Reporter: J. Ani Kristanti | Editor: Tri Adi
Pola pengasuhan dalam keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan pribadi seseorang. Seperti pada Cipto Sulistio yang bersyukur di masa muda selalu mendapat paksaan dari orangtuanya. Anak keenam dari tujuh bersaudara ini menilai hasil tempaan itu yang mengantarkannya menjadi pengusaha sukses. Cipto tumbuh menjadi pribadi yang supel bergaul dan jeli mengail peluang.
Di masa kecilnya, Cipto selalu dibiasakan sang ayah, yang memiliki lembaga kursus bahasa Inggris, untuk ikut bekerja. Mulai dari mengecat meja kursi perabot kursus, hingga memperbaiki mobil. Bahkan, saat liburan sekolah tiba, Cipto tetap harus menyelesaikan pekerjaan rumah. “Teman-teman yang mengajak main kerap harus menunggu saya menyelesaikan pekerjaan dulu,” kenang dia.
Kebiasaan ini memupuk jiwa wirausahanya. Bahkan, semasa SMA, Cipto sudah pintar cari duit. Dia menjadi montir mobil dan motor, hingga servis mesin tik. Karena kesibukannya itu, dia mengaku sering absen sekolah. Tak heran teman-teman sering menjadikan dirinya sebagai patokan ketika kenaikan kelas. “Kalau saya naik, mereka langsung pastikan naik tanpa membuka rapor lagi,” ujar dia.
Lulus dari SMA, sang ayahanda memaksa Cipto masuk ke jurusan Sastra Inggris di Universitas Nasional. “Padahal, saya lebih tertarik masuk ke teknik. Saya diterima di jurusan teknik di beberapa universitas, tapi suratnya disembunyikan ayah,” kata Cipto.
Namun, pilihan itu tepat, lantaran Cipto harus meneruskan usaha kursus bahasa Inggris bernama Scientia yang ditinggalkan begitu saja oleh sang ayah. Ketika kuliah menginjak semester tiga, ibundanya berpulang dan ayahnya memutuskan untuk menyepi ke daerah Parung, Bogor. Cipto yang masih butuh biaya kuliah, mau tidak mau, meneruskan usaha sang ayah. Apalagi, adiknya juga bergantung padanya.
Tak disangka, di bawah kelolaannya, kursus bahasa Inggris maju pesat. Dari 10 orang, peserta kursus berkembang hingga 300 orang.
Selain kursus bahasa Inggris, bersama teman SMA-nya, Cipto juga membuka kantor konsultan dan kontraktor. Kebetulan, orangtua dari seorang teman Cipto adalah pejabat di sebuah departemen. “Saya memanfaatkan jaringannya,” ucap dia. Pada 1989, PT Nusuno berdiri.
Tanah sengketa
Terjun dalam jasa konsultan dan kontraktor memperluas pengalaman dan jaringan Cipto. Bisnis itu juga melatih keberaniannya untuk mengambil risiko dan keputusan dengan cepat. Dari usaha kontraktor, Cipto menelisik bisnis developer. “Berbeda dengan kontraktor yang mengutamakan kualitas bangunan, kunci kesuksesan di bisnis developer adalah keahlian mencari tanah,” jelas dia.
Sekitar tahun 1992, Cipto merintis bisnis pengembang. Ia mengawalinya dengan menjadi makelar tanah, karena tak punya modal. “Saya beli lahan, sebagian saya bangun rumah, sisanya dijual,” tuturnya.
Pada 1995, setelah terkumpul lahan yang lumayan banyak, Cipto terjun ke bisnis pengembang. Cipto memulai kiprahnya sebagai pengembang di Bekasi. Lantaran kesulitan mendapatkan kayu, dia menggunakan material PVC sebagai pengganti kusen kayu. “Ide ini akhirnya juga diikuti pengembang lain,” kata Cipto.
Cipto juga memelopori sistem cicilan untuk pembayaran uang muka pembelian rumah. Maklum, proyek pertamanya terserempet imbas krisis, yang menurunkan daya beli konsumen. “Dengan sistem pembayaran ini, rumah-rumah saya cepat terjual,” cetus dia.
Tak heran, dia meraih penghargaan sebagai pengembang dengan penjualan terbanyak melalui kredit pemilikan rumah (KPR) dari BNI dan BRI. “Saya juga ikut membantu beberapa bank menyusun skema KPR yang menjadi produk baru mereka,” kisah dia. Hingga akhirnya, dia mendapatkan kepercayaan dari bank, baik untuk mendapatkan kredit maupun kerjasama lainnya.
Di bisnis ini pula, Cipto mulai bersentuhan dengan hukum, khususnya soal sengketa tanah. Cipto pun mempelajari berbagai kasus tanah. Dia berhasil menyelesaikan beberapa kasus hingga dikenal sebagai spesialis tanah sengketa. Tak heran, banyak pengacara yang merapat pada dirinya.
Proses belajar Cipto tentu ada biayanya. Ia pernah rugi hingga Rp 5 miliar saat menyelesaikan sengketa tanah di Citayam. Dalam menangani kasus tanah, dia selalu berkeyakinan, niat baik akan berbuah baik. Di balik sengketa, dia akan mengetahui kebenaran di akhir cerita. “Kalau akhirnya pihak yang saya bela tidak benar, tanah itu tidak akan saya ambil, meski saya sudah keluar banyak uang. Saya anggap itu bagian dari proses belajar,” ungkap dia.
Dari developer yang membangun rumah tapak, akhirnya, Cipto juga merambah pembangunan apartemen. Namun dalam dua tahun terakhir, Cipto memilih rehat membangun proyek baru. Maklum, banyak staf kepercayaannya yang keluar dan merintis usaha sebagai pengembang kelas kecil-kecilan.
Ayah dua anak ini pun berkonsentrasi untuk mengumpulkan lahan. Dalam kondisi ini, dia juga mendirikan kantor baru sembilan lantai di Jatiwaringin. Kini, dia bilang, asetnya sudah tersebar di hampir seluruh kota besar di Indonesia.
Namun, tak mau berlama-lama, Cipto sudah memasang kembali tali kendali usahanya. Januari 2015 nanti, dia sudah berancang-ancang untuk berlari kencang menjual beberapa unit properti. Proyek yang sudah disiapkan seperti dua menara apartemen, masing-masing di Jl. MT Haryono dan Karang Tengah Ciledug, Tangerang. Selain itu, Cipto akan membangun ribuan unit rumah tinggal di Citayam, Depok; Cilebut, Bogor; dan Medan.
Di luar itu, Cipto bercita-cita, Nusuno Group melantai di bursa. “Rencana sudah sejak 2009 lalu. Tapi karena waktu itu krisis, jadi kami mengurungkan niat,” jelas Cipto yang kini mempekerjakan 200 orang karyawan.
Mengaplikasi ilmu guru
Sampai saat ini, Cipto Sulistio mengaku tak pernah berhenti belajar. Dia terus menggali pengetahuan dan informasi yang berkaitan dengan bisnis atau masalah yang dihadapi.
Maklum, sejak memutuskan beralih menjadi developer, suami Sri Pandawangi ini banyak berurusan dengan kasus pertanahan. Bahkan, dia pernah punya pengalaman dalam tiga bulan harus menjalani pemeriksaan polisi setiap hari. “Saya diperiksa polisi, mulai berstatus pelapor, terlapor, tersangka. Tapi sampai detik ini, belum pernah satu hari pun menjadi terpidana,” ujar dia.
Tapi, dari situlah, Cipto belajar soal hukum, termasuk menggali celah-celah yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus sengketa tanah. Dia pun mengaku banyak dikenal sebagai spesialis sengketa tanah.
Cipto juga menuturkan, jiwa sebagai seorang gurulah yang dipakainya dalam menggulirkan roda bisnis. “Guru itu terbiasa menggali semua ilmu, sehingga banyak pengetahuan dalam dunia bisnis yang saya gali sendiri,” ujar pria kelahiran Jakarta, 3 April 1967 ini.
Bukan cuma dalam kasus hukum, penggalian ilmu juga dilakukan Cipto dalam hal marketing. Saat meluncurkan rumah tinggal pertama kali, selain desain yang menarik, Cipto pun mengandalkan harga dan cara pembayaran sebagai salah satu strategi pemasaran.
Sebagai seorang guru yang bertugas mendidik siswanya, Cipto tak pelit untuk membagikan ilmu bisnis kepada para karyawannya. Alhasil, ketika beberapa staf kepercayaannya keluar dan ingin mandiri, dia tetap berbesar hati, meski kehilangan.
Namun, Cipto merasa puas hati ketika ilmu yang dia bagikan akhirnya berguna bagi sang karyawan. “Saya ikut senang ketika melihat ada bekas tenaga sekuriti dan mandor di tempat saya yang berhasil mengembangkan usahanya sebagai developer,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News