Reporter: Ragil Nugroho, Fitri Nur Arifenie | Editor: Tri Adi
Permintaan film dokumenter kian ramai. Kebutuhan film dokumenter itu tak hanya datang dari industri televisi saja. Pemerintah, LSM, hingga perusahaan juga jadi konsumen. Tapi, untuk membuat film dokumenter berkualitas, jelas juga butuh keahlian khusus.
Film dokumenter, tak lagi menjadi monopoli tayangan National Geographic atau BBC. Televisi-televisi nasional pun semakin gemar menyajikan tayangan berbau dokumenter. Bahkan tak hanya televisi saja yang butuh film dokumenter, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan juga pemerintah sering pesan film dokumenter ini.
Format film dokumenter pun beragam. Tak hanya tentang ilmu pengetahuan, tapi juga petualangan atau kegiatan sosial dan peliputan bencana.
Tentu, meningkatnya kebutuhan itu juga mendatangkan rezeki bagi spesialis pembuat film dokumenter. Peluang inilah yang ditangkap rumah produksi Imaji Bumi di Jakarta. Sejak berdiri 2007 lalu, Imaji sudah membuat ratusan film dokumenter bertemakan alam dan sosial masyarakat.
Dhank Ari, salah satu pendiri Imaji menyebutkan, bisnis film dokumenter berkembang sejak tujuh tahun lalu ketika industri televisi tumbuh pesat.
Ari bilang, bahkan televisi berbayar pun butuh tayangan film dokumenter. Dengan demikian, "Masyarakat memiliki banyak pilihan untuk menonton saat ini," kata Ari.
Kondisi itu diakui Tri Susanto, art director dari salah satu rumah produksi di Jakarta. Tri mengakui, salah satu kenaikan permintaan film dokumenter ini didukung kian menjamurnya stasiun televisi. "Tren acara televisi mengarah pada format dokumenter," jelas Tri yang enggan menyebutkan nama rumah produksinya itu.
Menurut Tri, permintaan film dokumenter tahun ini lebih baik ketimbang tahun lalu. Beberapa tema film dokumenter yang banyak digemari televisi adalah tema alam termasuk alam bawah laut, tema budaya, dan tema bencana alam.
Selain permintaan dari stasiun televisi, banyak pesanan film dokumenter datang dari LSM. Mereka menggunakan film dokumenter untuk program kampanye mereka kepada publik.
Tak hanya itu, permintaan film dokumenter juga datang dari pemerintah daerah. Mereka menginginkan ada film dokumenter yang bercerita tentang potensi wisata, potensi tambang atau potensi ekonomi di situ. Bahkan, pesanan membuat film dokumenter juga datang dari perusahaan yang lagi bergiat dengan program Corporate Social Responsibility (CSR).
Sebelum membuat film dokumenter, Ari dari Imaji mengaku membuat konsep terlebih dahulu. "Terkadang klien sudah punya konsep, tapi saya juga punya konsep sendiri," terang Ari.
Sampai saat ini, Imaji sudah pernah membuat film dokumenter pesanan WHO, UNICEF, Yayasan Telapak, Yayasan Kanker Indonesia, WWF, Conservation International, Wildlife Conservation Society & CARITAS Australia, termasuk beberapa dari pemerintah daerah.
Untuk pembuatan satu film dokumenter berdurasi 20 menit sampai 30 menit, butuh waktu empat sampai enam bulan pengerjaan. "Kebutuhan waktu itu sangat tergantung lokasi dan tingkat kesulitan pembuatan filmnya," jelas Ari.
Sedangkan biaya pembuatan film dokumenter itu bervariasi, mulai dari Rp 80 juta sampai dengan Rp 200 juta. Dalam sebulan, Ari bersama tujuh anggota timnya bisa melayani dua sampai tiga pembuatan film dokumenter.
Lantas berapa margin dari pembuatan film dokumenter ini? Sayangnya soal ini, baik Ari maupun Tri ogah menyebut secara terbuka. "Kalau untung pasti. Soal besarnya, itu rahasia," elak Ari.
Ari menjelaskan, proses pembuatan film dokumenter saat ini sudah terbantu dengan teknologi informasi visual. Teknologi tersebut memudahkan para pembuatan film dokumenter dalam mengambil sudut gambar terutama di medan ekstrem. "Proses pembuatan film menjadi lebih mudah dan lebih cepat," ujarnya.
Sebenarnya, proses pembuatan film dokumenter ini hampir sama dengan film komersial biasa, termasuk soal anggarannya. Untuk soal ini, Tri menilai, perbedaan membuat film dokumenter dengan film komersial terletak pada pemain. "Film dokumenter tidak memiliki syarat aktor, beda dengan film komersial yang harus memakai aktor terkenal," jelas Tri.
Namun dalam memproduksi film dokumenter butuh ketelitian dalam mencari lokasi gambar. Semakin sulit untuk mencapai lokasi, maka modal membuat filmnya juga semakin mahal.
Misalnya saja, untuk membuat film bertemakan alam laut, setidaknya butuh biaya Rp 100 juta. " Kalau lokasinya jauh seperti di Raja Ampat di Papua, biaya produksinya bisa lebih dari Rp 200 juta," jelas Tri.
Menurut Tri, ada tiga keahlian yang diperlukan sebelum membuat film dokumenter.
Pertama adalah keahlian mencari ide, kedua ahli membuat film statement, semacam pra skenario. Dan yang ketiga ahli dalam membuat dan menyusun skenario yang akan menampung seluruh alur cerita film. "Skenario inilah yang menjadi pedoman seluruh kru produksi," kata Tri.
Ia menambahkan, skenario layaknya nyawa bagi sebuah film dokumenter. Sebab dalam skenario itu ditentukan cara kerja bagi kru, terutama kru pengambilan gambar dan juga kru teknis lainnya. Selain itu skenario penting bagi proses editing, agar jalan cerita tidak melenceng.
Ari menilai, kualitas sebuah film dokumenter akan ditentukan dari efektivitas informasi yang disampaikan dalam durasi film yang ditentukan. "Maka dari itu cerita harus didukung dengan gambar yang mendetail," kata Ari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News