termasuk makanan favorit orang Indonesia,” tutur pemilik Tahu Pelangi ini.  

Hal serupa diungkapkan Ahmad Husein, pemilik pabrik tahu EL di Jakarta Selatan. Ahmad bilang, beberapa tahun belakangan ini, tahu dikreasikan jadi bermacam jenis olahan makanan dan selalu ada inovasi dari makanan ini. “Oleh karena itu, kalau ada yang mau bikin pabrik tahu baru juga masih ada peluangnya,” kata Ahmad yang juga memasok produknya untuk sebuah jaringan waralaba camilan tahu di Ibukota.  

Ahmad sudah memproduksi tahu sejak 1990-an. Ia meneruskan usaha pembuatan tahu milik sang ayah yang sudah dirintis sejak 1970-an. Hingga kini, pabrik tahu EL memproduksi tahu putih dan tahu pong. Ahmad menjualnya di pasaran dengan kisaran harga Rp 22.000– Rp 30.000 per papan tahu. “Tiap papan bisa dipotong-potong menjadi sekitar 100 buah tahu,” ujar Ahmad.

Dalam sehari, pabrik Ahmad memproduksi delapan hingga sembilan kuintal tahu. Adapun pendapatannya dari usaha ini mencapai Rp 2 juta per hari. Ahmad bilang, dari usaha tahu, ia bisa mengantongi laba bersih sekitar 20%.

Rudik, yang memiliki dua pabrik tahu, di Malang, Jawa Timur, dan Bogor, Jawa Barat, juga mengatakan, rata-rata margin keuntungan dari usaha pembuatan tahu mencapai 20%. Namun, lokasi pabrik tahu ikut menentukan besarnya keuntungan yang bisa mengalir ke kantong pengusaha tahu.  “Jika laba pabrik di Malang berkisar 20%, dari pabrik di Bogor kami bisa meraup untung mencapai 40%,” kata pemilik Tahu Pelangi ini. Penyebabnya perbedaan daya beli masyarakat dan jumlah pabrik di suatu kota dengan kota lain.

Untuk membedakan dengan pengusaha pabrik lain, Rudik memproduksi tahu organik. Ia mengklaim dirinya sebagai pelopor tahu organik. “Setahu saya belum ada produsen lain yang juga memproduksi tahu organik,” ucap dia.

Dari segi proses pembuatan, sejatinya, tidak ada perbedaan signifikan antara tahu biasa dengan tahu organik. Hanya saja, untuk membuat tahu organik dibutuhkan waktu cukup lama. Untuk menghasilkan tahu biasa dibutuhkan waktu 45 menit. Sementara, proses pembuatan tahu organik memakan waktu hingga tiga jam.

Selain itu, Rudik menambahkan, tahu organik memiliki kadar air lebih sedikit ketimbang tahu biasa. Jadi, tahu organik pun cocok dijadikan oleh-oleh. “Proses pembuatan memang lebih lama, tapi mutunya lebih bagus dan untungnya pun bisa lebih banyak dibandingkan tahu biasa,” kata dia.

Meski demikian, Rudik mengakui pasar untuk tahu organik belum sebesar tahu anorganik.  Namun, ia optimistis dengan usaha tahu organik,  mengingat tren gaya hidup sehat sedang booming beberapa tahun terakhir.

Untuk menyiasati pasar yang masih kecil, Rudik juga memproduksi tahu semi-organik. “Tahu organik saya jual untuk kelas menengah atas, sementara untuk pedagang-pedagang di pasar masih tertarik beli tahu semi-organik karena lebih murah tapi kualitasnya lebih bagus dibandingkan dengan tahu biasa,” tandas Rudik.

Rudik membanderol harga tahu semi-organik Rp 3.000–Rp 4.000 per potong. Sementara, tahu organik dipasarkan dengan harga Rp 7.000 per potong. Harga tahu organik yang diproduksi di pabrik Bogor bisa lebih mahal, yakni Rp 8.500 per potong.

Dalam sehari, Rudik bisa memproduksi empat kuintal tahu di pabrik Malang dan dua kuintal tahu di pabrik Bogor. “Pabrik yang di Bogor hanya memproduksi tahu organik karena pasar Jabodetabek lebih cocok untuk tahu itu. Jadi meski harganya lebih mahal, penjualannya bisa lebih banyak,” tegas Rudik.

Sejauh ini, Rudik menjual produk Tahu Pelangi, terutama tahu organik, ke berbagai pasar di Malang dan Surabaya. Namun, kata Rudik, Tahu Pelangi juga dipasarkan di beberapa swalayan di Jawa Timur.

Tahun lalu, Rudik mengantongi total omzet Rp 2,7 miliar dari usaha pembuatan tahu. Sementara tahun ini ia menargetkan omzetnya bisa mencapai Rp 3,5 miliar. Anda tertarik menjajal usaha ini?


Pertahankan kualitas

Jumlah penduduk Indonesia yang banyak, membuat pasar produksi tahu sangat luas. Namun tentu saja banyak hal yang harus diperhatikan jika ingin sukses berbisnis tahu. Baik Rudik maupun Ahmad menuturkan bahwa kualitas produk harus jadi prioritas.

“Dunia pemasaran mengenal konsep 4P: product, price, place, dan promotion. Kami di Tahu Pelangi memperkuat di kualitas produk agar pelanggan tetap memesan tahu pada kami,” ucap Rudik. Rata-rata pabrik tahu bisa terus beroperasi dalam kurun lama karena pemiliknya benar-benar menjaga konsistensi akan kualitas.  

Ahmad pun mengamini pendapat Rudik. Tiap pabrik tahu sudah punya pelanggan masing-masing. “Kualitas tahu yang kami produksi selalu konsisten sejak pabrik ini didirikan ayah saya,” kata Ahmad.

Selain itu, pasokan harus mencukupi permintaan agar pelanggan tak kecewa lantas memesan tahu di lain tempat. Makanya, Ahmad jarang sekali meliburkan operasional pabrik. Bahkan pada saat libur Lebaran, pabriknya tetap beroperasi. “Pabrik tahu kan sangat banyak, jadi kalau kami tak beroperasi pelanggan bisa dengan mudah memesan di tempat lain. Tentu saja kami tak mau membiarkan itu terjadi,” ujarnya.  

Ahmad mengatakan, untuk memulai usaha pembuatan tahu, dana yang dikeluarkan tak terlalu besar. Ia memperkirakan modal Rp 200 juta sudah cukup untuk memulai membangun pabrik tahu. Dengan asumsi, lokasi pabrik tahu berdiri di lahan seluas 300 m2, seperti miliknya, dengan status sewa.

Rudik juga menuturkan demikian. Ketika memulai bisnis tahu pada 2001, ia hanya mengeluarkan modal Rp 25 juta. Kebetulan waktu itu ia tak perlu menyewa dan merenovasi tempat. Pasalnya, Rudik punya kenalan yang bersedia bekerjasama dan meminjamkan pabrik seluas 644 m2. Jadi, dia hanya perlu membeli peralatan pabrik yang kebanyakan masih tradisional dan bahan baku awal.  

Sementara, ketika ia membuka pabrik tahu di Bogor pada medio 2013, Rudik merogoh modal Rp 100 juta hanya untuk peralatan. Adapun untuk sewa lahan dan renovasi tempat, biaya yang dikeluarkan mencapai dua kali lipat dari angka itu. Makanya, Rudik butuh waktu enam bulan hingga setahun untuk mencapai break even point (BEP) alias balik modal.  

Untuk bikin tahu, dibutuhkan mesin penggiling kedelai, kompor atau tungku bakar, cetakan tahu, dan ketel uap, serta pompa air. Menurut Rudik, peralatan ini bisa dibeli di dalam negeri. “Kita juga bisa memilih mau beli peralatan tradisional yang terbuat dari kayu atau yang modern dan terbuat dari stainless steel,” kata Rudik.

Cermati harga kedelai

Belanja terbesar dalam pembuatan tahu ialah pembelian kedelai sebagai bahan baku. Rudik dan Ahmad bilang, sekitar 60% dari total pengeluaran ada pada pembelian bahan baku. Sementara, pengeluaran yang tak kalah besar ialah pembayaran gaji karyawan.

Bagi Rudik, karena memproduksi tahu organik, maka dia harus menggunakan kedelai organik. Harga kedelai organik lebih mahal dibandingkan kedelai biasa. Menurut Rudik, perbedaan harga bisa mencapai Rp 5.000 per kg. Dalam sebulan, Rudik menggunakan 12 ton kedelai organik yang ia beli dari pemasok di Jawa Timur.

Adapun, Ahmad menghabiskan delapan hingga sembilan kuintal kedelai per hari. Besarnya pengeluaran untuk membeli bahan baku bisa jadi hambatan bagi para produsen. Pasalnya, harga kedelai cukup fluktuatif. Bahkan harga kedelai sempat melambung setahun hingga dua tahun belakangan ini. Sementara, produsen tahu tak bisa sembarangan menaikkan harga. “Kalau naiknya harga tajam, permintaan bisa turun drastis juga,” kata Ahmad.

Makanya, Rudik punya kebijakan untuk menunggu maksimal selama dua bulan sebelum menaikkan harga tahu. Jika dalam dua bulan, harga bahan baku tak menunjukkan penurunan, Rudik akan melakukan penyesuaian harga.

Memilih tenaga orang ataukah mesin

Selain karena harga yang relatif murah, tahu punya banyak penggemar, karena nilai gizinya yang tinggi. Bahkan pada 1970, tahu menjadi salah satu makanan alternatif daging.  

Karena itu, potensi pengembangan usaha pembuatan tahu dianggap menguntungkan. “Dari segi keuntungan memang tak terlalu besar, tapi bisnis ini stabil. Buktinya usaha tahu ini bisa bertahan puluhan tahun,” ujar Ahmad Husein, pemilik pabrik tahu EL di Jakarta Selatan.

Sayang, harga bahan baku yang fluktuatif memang tak bisa dikendalikan oleh para pengusaha. Namun sebenarnya ada cara agar keuntungan yang diraih lebih tinggi. Rudik Setiawan, pemilik Tahu Pelangi di Malang, menuturkan, pemakaian tenaga mesin untuk mengolah kedelai bisa menjadi cara untuk menghemat biaya. Pasalnya, tenaga mesin ini bisa mengurangi karyawan di bagian produksi, sehingga pengeluaran untuk gaji karyawan pun bisa dipangkas.

Ambil contoh Rudik yang memulai usaha dengan hanya memperkerjakan dua orang karyawan. Kini, setelah 13 tahun, jumlah karyawannya bertambah jadi 16 orang. “Saya tak perlu karyawan terlalu banyak di pabrik karena peralatan yang kami pakai cukup modern,” ujarnya.

Saat ini, Rudik juga tengah merencanakan pembuatan mesin tahu yang lebih sederhana. “Saya ingin semua proses bisa dikomputerisasi dan dikerjakan mesin, jadi saya tinggal pencet, bisa langsung menghasilkan tahu,” tandasnya.

Namun, untuk menggunakan mesin canggih tentu investasi yang dikeluarkan harus lebih besar. Makanya, Ahmad masih mengandalkan tenaga manusia. Peralatan pembuatan tahu di pabriknya masih tergolong tradisional dan digunakan secara manual. “Kalau ada mesin yang terbukti canggih dan ada modal, saya akan gunakan mesin karena salah satu kendala saya adalah menemukan SDM yang terampil,” kata Ahmad.           

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×