Reporter: Fahriyadi | Editor: Tri Adi
Maraknya perguruan atau dojo beladiri dari beragam aliran di Tanah Air secara tidak langsung membuka lahan usaha untuk produsen perlengkapan dan peralatan olahraga kontak fisik ini. Apalagi, pemain di ceruk bisnis ini masih jarang, sehingga prospeknya ke depannya masih sangat menggiurkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, makin banyak seni bela diri dari pelbagai negara yang masuk ke Indonesia, mencari murid baru. Beberapa di antaranya memakai sejumlah perlengkapan dan peralatan khusus untuk pendukung latihan.
Menjamurnya sasana bela diri dari beragam aliran tersebut, tentu membuka peluang bisnis untuk menjual perlengkapan dan peralatan pendukung latihan, seperti pakaian, baju pelindung, matras, dan sand sack.
Apalagi, tak mudah untuk mencari perlengkapan dan peralatan tersebut. Simak saja kisah Viany Cin Hiong, yang memulai usahanya melalui bendera Dojo's Dojo Martial Art School & Shop sejak 2001, karena kesulitan menemukan peralatan untuk aikido, kendo, dan jujitsu. "Kalaupun ada, produk-produk tersebut masih impor," katanya.
Itu sebabnya, selain mendatangkan dari luar negeri, Viany juga memproduksi peralatan sejumlah cabang beladiri termasuk yang populer, semisal karate, taekwondo, dan pencak silat. Ia melihat potensi pasar yang besar di usaha ini. "Pesaing umumnya menjual peralatan secara spesifik untuk satu atau dua jenis bela diri saja," ungkap Viany.
Pernah menjadi praktisi beladiri membuat pria 31 tahun ini punya relasi yang kuat untuk memasarkan produk-produknya. Setidaknya, Viany memiliki empat produk unggulan yang banyak diburu, seperti pakaian, pelindung, matras, dan sand sack, yang dijual pada rentang harga Rp 150.000 hingga Rp 3,5 juta tergantung kualitas bahan dan ukurannya.
Sejak dipasarkan via online mulai 2005 dan dijual secara ritel pada 2007, angka penjualan produk-produk perlengkapan dan peralatan bela diri Viany terus menanjak. Pembeli banyak datang dari praktisi dan pelatih beladiri serta kolektor.
Saat ini, sekitar 50% produk yang Viany jual masih barang impor. Contohnya, pedang Katana yang harganya mencapai Rp 25 juta per biji. Sebab, tidak semua perlengkapan dan peralatan bela diri bisa ia produksi.
Kemampuan ia memproduksi juga menghadang langkahnya berekspansi ke mancanegara. Viany bilang, permintaan dari Malaysia dan negara Eropa kerap datang menghampiri, namun terpaksa ia tolak.
Viany yang membuka usaha di Jakarta baru memproduksi 12 jenis perlengkapan dan peralatan beladiri dengan omzet bulanan Rp 50 juta. Mimpinya ke depan, membuat perlengkapan dan peralatan yang berstandar internasional.
Beda dengan Viany, Daniel Sukoharmoyo, pemilik Master's Martial Arts Shop yang berlokasi di Semarang, lebih fokus pada pembuatan pakaian beladiri.
Awalnya, ia hanya memproduksi pakaian karate dan kempo. Tapi kini, ia menghasilkan setidaknya lima jenis pakaian beladiri. "Kami juga menerima pesanan sesuai dengan permintaan konsumen," katanya yang meneruskan usaha orang tuanya yang berdiri sejak 1986 silam.
Daniel melego pakaian bela diri bikinannya, mulai dari Rp 80.000 hingga Rp 500.000 per potong, tergantung jenis, kualitas, dan ketebalan bahan. Dalam sebulan, ia bisa menjual sekitar 100 potong pakaian dengan omzet sekitar Rp 20 juta. Penghasilan ini makin bertambah kalau sedang ada kejuaraan beladiri, baik tingkat daerah maupun nasional.
Meski begitu, Daniel belum berniat melebarkan sayap bisnisnya ke luar negeri. Ia masih berkonsentrasi untuk memperluas pasar di dalam negeri dulu. "Jakarta dan Bandung adalah basis penggemar beladiri yang cukup besar," katanya.
Pria berumur 28 tahun yang juga mantan praktisi beladiri ini menyarankan, sebaiknya pemain yang akan terjun di bisnis perlengkapan dan peralatan olahraga keras ini adalah, mereka yang paham atau pernah memperdalam ilmu beladiri.
Dengan begitu, mereka bisa mengetahui kualitas produk yang akan dijualnya. Selain itu, pemasaran akan menjadi lebih mudah karena minimal sudah memiliki jaringan atau kenalan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News