kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Generasi penerus sentra tenun pilih pergi ke kota


Rabu, 18 Maret 2015 / 12:27 WIB
Generasi penerus sentra tenun pilih pergi ke kota


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Hendra Gunawan

Kelurahan Watusampu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah terkenal dengan sarung tenunnya. Sayangnya, saat ini jumlah perajin sarung tenun di Watusampu tinggal terisa 20 orang saja. Sebelumnya, sekitar 75% wanita di kelurahan ini bekerja sebagai penenun.

Jaena, salah satu penenun mengaku, kebanyakan wanita di Watusampu beralih profesi dengan menekuni usaha lain, seperti membuka toko. Sementara para remaja putri sudah tak mau lagi bekerja sebagai penenun. Mereka memilih bekerja di toko-toko di daerah perkotaan.

Lilik mengakui, banyak wanita di Watusampu kini beralih profesi. Lilik sendiri masih setia dengan kegiatan menenun. Dia mengaku, sudah berhenti menenun saat menjadi kuliah di salah satu perguruan tinggi di daerah Palu, Sulawesi Tengah. “Saya dulu belajar menenun dari orang tua,” katanya pada KONTAN.

Aktivitas menenun adalah salah satu ketrampilan yang harus dikuasai oleh semua perempuan di daerah ini. Tak heran, sejak kecil wanita di sini sudah diajari menenun.

Saat masih menjadi penenun, dia mampu memproduksi sekitar 24 lembar sarung tenun setiap bulannya. Produksi sebanyak itu dibantu tiga orang karyawan.

Lilik membanderol sarung tenunnya mulai harga Rp 350.000− Rp 900.000 per lembar. Omzet yang diterimanya tidak menentu. Saat sedang ramai pesanan, dia bisa mengantongi omzet hingga belasan juta. Tapi ada juga saat di mana tidak satupun sarungnya laku terjual. “Keuntungannya cukup tipis karena biaya produksi yang cukup mahal,” jelasnya.

Maklum saja, rata-rata upah minimal untuk para penenun sekitar Rp 50.000 per benang. Dalam satu bantal dapat menjadi 17 lembar sarung tenun.

Ada pun harga jual satu bantalnya mencapai Rp 3 juta. Dia mengaku, tidak sulit mendapatkan benang karena sudah ada toko langganan di Palu yang memasok kebutuhan benang.

Sekedar informasi, sebelum adanya bantuan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dari pemerintah, para penenun hanya memakai alat tenun tradisional. Alat ini hanya mampu memproduksi satu lembar kain dalam sebulan.

Sementara saat menggunakan ATBM, rata-rata para perajin dapat menyelesaikan satu lembar sarung tenun dalam waktu tiga hari.

Meski lokasi tampak sepi, bukan berarti para perajin tidak berproduksi. Jaena menceritakan, bila produksi dilakukan setiap hari mulai pukul 10 pagi sampai pukul 5 sore.

Para perajin disana kebanjiran pesanan saat mendekati musim pernikahan. Maklum, sarung tenun ini menjadi baju yang wajib dipakai untuk acara adat atau acara istimewa.

Rata-rata pelanggan memesan sarung tenun dua bulan sebelum acara. Selain masyarakat umum, Jaena banyak mendapat pesanan dari pemerintah setempat. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×