Reporter: Bambang Rakhmanto | Editor: Tri Adi
Kerinduan akan kampung halaman membuat Bambang Sugoro rela melepas karier di salah satu perusahaan asing di Jakarta. Ia pulang kampung dan menjabat sebagai kepala desa di Desa Gemawang, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Di sinilah ia mengajak warga membatik dengan pewarna alami dari tanaman indigo.
Kerinduan akan kampung halaman membuat Bambang Sugoro rela melepas karier di salah satu perusahaan asing di Jakarta. Ia pulang kampung dan menjabat sebagai kepala desa di Desa Gemawang, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Di sinilah ia mengajak warga membatik dengan pewarna alami dari tanaman indigo. Rindu akan kampung halaman membuat Bambang Sugoro rela meninggalkan pekerjaan di bidang human resource development (HRD) di salah satu perusahaan kimia di Jakarta. Ia memutuskan pulang kampung dan memilih meninggalkan hiruk-pikuk Ibukota.
Bambang pun kini menetap di Desa Gemawang, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, tepatnya sejak 2000 silam. Agar tidak menganggur, Bambang bekerja sebagai HRD di salah satu hotel swasta yang ada di Semarang.
Tapi, pada 2002, pekerjaan sebagai HRD ia tinggalkan. Sebab, saat itu ia didaulat menjadi Kepala Desa Gemawang. Hingga kini, ia sudah menjabat untuk kedua kalinya.
Saat memulai jabatan sebagai kepala desa itulah Bambang mencari ide untuk meningkatkan kesejahteraan warganya yang mayoritas adalah petani.
Berbekal pengalaman bekerja pada perusahaan asing, membuat Bambang berpikir kreatif. Ia melirik potensi tanaman indigo (Indigofera tinctoria) yang banyak tumbuh di Gemawang. Tanaman indigo bisa diolah menjadi sumber pewarna alami dengan menghasilkan warna biru yang banyak digunakan membatik gambar alam.
Bambang pun kemudian mengajak warganya memproduksi pewarna biru dari indigo itu. Agar pewarna indigo punya nilai tambah, Bambang pun mengajak warganya belajar membatik.
Tak tanggung-tanggung, Bambang mengajak seorang instruktur bernama Suliantoro yang berprofesi sebagai pembatik di Yogyakarta untuk melatih warganya. Terutama melatih membatik dengan pewarnaan indigo.
Untuk mengajak warga membatik dan mengolah tanaman indigo itu tentu juga butuh waktu. Sebab, mengolah tanaman indigo menjadi pewarna biru butuh waktu paling cepat enam bulan.
Pertama, daun tanaman indigo direbus dulu, kemudian air hasil rebusan dicampur dengan kapur hingga berbentuk adonan. Usai berbentuk adonan, indigo dipendam di dalam tanah selama enam bulan. Kedua, usai melewati masa "karantina" selama enam bulan, adonan indigo berubah bentuk, mirip pasta. Setelah itu, adonan direbus lagi dan dicampur dengan gula jawa. "Proses dengan gula jawa untuk memperkuat warna biru daun indigo," ujar Bambang.
Setelah pewarnaan indigo selesai, barulah warga diajak membatik. Saat pertama kali buka kelas batik, ada 100 peserta yang ikut pelatihan secara cuma-cuma. "Pelatihan ini tidak pakai anggaran pemerintah," beber Bambang.
Kini, warga Gemawang sudah memproduksi batik menggunakan pewarnaan indigo. Agar batik warga tidak sia-sia, Bambang memasarkan batik itu ke pusat perbelanjaan serta butik-butik yang ada di Semarang.
Soal harga, batik indigo made in Gemawang dijual seharga Rp 75.000 hingga Rp 500.000 per potong, tergantung dari kualitas. Selain dijual di pasar domestik, tak jarang warga juga menjual kain batik indigo itu kepada wisatawan asing yang berkunjung.
Sayang, produksi batik indigo ini belum maksimal. Dalam sehari, warga baru mampu memproduksi 10 potong batik tulis, dan 30 potong batik cap yang dicampur tulis. "Dari seluruh produksi kain batik itu, baru 10% kami olah menjadi baju dan suvenir, sisanya dijual dalam bentuk kain batik," kata Bambang.
Produksi yang mini itu terjadi karena banyak warga yang tidak tertarik membatik. Dari 3.475 warga, baru 40 warga yang terlibat aktif membatik indigo. "Padahal, dengan membatik, mereka bisa menambah penghasilan selain bertani," ujar Bambang.
Dalam hitungan Bambang, pembatik bisa mendapatkan tambahan pendapatan Rp 1,5 juta sebulan jika memproduksi lebih dari tiga potong kain batik tulis. Sebab, untuk satu potong kain batik indigo tulis harganya bisa mencapai Rp 500.000 per potong.
Sebagai kepala desa, Bambang bertekad menjadikan desa seluas 786 hektare itu menjadi desa wisata batik yang menggunakan pewarna alami. Sebab, Desa Gemawang punya banyak sumber pewarna alami. Seperti, kulit kopi untuk warna merah dan ungu, daun dan kulit pohon jati untuk merah hati, kulit akar pace untuk merah, kulit pohon mahoni untuk warna cokelat, serta gergajian kayu nangka untuk warna kuning. "Pewarna indigo juga melimpah," kata Bambang.
Batik adalah salah satu produk tren fesyen yang awet dan tidak ketinggalan zaman. Bambang melihat, masa depan batik sangatlah cerah, apalagi batik yang menggunakan bahan pewarna alami.
Selain mengembangkan batik indigo, Bambang juga mengajarkan warga memproduksi madu, budi daya belut, serta sarang burung walet. Bambang bilang, untuk menyejahterakan warga harus dimulai dengan membangun ekonomi warga.
Tapi, tidak hanya membangun ekonomi, Bambang juga membangun fasilitas pendidikan. Seperti, rumah pintar yang dilengkapi dengan komputer dan juga perpustakaan.
Tak hanya itu, Bambang juga merintis desanya hadir di dunia maya lewat situs www.gemawang.com. "Pendidikan itu penting untuk kesejahteraan warga," tegas Bambang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News