kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bagi Fito, selalu ada kompromi antara desain dan uang


Rabu, 02 Februari 2011 / 17:04 WIB
Bagi Fito, selalu ada kompromi antara desain dan uang
ILUSTRASI. Pertamina terus berupaya padamkan api di kilang RU V Balikpapan


Reporter: Mona Tobing | Editor: Tri Adi

Sebuah karya seni tak harus bernilai mahal. Fitorio Leksono berprinsip, setiap karya seni harus bisa memberi manfaat sebesarnya bagi banyak orang. Berbekal prinsip itulah, ia berhasil menyabet bermacam penghargaan skala lokal dan internasional. Dia pun punya mimpi mendirikan sekolah desain dan mengubahcitra sandal jepit melalui desain.

Harga mahal tentu tidak relevan, jika setiap orang tak bisa mendapatkannya. Sebaliknya, dengan harga yang terjangkau, suatu karya seni bisa menjamah banyak orang. Artinya, makin banyak lagi orang yang bisa menikmati karya seni.

Bagi Fitorio Leksono, desainer keramik Jenggala di Bali, uang memang sangat penting. Makanya, nilai uang pula yang terkadang menjadi tantangan terbesar seorang kreator saat menciptakan karya seni.

Namun, lanjutnya, uang juga menjadi kendala bagi tenaga kreatif dan manufaktur. "Seringkali, tenaga kreatif mematok harga royalti yang tinggi atas hasil karyanya. Adapun manufaktur lebih berorientasi pada pasar, apakah desain produk tertentu ini akan terserap pasar atau tidak," ucap pria yang pernah merancang furnitur Nikko Hotel di Jakarta dan empat hotel lainnya di Bali.

Inilah yang seringkali mengakibatkan komunikasi antara manufaktur dan kalangan tenaga kreatif kurang mesra. "Padahal, semua itu bisa dikompromikan," kata Fitorio.

Nah, sebagai solusi, Fito, panggilan Fitorio, memberi pilihan pembayaran untuk kliennya. Misalnya, dengan sistem royalti limited item atau pembayaran tiap desain yang terjual di pasar. "Besarannya kami tetapkan bersama-sama," ujarnya.

Pria yang mempunyai prinsip setiap karyanya bisa memberi manfaat sebesar-besarnya pada orang banyak ini selalu punya cara unik untuk mengatasi persoalan tersebut. "Kami duduk bareng, untuk tidak bicara soal uang tapi juga visi dan misi. Jika kita punya visi dan misi sama untuk kebaikan ekonomi Indonesia, maka akan lebih cepat mencapai deal-nya," terang Fito.

Manufaktur yang menjual produk ke pasar bertekad membantu perekonomian Indonesia, sedangkan dirinya sebagai desainer produk berkeinginan memperbaharui dan membuat desain Indonesia lebih baik. "Pada dasarnya saya menilai, desain mass product harus lebih murah harganya. Meski harganya murah, kualitas tak boleh murahan," ujar Fito.

Sayang, Fito enggan menyebut pendapatannya. Namun, ia menerapkan sistem royalti sebesar 5% hingga 10% untuk hasil desain produk yang terjual.

Pria yang bercita-cita mendirikan sebuah sekolah desain ini mengurai persoalan yang dihadapi para tenaga kreatif di Indonesia lainnya. Walau peminat profesi desain makin banyak, dukungan yang mereka terima tidak terlalu besar. "Apresiasi dari pemerintah terbilang rendah. Ini bisa dilihat dari tidak banyaknya pameran-pameran desain," tuturnya.

Selain itu, jalinan komunikasi yang kurang mesra antara tenaga kreatif dengan pelaku industri juga terjadi dengan media massa. "Industri desain seperti berdiri sendiri. Kurangnya keterbukaan dengan media massa juga membuat membuat karya pekerja kreatif ini terkadang tak seharum dengan profesi lain," ungkap alumnus Jurusan Desain Industri dari ITB itu.

Karya-karya Fito berhasil menyabet penghargaan berskala lokal maupun internasional. Karya terakhir yang mendapatkan penghargaan adalah Smile Tool, kursi dengan desain yang unik. Ia berhasil membawa pulang Piala Dewi, kompetisi yang diadakan oleh Dewi Furniture Magazine di 2010.

Kemudian untuk skala internasional, ia berhasil masuk kategori Most Voted at 5th Position on People Design Award 2010 di Cooper Hewitt, National Design Museum, New York, Amerika Serikat lewat Smile Tool dan Guz Lampu.

Meski terbiasa mendesain produk, furnitur, kerajinan, lampu, dan aneka perabot rumahtangga lainnya, Fito punya proyek desain jangka panjang. Ia berharap suatu saat nanti bisa menggandeng manufaktur untuk mendesain sandal jepit.

Sambil tertawa, Fito menjelaskan keinginannya untuk mendesain sandal jepit lantaran banyak orang Indonesia suka memakai alas kaki ini di segala aktivitas mereka. "Saya ingin mengubah citra sandal jepit yang terkesan murah dan kurang sopan itu dengan desain yang menawan," tutur pria yang hobi traveling ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×