Reporter: Ragil Nugroho, Dharmesta | Editor: Tri Adi
Sebagai salah satu identitas bangsa, batik sudah menjadi kebanggaan bagi masyarakat Indonesia. Tak terhitung lagi berapa banyak orang yang sukses berbisnis batik, dari perajin batik hingga penjual batik. Dari limbahnya pun banyak pengusaha sukses mendulang keuntungan.
Kisah sukses pebisnis yang berhasil mengolah limbah menjadi barang dengan nilai jual tinggi tak terhitung jumlahnya. Berbekal dengan daya kreativitas, mereka berhasil menyulap berbagai limbah menjadi produk dengan banyak peminat.
Salah satu limbah yang banyak dipakai adalah potongan kain atau perca batik, baik dari sentra batik atau industri rumahan. Banyak perajin sukses menyulap kain perca batik menjadi aneka kerajinan seperti dompet, tas, boneka dan aksesorinya lainnya.
Salah satu yang sukses adalah Sri Puji Winarti. Pendiri sekaligus pemilik Sri Puji Collection di Bantul, Yogyakarta ini memanfaatkan kain perca batik sisa dari sentra pembuatan pakaian batik yang menjamur di Yogyakarta, Pekalongan, Solo dan juga Cirebon. Sri mengolah kain perca batik itu menjadi dompet, tas dan boneka.
Tak hanya diminati pasar domestik, hasil tangan terampil Sri itu juga mendapat apresiasi dari konsumen di berbagai negara. Produk bikinan Sri itu bahkan di ekspor ke berbagai negara, seperti Filipina, Jepang, Prancis dan juga Italia. Di dalam negeri, Sri juga rutin memasok karyanya ke hotel-hotel yang ada di Magelang, Lombok dan juga Bali.
Mengawali usaha dengan modal Rp 500.000 pada tahun 2009, Sri kini bisa mengempit omzet hingga Rp 30 juta per bulan. Produk terlaris Sri adalah boneka lantaran dianggap produk unik yang memiliki ciri khas Indonesia.
Untuk satu boneka, Sri menjual dengan kisaran harga Rp 100.000- Rp 500.000 per buah. Adapun dompet dibanderol dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 25.000 per buah. Sementara tas dijual mulai dari harga Rp 125.000 hingga Rp 200.000 per buah.
Sri mengaku tak kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku berupa perca batik. Seiring dengan tren menggunakan batik di seluruh Indonesia, pasokan bahan baku berlimpah, utamanya dari daerah-daetah sentra batik. "Favorit saya adalah perca batik dari Pekalongan dan Cirebon. Motifnya beragam, ada bunga dan hewan," kata Sri.
Selain kain perca sebagai bahan utama, Sri juga menggunakan bahan pendukung lain seperti pasir, manik-manik, batok kelapa, kertas karton, resleting dan benang. Semenjak berdiri, usaha Sri sudah mengantongi sekitar 200 desain produk yang terdiri dari dompet, tas dan juga boneka.
Tak hanya itu, Sri juga menjual sapu tangan, sarung bantal, serta alas gelas berbahan batik dalam bisnisnya. Agar omzet maksimal, Sri juga memasarkan kain batik yang cacat atau salah desain, milik produsen batik.
Kain batik cacat itu, ia tawarkan untuk pasar ekspor. Untuk satu lembar batik cacat, Sri menjualnya dengan harga US$ 50 - US$ 125 per lembar dengan ukuran 125 cm x 250 cm. "Baru-baru ini saya dapat pesanan sebanyak 2.160 potong untuk bahan dekorasi di Belanda," kata Sri.
Wanita berusia 46 tahun itu tidak menyangka jika produk-produk bikinannya mampu menembus pasar ekspor. Pasalnya, sebelum mengolah kain perca batik menjadi aneka kerajinan, Sri awalnya hanya membuat kartu kartu pos berbahan bahan kain batik yang sobek.
Nyatanya, kartu pos itu banyak peminatnya. Atas saran dari seorang teman, Sri kemudian memasarkan kartu pos itu ke sejumlah hotel-hotel yang sering dikunjungi para turis.
Agar mudah dikenali, Sri menempelkan label Sri Puji Collection di setiap kartu pos miliknya itu. Lama-kelamaan, produksi Sri kian banyak peminat. Sri kemudian mencari ide karya lain, hingga tercetus untuk memproduksi dompet, tas, boneka dan kerajinan lain berbahan perca batik.
Dalam menjalankan usaha itu, Sri Puji dibantu Fincent, suami Sri yang berkebangsaan Prancis, enam karyawan tetap yang empat diantaranya di bidang produksi dan dua di bagian pemasaran. Sri juga dibantu 10 orang tenaga kontrak.
Selain Sri, Arini Soendjojo atau akrab dipanggil Rini juga berhasil dalam bisnis kain batik. Berbeda dengan Sri, Rini mengolah batik bekas dengan nama Rini Sari Handicraft menjadi aneka produk. Tak sembarang batik bekas, Rini fokus mengolah batik dengan usia uzur.
Berkantor di Yogyakarta, Rini jatuh cinta dengan batik yang lawas karena pasarnya jelas yakni kalangan menengah. Mereka menilai batik lawas punya nilai karya seni tinggi. Alur dan gambarnya yang khas membuat batik ini punya penggemar tersendiri.
Selain itu, Rini yakin, batik punya penggemar yang tak lekang oleh zaman. "Ini berbeda dengan tren fesyen lain non batik yang bisa berubah begitu cepat" kata Rini yang membuka usaha batik sejak tahun 1975.
Rini memproduksi aneka kerajinan dari bahan batik bekas yang berusia tua itu. Mulai dari produk interior rumah seperti sarung bantal, taplak meja, bed cover hingga hiasan dinding. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp 35.000 hingga jutaan rupiah. Ambil contoh, satu sarung bantal dijual dengan harga Rp 35.000, taplak meja l Rp 125.000 dan bed cover dijual mulai Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Produk terlaris Rini adalah hiasan dinding yang dijual mulai dari harga
Rp 60.000 sampai dengan Rp 250.000. "Ini digemari karena motifnya yang beragam," ujar Rini yang juga membuat sarung ponsel.
Rini mengaku hanya fokus melayani pasar domestik. Tapi, ia juga memiliki pembeli dari luar negeri. "Ada turis asing yang datang dan memesan dalam jumlah banyak," kata Rini yang mengaku hanya meraih omzet Rp 10 juta per bulan.
Untuk mendukung produksi, Rini mendapatkan pasokan bahan baku dari Solo dan Yogyakarta. Selain kreatif, kunci sukses Rini adalah mampu membedakan batik lawas bekas dengan batik baru yang dibuat seolah menjadi batik lawas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News