Reporter: J. Ani Kristanti, Melati Amaya Dori | Editor: Tri Adi
Gerbang perkawinan seringkali menjadi pembatas bagi seseorang untuk menjadi pribadi yang lebih bertanggungjawab. Tak heran, sebagian orang akan lebih terbuka pikirannya ketika sudah menyandang status sebagai kepala keluarga.
Pernikahan pula yang mendorong Ibnu Riyanto, pemuda pengangguran asal Cirebon ini, untuk menjual kain mori bagi para pembatik, pada 2006 silam. “Saya harus bertanggungjawab menafkahi istri saya,” tutur pria yang menikah saat usianya baru menginjak 17 tahun, tak lama setelah lulus sekolah menengah atas (SMA) tersebut.
Ibnu memilih menjual kain dasar batik karena lingkungan sekitar tempat tinggalnya, Desa Trusmi, Plered, Cirebon, merupakan pusat perajin batik. Bahkan orangtua Ibnu, Rusima Kasrija, juga perajin batik. Lantas, dengan modal Rp 15 juta, uang hasil sumbangan saat pernikahannya, mulailah dia berdagang kain secara meteran.
Setelah dua bulan berlalu, pria yang kini baru berumur 25 tahun ini sadar, penghasilan berjualan kain terlalu sedikit. Saat itu, batik belum booming. Kemudian, Ibnu pun merambah bisnis kain batik. Dia membeli batik ke perajin langganannya, lalu menjual ke pemasok kain atau konveksi di seputar Cirebon, Bandung, dan Jakarta.
Hampir dua tahun, Ibnu menjalani bisnis sebagai pedagang batik. Dia menjual kain-kain putih, bahan batik ke perajin. Lalu, mencari stok kain-kain batik asli Cirebon dan menemui para penjual kain batik di pusat-pusat perdagangan kain.
Karena berinteraksi langsung di pusat perkulakan batik, insting bisnis Ibnu yang kian terasah, mencium adanya permintaan pakaian batik. Tak menyia-nyiakan kesempatan, dia pun segera melebarkan sayapnya, mencari usaha-usaha konveksi yang menyediakan pakaian batik asli Cirebon.
Di bisnis pakaian jadi inilah, usahanya mulai menapaki tangga kesuksesan. Pasalnya, pada tahun 2008 itu, berbarengan dengan adanya pengakuan batik dari Malaysia, permintaan meningkat pesat. Dari tadinya, hanya melayani penjualan di Jawa Barat hingga Jakarta, pasar baju batik Ibnu meluas hingga Palembang dan Surabaya.
Penjualan dan pesanan batik pun ikut membeludak. “Ini seperti titik balik usaha kami. Omzet naik hingga 200%,” kata Ibnu senang. Saat itu dia mengantongi penjualan puluhan ribu hingga ratusan ribu helai pakaian batik saban bulan.
Dari keuntungan penjualan batik itu, Ibnu membuka gerai seluas 16 m2, di Plered, Cirebon. Di tokonya, ayah dua anak ini menawarkan kain batik dan baju-baju batik asli Cirebon.
Tahun 2009, bisnis batiknya makin cemerlang. Tak ingin melewatkan tren batik, Ibnu segera membuka toko keduanya, masih di Cirebon. Pada tahun 2010, dia membuka toko-toko berikutnya, yakni di Jakarta, Surabaya, dan Medan. Setiap toko mempunyai luas 500 m2.
Momen tepat
Ibnu sangat beruntung. Dia masuk ke bisnis batik di saat yang tepat, yakni ketika batik kembali menjadi primadona industri fashion Tanah Air. Alhasil, hanya butuh waktu singkat baginya untuk meraih sukses.
Selain itu, Ibnu berhasil menorehkan prestasi sebagai pengusaha sukses di usia muda. Saat baru berusia 22 tahun, dia mampu membangun Pusat Grosir Batik Trusmi seluas 4.840 m2 di Plered, Cirebon. Grosir batik yang berdiri pada 11 Maret 2011 ini diklaim menjadi grosir batik terbesar di Indonesia.
Kesuksesan Ibnu, tak lepas dari kejelian dan kepiawaiannya dalam berbisnis. Batiknya punya banyak penggemar karena karena dia selalu menjaga kualitas produk yang ditawarkan. Ibnu yang lihai membaca selera pasar sering menentukan kain dan mendesain sendiri, baik kain batik maupun pakaian yang dijual. “Perajin tinggal membatik saja, semua peralatan dan bahan baku sudah kami sediakan,” terang dia.
Tak hanya itu, di gerainya, Ibnu juga rajin menggelar promosi. Untuk pembelian dalam jumlah banyak, Ibnu pun tak segan memberi potongan harga. “Pokoknya, saya tidak pelit diskon,” ucapnya. Bonus suvenir dan hadiah juga sering dibagikannya untuk pengunjung.
Kini, dengan bendera PT Trusmi Group, Ibnu sudah membuka sembilan toko batik. Perinciannya, lima toko di Cirebon, dan sisanya, tersebar di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Kini, dia berniat membuka gerai di Singapura.
Dibantu lebih dari 100 perajin batik, Ibnu bisa memproduksi hingga 100.000 helai batik tiap bulan. Selain para perajin, ia juga mempekerjakan 250 karyawan yang membantunya di bidang operasional gerai. Maklumlah, Pusat Grosir Batik Trusmi yang menempati lahan seluas lima hektare, juga memiliki lapangan futsal serta sanggar pembatikan.
Tak puas hanya berbisnis batik, kini Ibnu mengembangkan berbagai bisnis lain. Dia merintis usaha kuliner yang menyajikan masakan khas kota kelahirannya, yakni empal gentong dan tahu gejrot. Finalis Wirausaha Mandiri ini juga mengembangkan bisnis rental mobil mewah di Cirebon.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News