Reporter: J. Ani Kristanti, Marantina | Editor: Tri Adi
Gairah usaha kuliner seakan tidak pernah meredup. Kendati rentan terhadap perkembangan sebuah tren, asal jeli melihat peluang, kreatif dan unik, sukses pun dapat direngkuh.
Tidak cuma makanan berat yang bisa mendatangkan kesuksesan di bisnis kuliner. Anda juga bisa menyuguhkan kreasi makanan ringan. Ambil contoh, sajian dessert atau makanan pencuci mulut yang biasanya mengakhiri sebuah jamuan makan. Dengan pengemasan yang menarik, Anda bisa mengecap gurihnya bisnis kuliner yang menawarkan aneka dessert ini.
Tengok saja, SumoBoo, dessert house yang terletak di Bukit Golf Mediterania, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, ini. Setiap hari, kafe yang menawarkan aneka dessert ala Jepang ini selalu ramai pengunjung. “Bahkan, beberapa pengunjung pun rela menunggu hingga satu jam di pintu masuk agar mendapat giliran menikmati sajian dessert Sumuboo,” kata Irene Tjahjadi, salah satu owner SumoBoo.
Tak berbeda jauh, Ricky Rustandy juga mencecap manisnya bisnis kafe dessert ini lewat Hong Tang. Dia yang memulai bisnisnya pada Januari 2012, bahkan tak menyangka, bisnisnya akan sukses seperti sekarang. “Awalnya, visi saya adalah menciptakan dessert yang sehat,” ujar lulusan Manajeman Perhotelan Universitas Pelita Harapan ini.
Sementara itu, bagi Irene, ketertarikan membuka kafe dessert berawal dari kunjungannya ke Jepang, Juli 2013 lalu. Kebetulan, ia menyambangi Negeri Sakura itu saat musim panas, sehingga es serut khas Jepang, yakni kakigori, sedang ramai. Dari situlah, dia berpikir mengadopsi minuman tersebut untuk dipasarkan di Indonesia, khususnya Jakarta yang memang panas.
Lantas, baru pada 14 Desember 2013 lalu, SumoBoo berdiri. Namun, sampai sekarang Sumoboo belum grand launching karena belum semua menu yang ada di daftar menu sudah tersaji. Baru sekitar 80% menu yang bisa disajikan ke konsumen.
Variasi dessert yang disedikana SumoBoo mulai dari dessert ala Jepang, kakigori, grass jelly, snow ice, mixed pudding, coconut soup, parfait, ice cream, hingga mochi. Rentang harga yang dipasang berkisar Rp 29.000–Rp 50.000 per porsi.
Irene mengaku memang tidak semua menu yang disajikan SumoBoo merupakan dessert. SumoBoo juga menghidangkan menu utama seperti ramen, serta minuman segar lain. Akan tetapi, sekitar 50% menu SumoBoo diisi dengan sajian pencuci mulut. “Kami ingin menunya lengkap, sehingga konsumen bisa memilih makan atau minum, bukan hanya menikmati dessert,” ucapnya.
Meski baru beroperasi selama empat bulan, SumoBoo mampu menarik perhatian penikmat kuliner. Dalam sehari, konsumen yang datang mencapai 300 orang. Jumlah pengunjung bisa meningkat hingga dua kali lipat sepanjang akhir pekan. Jadi, jangan heran apabila melihat antrean pengunjung, yang harus menunggu sekitar 5 menit–30 menit untuk menikmati sajian SumoBoo.
Dengan pengunjung yang selalu ramai, tak heran, Irene bisa mengantongi omzet antara Rp 300 juta–Rp 500 juta saban bulan. Berkaca dari ramainya pengunjung ini pula, Irene pun berencana menambah gerai baru. Bulan depan, SumoBoo akan membuka cabangnya di Mall Taman Anggrek. Selain itu, Irene dan rekannya juga akan membuka gerai di Sunter dan Grand Indonesia.
Tak berbeda jauh, Ricky pun bisa menikmati omzet hingga Rp 200 juta dari tiap gerai. Banderol harga tiap menu di Hong Tang berkisar Rp 30.000 hingga Rp 80.000. Beragam menu Hong Tang seperti smash ice (es serut), grass jelly, qball (semacam biji salak), ice pudding, dan es krim matcha. Dari berbagai menu itu, konsumen juga bisa memilih topping, seperti kacang hijau, kacang merah, mutiara, dan moci.
Melihat bisnis yang segar ini, Ricky gencar berekspansi. Tahun lalu, Hong Tang, yang menyajikan dessert gaya oriental ini, membuka empat gerai baru di Pantai Indah Kapuk, Central Park, Summarecon Mal Serpong dan Baywalk Mall. Untuk tahun 2014 ini, Ricky sudah mengincar empat lokasi baru.
Dari rencana Irene dan Ricky, peluang bisnis kafe dessert terlihat masih terbuka lebar. Maklum, kebiasaan mengudap dessert seperti ini, sejatinya telah lama berkembang dalam masyarakat kita. Sebagai bisnis, kafe jenis ini juga cukup gurih. Untungnya bisa lebih dari 50%.
Bahan impor
Memulai bisnis ini jelas dibutuhkan pengetahuan akan dunia kuliner, untuk menciptakan sajian yang benar-benar nikmat dan unik, baik dari segi rasa maupun penampilan. Dengan latar belakang pendidikannya, Ricky memiliki keterampilan untuk berkreasi dengan produk food and beverage. Namun, untuk menggali keunikan sajian dessert di gerainya, dia juga belajar secara khusus di Taiwan.
Sebaliknya, jika Anda tak menguasai keterampilan atau pendidikan kuliner, jangan menjadi halangan. Lihat saja Irene. Untuk membuka SumoBoo, dia bekerjasama dengan koki di Jepang. Sang koki inilah yang membantunya memilih menu yang cocok untuk disuguhkan di SumoBoo.
Ia juga merekrut Felix Tjahjadi sebagai konseptor untuk menu SumoBoo. Makanya jika memesan dessert di Sumoboo, Anda bisa melihat tampilan dessert yang unik. Misalnya saja es serut dihias sehingga tampak bak boneka beruang. “Kami sengaja meng-hire konseptor yang cukup terkenal karena ingin menonjolkan dessert yang tidak hanya enak tapi juga unik,” kata Irene. Dia bilang, Felix sebelumnya jadi desainer untuk Harvest Patisserie dan Miniapolis Plaza Indonesia.
Asal tahu saja, Irene memang bukan pemain baru dalam bisnis food and beverage. Sebelumnya, bersama sejumlah partner, dia pernah berkecimpung dalam usaha kuliner dengan mendirikan Ikkudo Ramen dan warung citarasa nusantara Tekko. “Kami memang punya passion di sini,” tutur Irene.
Modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha ini pun beragam. Selain tergantung pada pilihan menu dan lokasi, besar modal juga sangat tergantung pada konsep eksterior dan interior yang ingin Anda tampilkan untuk gerai.
Irene mengaku merogoh modal hingga Rp 1 miliar untuk merintis bisnis kafe dessert ini. Perempuan berusia 29 tahun itu menggunakan modalnya untuk menyewa dan merenovasi ruko. Maklum, dia memang tak main-main dalam mengolah eksterior maupun interior gerainya. “Saya ingin gerai ini terlihat menonjol untuk membuat orang penasaran,” jelas dia.
Sesuai dengan sajian yang ditampilkan, gaya eksterior dan interior yang ditampilkan benar-benar segar dan hidup. Irene memakai warna-warna cerah, kaca transparan yang dipadukan dengan ornamen khas Jepang yang mencolok dan mengundang rasa penasaran mereka yang melihatnya.
Sementara itu, Ricky menghadirkan suasana interior yang senyaman dan sehangat rumah tinggal untuk memikat pengunjung. Karena memakai ruko milik orang tuanya, modal yang dikeluarkan Ricky tidak sampai Rp 200 juta.
Pengolahan berbagai sajian untuk kafe dessert ini dilakukan sendiri oleh masing-masing pengusaha di dapur mereka. Ambil contoh, moci, es krim, puding, dan taro. Cara ini, menurut Irene, akan membuatnya lebih mudah menjaga konsistensi rasa.
Akan tetapi, ada beberapa bahan yang masih harus diimpor dari negara asalnya, yakni Jepang dan Taiwan. Sekitar 50% bahan baku seperti tepung dan grace jelly merupakan bahan impor. “Ada beberapa yang
tidak ada di Indonesia dan, kalaupun ada, kualitasnya bukan yang premium. Jadi kurang cocok,” tandas dia.
Ricky pun masih mengimpor hingga 90% bahan bakunya dari Taiwan. Bahan tersebut lantas dia olah sendiri bersama timnya di dapur produksi mereka di Cengkareng, Jawa Barat.
Satu pendapat dengan Irene, menurut Ricky, pengolahan bahan baku dilakukan sendiri agar ia bisa menciptakan kualitas dessert yang maksimal. Ia menjamin Hong Tang sama sekali tidak menggunakan bahan baku instan pada sajiannya. Hanya satu bahan yang tidak diolah, alias beli jadi, yakni bubble atau bola-bola tapioka.
Bahan lain seperti es krim, biji salak, puding, kacang merah, es serut diolah sendiri. Setelah diproduksi di dapur, bahan tersebut didistribusikan ke gerai Hong Tang. Jadi, di gerai, karyawan tinggal menyajikan.
Sampai sekarang, Ricky masih turun tangan untuk bagian produksi, termasuk memasok bahan dan mengukur takaran bahan baku. Tujuan utama ialah menjaga konsistensi rasa. Ia percaya, apabila tangan yang memproduksi berbeda, maka rasanya akan beda pula.
Agar bisa dikonsumsi semua umur, ia mematok takaran manis untuk tiap menu Hong Tang sebesar 20%. Dengan takaran itu, dessert Hong Tang cukup manis dan aman dikonsumsi.
Selain itu, mereka juga mengutamakan kesegaran bahan baku. Apalagi, kebanyakan dessert di Hong Tang dan Sumoboo disajikan dingin jadi harus segar. Pembelian produk dan persiapan dilakukan tiap pagi. Semua bahan dibeli segar dari supplier dan langsung diolah.
Inovasi menu juga menjadi faktor yang penting dalam bisnis dessert. Untuk itu, Ricky selalu mengevaluasi menu yang ditawarkan Hong Tang setiap enam bulan. Menu yang kurang diminati, akan dihapus dari daftar menu. Tak lupa, ia juga menambah menu baru sebagai penggantinya. “Selama ini sih belum ada menu yang dihapus karena masih banyak yang pesan walau menu kami lebih dari 300 varian,” ucap dia.
Fokus pada rasa
Bisnis kuliner memang tidak ada matinya. Asal bisa berkreasi dengan menu yang unik, konsumen pasti tidak segan-segan mencicipi bahkan jadi langganan. Tengok saja bisnis kafe dessert Hong Tang dan SumoBoo.
Sejak beroperasi, baik pemilik Hong Tang maupun Sumoboo mengaku tidak pernah melakukan promosi besar-besaran. Ricky Rustandy, owner Hong Tang, menuturkan, dulu, saat pertama kali membuka gerainya pada Januari 2012, dia pernah memberlakukan promosi diskon. Namun, seiring dengan semakin ramainya pengunjung yang menyambangi gerai Hong Tang, dia menilai, promosi itu tak diperlukan lagi.
Bahkan Irene Tjahjadi, pemilik SumoBoo, mengatakan, dia sama sekali tidak pernah berpromosi. Pemasaran gethok tular-lah yang jadi kunci kesuksesan bisnis dessert ini pada awalnya. “Pertama-tama, mereka suka dengan rasa dessert kami dan memberi tahu yang lain sehingga semakin banyak yang ingin kenal dan datang ke SumoBoo. Selalu seperti itu karena saya tidak pernah pasang iklan,” tutur dia.
Namun, kedua pemain ini tak memungkiri adanya peran yang besar dari media sosial. Media yang dilengkapi dengan jejaring sosial ini seperti menjadi saluran pemasaran yang cukup ampuh bagi Hong Tang maupun SumoBoo. Ricky dan Irene pun mengakui bahwa mereka memiliki akun di beberapa jejaring sosial, untuk menciptakan brand awareness usahanya.
Lantas, apa lagi yang bisa mendongkrak bisnis ini untuk segera meraih sukses? Irene maupun Ricky pun menegaskan bahwa konsistensi rasa harus menjadi perhatian utama. Pasalnya, mayoritas konsumen mereka sudah jadi langganan.
Jadi, kalau ada rasa yang berubah, konsumen pasti segera menyadarinya dan dengan kritis mereka akan komplain. “Karena itu, untuk menghindari komplain, kalau ada bahan baku yang habis, lebih baik tidak disajikan dulu meski ada yang pesan daripada konsumen kecewa,” papar Irene.
Untuk menjaga kualitas pula, meski sudah memiliki manager atau supervisor di tiap-tiap gerai, Ricky bersama owner lain masih rutin mengontrol semua gerai. Pengawasan ini dilakukan tiap hari dengan menyambangi tiap gerai. Akan tetapi kalau tidak sempat, Ricky mengontrol operasional lewat CCTV di gerai yang dihubungkan ke gadgetnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News