Reporter: Dharmesta | Editor: Tri Adi
Bahan baku sisa dari kerajinan bambu biasanya dibiarkan begitu saja. Padahal, bila diolah menjadi arang, bambu buangan itu punya harga jual menggiurkan. Selain bisa menghasilkan arang untuk bahan bakar serta bahan menjernihkan air, asap dari proses pembakaran juga bisa menghasilkan cuka arang dengan harga sekitar Rp 100.000 per liter.
Dengan tekstur yang indah dan warna yang natural, kerajinan bambu banyak disukai konsumen lokal maupun manca negara. Dengan pasar yang mengembang, banyak pebisnis yang kemudian terjun dalam bisnis pengolahan bambu.
Dampaknya, limbah bambu berlimpah ruah. Seperti di Sleman, Yogyakarta. Jamak, di sekeliling rumah warga berserakan limbah dari perajin bambu.
Adalah Omah Arang yang mengolah limbah bambu menjadi barang berdaya guna sejak Mei 2009. Selain untuk memasak, arang dari bambu juga bisa berfungsi untuk menghilangkan bau tak sedap dalam almari pakaian, hingga berfungsi untuk menjernihkan air dan minyak.
Hidayat, sekretaris sekaligus tenaga pemasaran Omah Arang bercerita bahwa awalnya sekelompok warga Sleman mendapat pelatihan dari lembaga swadaya masyarakat untuk membuat arang dari sampah bambu.
Pascapelatihan, sebagian warga memang membuat arang sebagai bahan bakar memasak. "Teorinya memang bisa dijual. Tapi, warga tak tahu siapa pembelinya," ujar Hidayat bercerita. Dari kebutuhan pemasaran, Omah Arang lantas berdiri untuk mencari pasar arang.
Meski awalnya harus bersusah payah, peminat arang dari bambu kini terus bertambah. Tak hanya datang dari Yogyakarta tapi juga sudah merambah ke Surabaya hingga Jakarta. Biasanya, Omah Arang menjual ke pedagang grosir.
Dengan merek arang ajaib, Omah Arang menjual arang seharga Rp 50.000 per kilogram (kg). Satu kilogram arang berisi 85 keping arang dengan panjang 10 cm dan lebar 5 cm. Omah Arang juga menjual arang dalam keranjang. Satu keranjang dijual Rp 15.000.
Terbilang mahal memang. Namun Hidayat menjelaskan, kalau sebagai bahan bakar arang dari bambu terbilang awet. Sekeping arang bisa dipakai memasak selama satu bulan. Kelebihan lainnya, arang ini tak membahayakan kesehatan. Omah Arang sudah mengujinya di laboratorium Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. "Jadi, konsumen tidak usah takut," ujarnya.
Omah Arang mengaku tak menemui kesulitan bahan baku karena mendapat pasokan dari anggota Omah Arang yang kebanyakan perajin bambu. Omah Arang membeli limbah bambu seharga Rp 70 untuk sepotong bambu dengan ukuran 10,5 cm dan 5,5 cm. "Pembeliannya per potong karena nantinya berat bambu akan menyusut setelah menjadi arang" terang Hidayat.
Untuk proses pembuatan arang, bambu harus dalam kondisi kering. Ini penting agar proses pembakaran hemat waktu. Bambu yang sudah kering itu lantas dikumpulkan dalam tungku pembakaran yang mampu menampung 2.000 potong bambu untuk dibakar.
"Suhu pembakaran minimal 150 derajat dengan waktu minimal 10 jam," ujar Hidayat. Semakin tinggi dan lama pembakaran akan menghasilkan arang dengan kualitas bagus yang ditandai dengan pori-pori yang terbuka lebar.
Memiliki dua tungku, Omah Arang memroduksi 4.000 potong bambu dalam setiap produksinya. Dari bahan baku sebesar itu, arang yang bisa dihasilkan hanya 20 kg sampai 25 kg.
Namun, Omah Arang bisa menambah penghasilan dari penjualan cuka arang yang didapat dari asap selama proses pembakaran. Cuka arang ini biasanya dipakai untuk mengawetkan mebel kayu. "Satu liter cuka arang, biasanya kita jual Rp 100.000," ujar Hidayat. Sekali pembakaran bisa menghasilkan 5 liter sampai 10 liter cuka arang.
Setelah pembakaran selesai, arang harus didinginkan selama 4 jam dalam tungku pembakaran. Kemudian arang harus dibilas air untuk membersihkan kotoran yang menempel. Dengan teknik pengipasan selama 1 jam, arang kemudian dikeringkan. "Pengeringan tak boleh dengan sinar matahari karena perubahan suhu ekstrem dari dingin ke panas akan membuat arang retak," ujar Hidayat.
Dengan dua tungku dan pembakaran delapan kali selama seminggu, dalam satu bulan, Omah Arang bisa menjual 500 kg. Omzet yang didapat berkisar Rp 25 juta. Adapun dari cuka sebanyak 80 liter sampai 160 liter bisa menambah penghasilan Rp 8 juta sampai Rp 16 juta. "Kami berharap dalam waktu dekat bisa mendongkrak kapasitas produksi tiga sampai empat kali lipat," ujar Hidayat.
Pemain lain adalah Purwo Ardiyatno. Bekerja sama dengan temannya, Purwo membuat arang bambu di Bantul sejak tahun lalu. Prospek yang bagus yang membuatnya tertarik mem buat arang bambu.
Saat ini, arang buatan Purwo dijual Rp 5000 per bungkus. Satu bungkus berisi dua keping arang dengan panjang 8 cm dan lebar 5 cm.
Selain dijual ke pedagang grosir di Yogyajarta, Purwo juga menjual ke Jakarta. Lantaran baru setahun, dalam sebulan, Purwo baru menjual sebanyak 500 bungkus dengan omzet Rp 2,5 juta. Ia juga belum memiliki teknologi seperti Omah Arang yang sanggup menyuling asap menjadi cuka.
Meski pasar sudah mulai tampak, Purwo menilai kalau belum banyak orang yang tahu kegunaan arang bambu. Selain untuk bahan bakar, arang juga bisa untuk menjernihkan air.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News