kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Memilin untung yang kian panjang dari pabrik mi


Rabu, 29 Oktober 2014 / 14:22 WIB
Memilin untung yang kian panjang dari pabrik mi
ILUSTRASI. Minat investor lebih tinggi dalam lelang SUN kali ini berkat kondisi pasar global yang cenderung stabil. ANTARA FOTO/Reno Esnir/hp.


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Siapa tak suka mi? Hampir semua orang Indonesia akrab dengan makanan yang satu ini. Mulai dari anak-anak hingga kakek-nenek bisa menjadi penggemar makanan berbahan terigu ini.

Tak heran, gerai kuliner yang menawarkan mi pun terus bermunculan. Beberapa daerah juga memiliki kuliner khas berbahan mi yang menjadi andalan masyarakat di sekitarnya.

Bahkan, mi sering dikonsumsi sebagai pengganti nasi. Jenis mi juga beragam, mulai dari mi instan yang kering hingga mi basah yang sering diolah jadi berbagai macam kuliner.

Lantaran proses pembuatan yang rumit, mi instan biasanya diproduksi oleh perusahaan besar. Berbeda halnya dengan mi basah. Cara pembuatannya lebih gampang dibandingkan dengan mi instan. Mesin yang dibutuhkan pun tak terlalu banyak.

Mi basah kerap diproduksi mulai dari industri rumahan hingga industri berskala besar. Potensi pasarnya sungguh menggiurkan. Dengan populasi masyarakat yang luas, Indonesia jadi ceruk pasar yang menguntungkan bagi pemain yang menggeluti usaha pembuatan mi basah.

Akan tetapi, rivalitas di bisnis ini juga kian kencang. Di Jabodetabek saja, produsen mi basah ada lebih dari 200 orang. “Yang tergabung Paguyuban Pengusaha Mi Jabodetabek mencapai 125 pengusaha. Jadi totalnya menurut perkiraan saya lebih dari 200 orang,” ujar Sakidjan, pemilik Mi Kondang di Jakarta Selatan.

Sakidjan sudah berjualan mi ayam sejak 1975. Tapi saat itu, ia masih membeli bahan baku mi basah dari produsen lain. Gara-gara permintaan semakin banyak, ia memutuskan memproduksi sendiri mi basah sambil tetap menjual mi ayam.

Menurut Sakidjan, pasar mi basah masih sangat luas. Hanya saja, persaingan tak bisa dihindari. Untuk itu, kualitas dan kebersihan mi basah harus sangat diperhatikan. “Selain enak, yang namanya makanan juga harus bersih. Itu yang utama dicari konsumen,” katanya.

Saat ini, Sakidjan menyuplai mi basah untuk 80 pedagang mi ayam di Jabodetabek. Selain itu, ia juga memproduksi mi basah untuk dijual di delapan depot Mi Kondang. “Kami juga melayani katering yang dipesan orang untuk rapat atau acara semacam pernikahan,” ucap dia.

Dalam sehari, Sakidjan bisa memproduksi 12 bal–15 bal mi basah. Satu bal setara dengan 25 kg mi basah. Ia membanderol mi basah buatannya Rp 13.000–Rp 15.000 per kg.

Sakidjan bilang, margin keuntungan usaha pembuatan mi tidak terlalu besar, rata-rata 20%. “Kalau penjualan lagi bagus, laba bersih bisa mencapai 30%,” tuturnya.

Wiyono Gunawan, pemilik pabrik mi di Malang, Jawa Timur, juga mengatakan hal yang sama. Meski laba bersih tak terlalu tinggi, peluang usaha masih ada. “Yang penting produsen harus mampu mengikuti keinginan konsumen atau menciptakan mi dengan spesifikasi tertentu sebagai diferensiasi produk,” terang pria berusia 42 tahun ini.

Usaha mi bernama Mi Gloria yang digawangi Wiyono sudah dimulai sejak 1971 oleh sang ayah. Saat ini, Wiyono meneruskan dengan tak hanya memproduksi mi di pabrik, tapi juga membuka outlet penjualan mi, serta depot cui mi di Malang bersama keluarganya.

Wiyono bilang, tiap tahun terjadi peningkatan kapasitas produksi di pabriknya. Seiring dengan penambahan rumahmakan yang menjual mi serta wisatawan domestik di Malang, kenaikan kapasitas produksi mencapai sekitar 7%–10%.

Untuk menghadapi persaingan, Wiyono punya jurus ampuh. Ia menerima orderan mi yang benar-benar sesuai keinginan pelanggan. Misalnya saja ada pelanggan yang ingin mi dibuat dengan telur atau tanpa telur. Semua diturutinya. Konsekuensinya, karyawan tambah repot sedikit untuk memenuhi keinginan pelanggan yang berbeda-beda.

Jurus ini yang jadi salah satu kunci keberhasilan Mi Gloria. Selain itu, Wiyono mengaku ia selalu menggunakan bahan baku terbaik, salah satunya tepung berprotein tinggi. Akan tetapi, jika mau mi basah sesuai orderan, pelanggan tak bisa minta keringanan harga. “Saya  tak mau perang harga tapi kalau soal kualitas dan rasa, kami mau menuruti keinginan pelanggan,” tandas dia.

Hingga kini, Mi Gloria memasok mi basah untuk puluhan pedagang mi gerobak, depot, restoran, hotel, dan katering di Malang, Surabaya dan Kediri. Kapasitas produksi Mi Gloria per hari lebih dari 300 kg. Harga jual mi basah produksi Wiyono berkisar Rp 10.000–Rp 17.500 per kg. Sama seperti Sakidjan, Wiyono juga mengatakan laba bersih dari usaha pembuatan mi sekitar 20%.

Sebagai salah satu produsen mi basah tertua di Malang, Mi Gloria selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan pelanggan. Wiyono tak segan-segan mendatangi penjual mi di pasar agar mau dititipi mi basah. Makanya, kebanyakan pelanggannya merupakan pelanggan lama. “Ini masih jadi cara pemasaran yang efektif dengan pelanggan,” kata dia.


Tempat usaha dan mesin

Anda tertarik menjajal usaha ini? Untuk merintis usaha pembuatan mi basah, setidaknya ada dua hal yang wajib disiapkan. Pertama, tempat pabrik pembuatan mi basah. Menurut Sakidjan, produksi mi basah bisa dilakukan secara home industry. Makanya, dulu ia menggunakan rumahnya sendiri sebagai tempat produksi.

“Ruangan tak butuh yang terlalu besar, yang penting bersih,” tegas Sakidjan. Selain untuk produksi, pabrik ini dibutuhkan untuk menyimpan bahan baku serta gudang penyimpanan sementara mi basah yang sudah selesai dibuat.

Bagi Wiyono, tempat harus jadi hal pertama yang diperhatikan ketika memulai bisnis pembuatan mi basah. Sebaiknya, usahakan lokasinya berada di tengah kota agar mudah dijangkau. Pasalnya, kebanyakan pedagang mi basah berada di tengah kota. “Kalau saya bikin pabrik di pinggiran, orang akan susah mencapai pabrik, sementara mereka butuh mi yang segar jadi tak boleh terlalu lama di perjalanan,” jelas dia.

Untuk itu, Wiyono bilang investasi terbesar dalam usaha ini ialah biaya sewa atau pembelian pabrik. Saat ini, Mi Gloria punya pabrik seluas 300 meter persegi di Malang. “Besarnya investasi bergantung pada lokasi pabrik karena ini butuh investasi besar,” ujar Wiyono.

Ia menambahkan, kalau sudah memiliki tempat produksi, hal kedua yang harus disiapkan ialah mesin. Saat ini, telah tersedia set mesin pembuatan mi yang terdiri dari mesin pengaduk adonan (mixer), mesin rolling untuk membentuk mi, serta mesin pemotong mi. Harganya belasan juta rupiah hingga puluhan juta rupiah.

Baik Sakidjan maupun Wiyono memilih untuk memesan mesin agar sesuai dengan kebutuhan produksi. Mesin pembuat mi milik Sakidjan diorder pada tukang bubut. Harganya beragam. Untuk mixer, Sakidjan bilang harganya berkisar Rp 20 juta–Rp 24 juta. Sementara mesin pres sekitar Rp 18 juta–Rp 26 juta, serta mesin potong Rp 17 juta.  “Modal yang paling banyak saya keluarkan saat memulai bisnis ini ialah untuk membeli mesin,” kata Sakidjan.

Wiyono pun demikian. Apalagi mesin yang dimiliki pabrik Mi Gloria cukup banyak. Mi Gloria memiliki dua mesin pengaduk adonan, 10 mesin rolling serta empat mesin potong.

Menurut Wiyono, mesin pembuat mi ini memang tak boleh hanya satu buah alias harus ada cadangan. Pasalnya, hampir 100% proses pembuatan mi dikerjakan oleh mesin. Di sisi lain, produksi mi basah harus dilakukan tiap hari untuk menjaga kesegaran. Saking banyaknya pesanan, Wiyono tidak pernah meliburkan pabriknya lebih dari dua hari. “Saya harus memastikan proses produksi berjalan lancar. Salah satunya dengan cara menyediakan mesin serep sebagai pengganti mesin yang rusak,” terang dia.  

Pemilik pabrik mi juga tidak boleh abai dalam merawat mesin. Setidaknya tiap bulan, mesin dirawat dan dicek agar terus bisa beroperasi.

Wiyono bilang, awalnya Mi Gloria dibuat menggunakan tenaga manusia sebagai penggerak mesin. Namun, sekarang, tenaga manusia sudah tak terlalu diperlukan. Karyawan dibutuhkan untuk pemasaran di gerai, mengawasi pabrik, dan mengangkut tepung. Sementara, Sakidjan memiliki 30 orang karyawan. “Kebanyakan mereka berjualan di depot mi, bukan bagian produksi,” ucap dia.

Setelah tempat dan mesin tersedia, barulah bisa masuk proses produksi. Prinsip pembuatan mi basah sebenarnya hampir sama dengan pembuatan mi lainnya. Hanya saja, untuk mi basah ditambahkan bahan garam alkali.

Garam ini berguna untuk meningkatkan daya awet mi. Pasalnya, mi basah memiliki kadar air yang tinggi, sekitar 50%–60%. Jadi, mi basah tidak bisa bertahan lama, beda dengan mi instan. “Produk kami tanpa pengawet jadi bisa bertahan paling lama tiga hari,” kata Wiyono.

Wiyono mengatakan, pembuatan mi basah cukup mudah. Ada empat tahap yang dilewati, yakni pembuatan adonan, pemampatan adonan jadi lembaran, penipisan lembaran, serta pemotongan lembaran menjadi mi. Dari keempat tahap itu, yang paling sulit ialah penipisan mi sehingga bisa sesuai dengan keinginan pembeli. “Kadang-kadang setelah ditipiskan, hasilnya bisa meleset beberapa millimeter dari seharusnya,” kata Wiyono.

Untuk membuat mi, bahan baku utama ialah tepung terigu. Sisanya ialah telur, air, dan garam. Sakidjan bilang, satu bal tepung terigu bisa menghasilkan sekitar 30 kg mi basah. “Hasilnya jadi lebih berat karena ada penambahan air,” ujarnya. Sementara, menurut takaran Wiyono, tiap 1 kg tepung terigu bisa menghasilkan 1,2 kg mi basah.

Belanja bahan baku diakui oleh Sakidjan dan Wiyono jadi biaya terbesar dalam pengeluaran bulanan mereka. Dalam sebulan, bahan baku bisa mencaplok 70% dari total pengeluaran per bulan. Kemudian disusul pembayaran gaji karyawan dan biaya operasional.    

Jual mi olahan sebagai bukti kualitas

Ciri-ciri mi basah yang berkualitas adalah kenyal dan tidak gampang putus. Dua tanda itu yang diharapkan pelanggan ketika membeli mi basah.

Namun, ternyata memproduksi mi basah berkualitas saja tak cukup. Para produsen mi basah juga terjun menjual mi olahan, seperti membuka kedai mi ayam. Ini dilakukan untuk membuktikan mi buatan mereka memang enak dan diterima masyarakat.

“Sebelum mulai produksi, buktikan dulu kalau bisa berhasil jualan mi olahan. Itu yang banyak produsen mi basah jalankan seperti saya,” kata Sakidjan, pemilik Mi Kondang. Di samping itu, jika sedang sepi orderan dari pedagang mi lain, setidaknya produksi tetap berjalan untuk dijual di depot mi sendiri.

Hal itu disetujui oleh Wiyono Gunawan, Direktur Mi Gloria di Malang, Jawa Timur. “Dulu ayah saya juga punya depot bakmi. Dari situ orang-orang tahu bahwa dia juga ternyata menjual mi mentah, jadi banyak yang pesan,” ujar dia.

Dulu, pemasaran dilakukan dengan menitipkan sebagian besar  produk di pasar basah. Jadi tidak semua pelanggan datang ke pabrik. Pada 1999, Wiyono meneruskan bisnis mi dari sang ayah. Lalu, pada 2014, ia membuka outlet mi dengan menjual mi basah dalam kemasan secara eceran.

Namun, Wiyono menambahkan, jika tak berjualan mi olahan pun, usaha pembuatan mi basah tetap jalan. Kunci utama terletak pada kemampuan produsen untuk menerima diferensiasi produk. Pasalnya, kebanyakan produsen tak mau memenuhi orderan mi yang khusus karena merepotkan.

Wiyono bilang, di Malang banyak pemain besar yang hanya memproduksi mi basah tanpa menjual mi olahan. Akan tetapi, mereka merupakan pemain lama yang sudah punya nama sehingga orang-orang sudah percaya.

Adapun pemain baru, kalau tak melakukan diferensiasi produk, paling-paling banting harga. Sementara, harga tepung sangat fluktuatif. “Kalau harga tepung naik, harga mi tak bisa langsung dinaikkan. Jadi harus pintar-pintar menjual,” jelas dia.          

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×